Selasa, 11 April 2006

Salam,Bagi  teman-teman saya sudah pernah membaca wawancara Gus Dur di bawah 
ini,  saya mohon maaf jika mengirimkannya kembali, karena wawancara ini telah  
dimuat oleh Jawa Pos 7 April dan Indo Pos 9 April, namun ada beberapa  bagian 
penting yang terbuang karena alasan keterbatasan ruang. Untuk  itu, saya perlu 
mengirimkannya kembali transkrip lengkap wawancara  tersebut, terutama soal 
sastra Islam dan pornografi, masalah Kewajen,  konflik di Irak (syiah dan suni) 
dan beberapa tema menarik lainnya. 
  
  Bagi Anda yang ingin mendengarkan dan beriteraksi langsung dengan Gus Dur, 
silakah simaklah Kongkow Bareng Gus Dur di Utan Kayu 89.2 FM (KBR 68H) Setiap 
hari Sabtu pukul 10.00-11.00 WIB.
  
  Terima kasih dan selamat membaca
  
  -GuN-
  
  http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1028  KH. Abdurrahman Wahid: 
 Jangan Bikin Aturan Berdasarkan Islam Saja!      Wawancara | 10/04/2006  Pola 
pandang dan sikap yang terus menghargai  perbedaan dalam kerangka keragaman 
etnis, budaya, dan agama di  Indonesia, masih tetap manjadi ciri khas KH. 
Abdurrahman Wahid, mantan  orang nomor satu di negeri ini. Kyai nyentrik yang 
akrab disapa Gus Dur  itu, kembali mengingatkan pentingnya menolak penyeragaman 
cara pandang,  sikap, maupun perilaku dalam beragama dan bernegara di negeri 
ini.
        Pola pandang dan sikap yang terus menghargai perbedaan dalam  kerangka 
keragaman etnis, budaya, dan agama di Indonesia, masih tetap  manjadi ciri khas 
KH. Abdurrahman Wahid, mantan orang nomor satu di  negeri ini. Kyai nyentrik 
yang akrab disapa Gus Dur itu, kembali  mengingatkan pentingnya menolak 
penyeragaman cara pandang, sikap,  maupun perilaku dalam beragama dan bernegara 
di negeri ini. Berikut  petikan wawancara M. Guntur Romli dan Alif Nurlambang 
(JIL) dengan Gus  Dur tentang pelbagai persoalan mutakhir negeri ini pekan 
lalu. 
    JIL: Gus Dur, akhir-akhir ini ada polemik tentang Perda Tangerang  tentang 
pelacuran dan rencana UU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU  APP). Apa komentar 
Gus Dur tentang Perda yang melarang pelacuran tanpa  pandang bulu itu?
    KH.  ABDURRAHMAN WAHID: Menurut saya, baik Perda Tangerang maupun RUU APP  
yang kini diributkan, harus jelas dulu siapa yang merumuskan dan  
menentukannya. Pelacuran memang dilarang agama, tapi siapakah pelacur  itu?! 
Jangan-jangan, yang kita tuduh pelacur justru bukan pelacur. Dari  dulu memang 
ada dua hal yang perlu kita perhatikan sebelum menetapkan  undang-undang. 
Pertama tentang siapa yang merumuskan. Dan kedua tentang  apakah dia memiliki 
hak antara pelaksana dan pihak lain. Contoh paling  jelas adalah soal definisi 
pornografi. Ketika tidak jelas ini dan itu  pornonya, yang berhak menentukannya 
adalah Mahkamah Agung. 
    Tapi di luar itu, masih banyak masalah-masalah yang mendera negara  kita 
yang lebih butuh penyelesaian, seperti persoalan ekonomi. Jadi  prioritas kita 
bukan membikin aturan macam-macam. Contohnya, isu  pelacuran itu juga sangat 
terkait dengan soal ekonomi. Meski kita mau  bikin seribu peraturan, tapi tidak 
ada peningkatan taraf kehidupan,  pelacuran tidak akan pernah bisa tersentuh, 
boro-boro bisa dihilangkan.  Jika hal ini terjadi, maka aturan tidak akan 
berfungsi apa-apa, kecuali  untuk selalu dilanggar. 
    JIL: Salah satu dasar munculnya perda-perda seperti itu adalah alasan 
otonomi daerah. Menurut Gus Dur bagaimana?
    Otonomi daerah tidak mesti sedemikian jauh. Dia harus spesifik.  Seperti 
salah satu negara bagian Amerika Serikat, Louisiana, yang masih  melandaskan 
diri pada undang-undang Napoleon dari Perancis, walaupun  negara-negara bagian 
lain menggunakan undang-undang Anglo-Saxon.  Perbedaan tersebut sudah 
dijelaskan dalam undang-undang dasar mereka di  sana semenjak awal, bukan 
ditetapkan belakangan dan secara serampangan.  Untuk Indonesia, daerah-daerah 
mestinya tidak bisa memakai dan  menetapkan undang-udang secara 
sendiri-sendiri. Itu bisa kacau.
    JIL: Bagaimana kalau otonomi daerah juga hendak mengatur persoalan agama?
    Otonomi daerah itu perlu dipahami sebagai kebebasan untuk  melaksanakan 
aturan yang sudah ada, bukan kebebasan untuk menetapkan  undang-undang sendiri. 
Pengertian otonomi daerah itu bukan seperti yang  terjadi sekarang ini; daerah 
mau merdeka di mana-mana dan dalam segala  hal. Sikap itu tidak benar.
    JIL: Apakah beberapa daerah yang mayoritas non-muslim seperti  NTT, Papua, 
Bali, dan lain-lain, dibolehkan menerapkan aturan agama  mereka masing-masing 
dengan alasan otonomi daerah?
    Iya nggak apa-apa. Itu konsekuensinya kan? Makanya, kita tidak usah  
ribut-ribut soal perda dan aturan yang berasal dari satu agama. Dulu di  tahun 
1935, kakek saya dari ayah, Almarhum KH. Hasyim Asy’ari, sudah  ngotot-ngotot 
berpendapat bahwa kita tidak butuh negara Islam untuk  menerapkan syariat 
