http://www.hidayatullah.com/index.php?option==com_content&task==view&id=)13&
Itemid==1

Tirani Dibalik Seni
Oleh: Syamsuddin Arif*

Musim panas 1978, seorang guru besar fotografi dan seni di Universitas
Cornell, Jacqueline Livingston, dipecat dari jabatannya. Keputusan itu
dikeluarkan tidak lama setelah Jacqueline memamerkan foto-foto aurat suami,
mertua dan anak lelakinya. Bagi Jacqueline, hasil jepretan kameranya itu
adalah karya seni yang bermaksud menjelajahi batas-batas kebebasan dan
kesusilaan, kebiadaban dan kesopanan. Namun tidak demikian halnya bagi pihak
universitas, dinas sosial dan masyarakat pelindung anak-anak Amerika.
Jacqueline dinilai telah 'bertualang terlalu jauh' dan telah melakukan
pelecehan seksual. Di tengah hangatnya kontroversi Rancangan Undang-Undang
Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) saat ini, kisah profesor seni
tersebut bisa menjadi pelajaran, betapa seni tidak boleh buta nurani,
estetika jangan mengabaikan etika.

Berbagai macam alasan penolakan terhadap draf undang-undang anti pornografi
dan pornoaksi itu memang menarik untuk dicermati. Misalnya kekhawatiran jika
disahkan undang-undang tersebut bakal memasung kaum perempuan, mematikan
kreativitas seni, merampas hak privasi dan kebebasan anggota masyarakat.
Juga kecemasan apabila ia menjadi pintu masuk pemberlakuan Syariat Islam di
Indonesia. Namun semua alasan ini hanya prima facie masuk akal, jika tidak
terkesan berlebihan. Seolah-olah Indonesia adalah negara pertama dan
satu-satunya yang hendak membuat aturan tersebut.

Kalau kita menengok ke negeri-negeri lain, undang-undang serupa berkaitan
'industri seks' (istilah ini menunjuk segala kegiatan produksi, promosi,
exhibisi, sirkulasi, distribusi, komersialisasi dan konsumsi apa saja yang
dikategorikan sebagai pornografi maupun pornoaksi (adegan erotis, pentas
cabul, perzinaan, pelacuran, penyimpangan seksual, dan sebagainya) telah
lama dibuat.

Di Amerika Serikat, ada Comstock Act yang berlaku sejak 1873, meskipun
belakangan diamandemen atas dasar hak pribadi dan kebebasan individu yang
diakui oleh konstitusi negara itu - seperti tercermin dalam putusan Supreme
Court untuk kasus Stanley v. Georgia (1969) dan Lawrence v. Texas (2003).
Selain itu juga ada undang-undang khusus untuk melindungi anak bangsa dari
pornografi (Child Pornography Prevention Act 1996).

Demikian pula Inggris mempunyai undang-undang anti cabul (Obscene
Publications Act) sejak 1857 dan anti pelanggaran seksual (Sexual Offences
Act 2003). Perancis mengaturnya dalam undang-undang hukum pidana (pasal
222-32 du code pénal 1994) yang merupakan revisi dari pasal 330
undang-undang sama yang diterbitkan pada 13 Mei 1863.

Kreativitas seni tidak semestinya muncul dari, karena dan untuk seksualitas
belaka. Kalau mau jujur, ekploitasi aurat dalam bentuk tulisan, gambar,
patung, nyanyian dan adegan cabul sebenarnya lebih sering bermotif ekonomi
ketimbang seni. Industri hiburan dan jasa berbau seks memang salah satu
ladang bisnis yang keuntungannya terbukti paling menggiurkan. Laporan CBS
News (edisi September 5, 2004, "Porn In The U.S.A.") menemukan, masyarakat
Amerika membelanjakan tidak kurang dari 10 milyar dolar per tahun untuk
konsumsi pornografi saja. Wajarlah jika pengusaha-pengusaha besar
berduyun-duyun menanamkan modalnya di sektor ini.

"I was rather shocked to find that these are pretty bright business people
who are in it to make a profit. And that is what it's about," ungkap Bill
Lyon yang mewakili 900 serikat bisnis porno di negeri itu. Mereka menjadi
besar dan mempunyai daya tawar karena di California saja industri aurat ini
tiap tahun menyetor sebanyak 36 juta dolar pajak kepada Pemerintah. Tidak
seberapa, dibanding jumlah ratusan juta dolar yang rutin diperoleh DirecTV
dari apa yang diistilahkan sebagai 'hiburan orang dewasa' itu. Sementara
para pelakonnya berlindung di balik ekspresi seni.

"The way I look at it is, this is kind of an art to me. I'm performing. I'm
doing it because this is my job and I'm entertaining the masses," ujar
seorang penari erotis remaja, Jenna Jameson, berkilah seraya mengaku telah
meraup lebih dari 1 juta dolar dalam setahun dari pentas dan jasa yang
dilakoninya. Mereka yang panen uang dari sektor ini jelas tidak peduli sama
sekali terhadap dampak buruk yang terjadi: runtuhnya moralitas, meningkatnya
kriminalitas, dan maraknya hedonisme.