Islam. Biar masyarakat yang melaksanakan (ajaran  Islam, Red), bukan karena 
diatur oleh negara. Alasan kakek saya  berpulang pada perbedaan-perbedaan 
kepenganutan agama dalam masyarakat  kita. Kita ini bukan negara Islam, jadi 
jangan bikin aturan-aturan yang  berdasarkan pada agama Islam saja.
    JIL: Gus, ada yang berpendapat dengan adanya RUU APP dan sejumlah  
perda-perda syariat, Indonesia akan “diarabkan”. Apa Gus Dur setuju  dengan 
pendapat itu?
    Iya betul, saya setuju dengan pendapat itu. Ada apa sih sekarang  ini? 
Ngapain kita ngelakuin gituan. Saya juga bingung; mereka  menyamakan Islam 
dengan Arab. Padahal menurut saya, Islam itu beda  dengan Arab. Tidak setiap 
yang Arab itu mesti Islam. Contohnya tidak  usah jauh-jauh. Semua orang tahu 
bahwa pesantren itu lembaga Islam,  tapi kata pesantren itu sendiri bukan dari 
Arab kan? Ia berasal dari  bahasa Pali, bahasa Tripitaka, dari kitab agama 
Buddha.
    JIL: Kalau syariat Islam diterapkan di Indonesia secara penuh, bagaimana 
kira-kira nasib masyarakat non-muslim?
    Ya itulah… Kita tidak bisa menerapkan syariat Islam di Indonesia  kalau 
bertentangan dengan UUD 45. Dan pihak yang berhak menetapkan  aturan ini adalah 
Mahkamah Agung. Hal ini menjadi prinsip yang harus  kita jaga bersama-sama. 
Tujuannya agar negeri kita aman. Jangan sampai  kita ini, dalam istilah bahasa 
Jawa, usrek (Red: ribut) terus. Kalau  kita usrek, gimana mau membangun bangsa? 
Ribut mulu sih... Dan  persoalannya itu-itu saja. 
    JIL: Bagaimana dengan barang dan tayangan erotis yang kini dianggap sudah 
akrab dalam masyarakat kita?
    Erotisme merupakan sesuatu yang selalu mendampingi manusia, dari  dulu 
hingga sekarang. Untuk mewaspadai dampak dari erotisme itu  dibuatlah pandangan 
tentang moral. Dan moralitas berganti dari waktu ke  waktu. Dulu pada zaman ibu 
saya, perempuan yang pakai rok pendek itu  dianggap cabul. Perempuan mesti 
pakai kain sarung panjang yang menutupi  hingga matakaki. Sekarang standar 
moralitas memang sudah berubah.  Memakai rok pendek bukan cabul lagi. Oleh 
karena itu, kalau kita mau  menerapkan suatu ukuran atau standar untuk semua, 
itu sudah merupakan  pemaksaan. Sikap ini harus ditolak. Sebab, ukuran satu 
pihak bisa tidak  cocok untuk pihak yang lain. Contoh lain adalah tradisi tari 
perut di  Mesir yang tentu saja perutnya terbuka lebar dan bahkan kelihatan  
puser. Mungkin bagi sebagian orang, tari perut itu cabul. Tapi di  Mesir, itu 
adalah tarian rakyat; tidak ada sangkut-pautnya dengan  kecabulan. 
    JIL: Jadi erotisme itu tidak mesti cabul, Gus?
    Iya, tidak bisa. Anda tahu, kitab Rawdlatul Mu`aththar (The Perfumed  
Garden, Kebun Wewangian) itu merupakan kitab bahasa Arab yang isinya  tatacara 
bersetubuh dengan 189 gaya, ha-ha-ha.. Kalau gitu, kitab itu  cabul, dong? 
ha-ha-ha… Kemudian juga ada kitab Kamasutra. Masak semua  kitab-kitab itu 
dibilang cabul? Kadang-kadang saya geli, mengapa  kiai-kiai kita, kalau 
dengerin lagu-lagu Ummi Kultsum—penyanyi  legendaris Mesir—bisa sambil 
teriak-teriak “Allah… Allah…” Padahal isi  lagunya kadang ngajak orang minum 
arak, ha-ha-ha.. Sangat saya  sayangkan, kita mudah sekali menuding dan memberi 
cap sana-sini; kitab  ini cabul dan tidak sesuai dengan Islam serta tidak boleh 
dibaca. 
    Saya mau cerita. Dulu saya pernah ribut di Dewan Pustaka dan Bahasa  di 
Kuala Lumpur Malaysia. Waktu itu saya diundang Prof. Husein Al-Attas  untuk 
membicarakan tema Sastra Islam dan Pornografi. Nah, saya ributnya  dengan 
Siddik Baba. Dia sekarang menjadi pembantu rektor di Universitas  Islam 
Internasional Malaysia. Menurut dia, yang disebut karya sastra  Islam itu harus 
sesuai dengan syariat dan etika Islam. Karya-karya yang  menurutnya cabul 
bukanlah karya sastra Islam. Saya tidak setuju dengan  pendapat itu. Kemudian 
saya mengulas novel sastrawan Mesir, Naguib  Mahfouz, berjudul Zuqaq Midaq 
(Lorong Midaq), yang mengisahkah pola  kehidupan di gang-gang sempit di Mesir. 
Tokoh sentralnya adalah seorang  pelacur. Dan pelacur yang beragama Islam itu 
bisa dibaca pergulatan  batinnya dari novel itu. Apakah buku itu tidak bisa 
disebut sebuah  karya Islam hanya karena ia menceritakan kehidupan seorang 
pelacur? Ia  jelas produk seorang sastrawan brilian yang beragama Islam.
 Aneh kalau  novel itu tidak diakui sebagai sastra Islam. 
    JIL: Gus, ada yang bilang kalau kelompok-kelompok penentang RUU  APP ini 
bukan kelompok Islam, karena katanya kelompok ini memiliki  kitab suci yang 
porno?
    Sebaliknya menurut saya. Kitab suci yang paling porno di dunia adalah 
Alqur’an, ha-ha-ha.. (tertawa terkekeh-kekeh).
      JIL: Maksudnya?
    Loh, jelas kelihatan sekali. Di Alqur’an itu ada ayat tentang  menyusui 
anak dua tahun berturut-turut. Cari dalam Injil kalau ada ayat  seperti itu. 
Namanya menyusui, ya mengeluarkan tetek kan?! Cabul dong  ini. Banyaklah contoh 
lain, ha-ha-ha… 
     
    JIL: Bagaimana dengan soal tak boleh membuka dan melihat aurat  dan karena 
itu orang bikin aturan soal aurat perempuan lewat  perda-perda?
    Menutup aurat dalam arti semua tubuh tertutup itu baik saja. Namun  belum 
tentu kalau yang disebut aurat itu kelihatan, hal itu tidak baik.  Aurat 
memiliki batasan maksimal dan minimal. Nah bukan berarti batasan  minimal itu 
salah. Kesalahan RUU yang ingin mengatur itu adalah:  menyamakan batasan 
maksimal dan minimal dalam persoalan aurat. Sikap  itu merupakan cara pandang 
yang salah. Kemudian, yang disebut aurat itu  juga perlu dirumuskan dulu 
sebagai apa. Cara pandang seorang sufi  berbeda dengan ahli syara’ tentang 
aurat, demikian juga dengan cara  pandang seorang budayawan. Tukang pakaian 
melihatnya beda lagi; kalau  dia tak bisa meraba-raba, bagaimana bisa jadi 
pakaian… ha-ha-ha..  Batasan dokter beda lagi. Kerjanya kan ngutak-ngutik, dan 
buka-buka  aurat, itu, he-he-he. 
    Saya juga heran, mengapa aurat selalu identik dengan perempuan. Itu  tidak 
benar. Katanya, perempuan bisa merangsang syahwat, karena itu  tidak boleh 
dekat-dekat, tidak patut salaman. Wah… saya tiap pagi  selalu kedatangan tamu. 
Kadang-kadang gadis-gadis dan ibu-ibu. Itu bisa  sampai dua bis. Mereka semua 
salaman dengan saya. Masak saya langsung  terangsang dan ingin ngawinin mereka 
semua?! Ha-ha-ha.. Oleh karena  itu, kita harus hati-hati. Melihat perempuan 
tidak boleh hanya sebagai  objek seksual. Perempuan itu sama dengan laki-laki; 
sosok makhluk yang  utuh. Jangan melihatnya dari satu aspek saja, apalagi cuma 
aspek  seksualnya. 
     