Pemberantasan pornografi dan pornoaksi sesungguhnya senafas dan sejiwa
dengan sila kedua dasar negara kita: menjunjung tinggi dan berupaya
mewujudkan nilai-nilai "kemanusiaan yang adil dan beradab", bukan
nilai-nilai kebinatangan yang tidak mengenal tata susila. Manusia beradab
tidak akan mempertontonkan auratnya di muka umum, apalagi
memperdagangkannya. Manusia beradab memiliki bukan hanya kemaluan, tapi juga
rasa malu.

Dari perspektif ini, anggapan sementara orang bahwa RUU APP itu bertentangan
dengan semangat Pancasila adalah keliru. Rancangan undang-undang itu dengan
jelas memberikan pengecualian bagi kepentingan pendidikan dan atau
pengembangan ilmu pengetahuan sebatas yang diperlukan, serta pengobatan
gangguan kesehatan. Juga tidak dianggap pornoaksi cara-cara berbusana
dan/atau tingkah laku yang menjadi kebiasaan menurut adat-istiadat dan/atau
budaya kesukuan (seperti di Papua), sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan
ritus keagamaan atau kepercayaan, termasuk kegiatan seni adat istiadat
(seperti di Bali) serta kegiatan olahraga (gimnastik) yang dilakukan di
tempat peruntukkannya dengan serta mendapat izin dari pihak yang berwenang.
Demikian dinyatakan dalam Bab III, pasal 34 RUU APP itu.

Yang sangat mengherankan adalah kenyataan bahwa di antara penolak RUU APP
itu ternyata banyak yang nota bene Muslim. Padahal jelas menurut ajaran
Islam, aurat laki-laki maupun perempuan haram dipamerkan. Kaum beriman
laki-laki maupun perempuan disuruh menahan pandangan mereka. Jadi, yang
dilarang bukan cuma obyek yang akan dilihat atau terlihat, tapi juga subyek
yang terpancing ingin melihatnya (QS an-Nur 30-31). Mereka disuruh menjauhi
hal-hal yang mengarah pada perbuatan zina (QS al-Isra' 32). Boleh dikata
dalam hal ini status pornografi dan pornoaksi mirip minuman keras (khamr),
dimana Rasulullah SAW melaknat tidak hanya produsen dan konsumennya, tapi
juga orang yang memintanya (pemesan), menyuguhkannya (pelayan), memasoknya
(distributor, supplier), menadahnya (stocker), menjajakannya (retailer),
membelinya, menghadiahkannya, dan menikmati hasil penjualan serta
keuntungannya (HR Imam at-Tirmidzi no. 1295 dan Abu Dawud no. 3674).

Dalam Islam juga dikenal konsep hisbah, yakni penegakan hukum dan akhlak
atas dasar perintah mempromosikan hal-hal yang baik (ma'ruf) dan mencegah
hal-hal buruk (munkar). Termasuk dalam kebijakan preemptif ini larangan
melakukan khalwat, tindakan atau ekspresi cabul (al-fahsy wa t-tafahhusy),
dan segala yang berpotensi merusak moral umat (Lihat: M. Hashim Kamali,
Freedom of Expression in Islam, Kuala Lumpur: Ilmiah Publishers, 1998, hlm.
209-211). Memperbaiki keadaan (ishlah) dan membendung kerusakan adalah
tindakan yang wajib dan mulia. Karena itu amatlah disesalkan pernyataan
seorang tokoh nasional baru-baru ini bahwa penentang pornografi itu 'sok
merasa suci'. Ungkapan ini mengingatkan kita pada kata-kata kaum Sodom:
innahum unasun yatat,ahharun (QS an-Naml 56) yang mengandung cibiran kepada
kaum beriman pengikut Nabi Luth a.s.

Tak kalah anehnya reaksi kaum feminis Indonesia dalam kontroversi ini. Aneh,
karena mereka ikut-ikutan menolak draf undang-undang tersebut dengan dalih
membela kaum perempuan. Sementara kita ketahui aktivis perempuan di banyak
negara justru sangat anti dan mengecam habis-habisan segala bentuk
pornografi karena dianggap menghina perempuan. Sebutlah misalnya Andrea
Dworkin, Susan Brownmiller, Diana Russell, Catherine MacKinnon, Dorchen
Leidholdt dan lain-lain yang tergabung dalam Women Against Pornography (WAP)
dan National Organization for Women (NOW) di Amerika, atau Alice Schwarzer,
Lore Maria Peschel, dan Sabine Leutheusser dari Bonner FrauenbEdnis,
Jerman.

Akhirnya mari kita kembalikan masalah pornografi-pornoaksi ini kepada hati
nurani dan rasa tanggung-jawab kita terhadap masa depan bangsa. Tanpa
disadari bangsa yang tunduk kepada tirani hawa nafsu sebenarnya tengah
melakukan proses bunuh diri.
Seperti kata pujangga Mesir, jatuh-bangunnya suatu bangsa disebabkan oleh
moralnya. Jikalau runtuh akhlaknya, maka hancurlah bangsa itu (innama
l-umamu al-akhlaqu ma baqiyat, fa in humu dzahabat akhlaquhum dzahabu).

*Penulis adalah peneliti pada Institute for the Studi of Islamic Thought and
Civilization (INSISTS). Kini menempuh program doktor keduanya di Universitas
Frankfurt, Jerman.


---





===================================================================
        Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
===================================================================
Yahoo! Groups Links









***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to