    JIL: Sekarang tentang SKB pendirian rumah ibadah. SKB itu sudah disahkan. 
Bagaimana tanggapan Gus Dur terhadap revisi SKB itu?
    Begini, kita harus hati-hati terhadap dua hal yang saling  bertentangan. Di 
satu pihak, ada keinginan mencegah dampak kegiatan  beragama yang belum ada 
aturannya. Karena itu, diperlukan persetujuan  dari berbagai pihak soal 
jumlahnya sekian-sekian (soal quota pengaju  pembangunan rumah ibadah, Red). 
Kedua, soal memberi hak kepada siapapun  untuk melakukan ibadah. Di sini 
terjadi persinggungan. 
    Tapi persoalan sesungguhnya saya lihat ada pada birokrasi. Selama  ini, 
saya menganggap birokrat-birokrat kita pilih kasih. Permintaan  agama A akan 
disetujui oleh birokrat yang beragama A saja. Kalau begini  terus, negara kita 
akan kacau-balau. Karena itu, sebelum menetapkan  suatu keputusan, isu-isu 
perlu dibicarakan bersama secara serius. Kita  tahu sendirilah, Departemen 
Agama itu adalah departemen yang paling  brengsek. Hal lain, pemerintah tidak 
boleh campur terlalu banyak dalam  soal-soal agama, karena itu akan menggiring 
kita menjadi negara agama. 
     
    JIL: Revisi SKB ini muncul dari ribut-ribut soal pendirian rumah ibadah 
yang konon serampangan?
    Pandangan itu muncul dari keadaan yang morat-marit, bukan keadaan  yang 
benar. Memang ada saja orang yang semau-maunya membangun rumah  ibadah. Hal itu 
sebetulnya bersifat teknis dan sumir. Dan soal itu  mestinya bisa ditentukan 
dan dimediasi oleh kepala daerah  masing-masing, bukan oleh peraturan. Dan, 
peraturan yang sudah ada saja  yang dijalankan. Kalau ada pelanggaran aturan, 
bawa ke pengadilan.  Jangan diselesaian sendiri-sendiri. Kita ini hidup di 
negara hukum. 
     
    JIL: Kalau diserahkan pada kepala daerah, nanti bisa mirip SK Gubernur Jawa 
Barat yang tidak adil dong, Gus?
    Kalau seperti itu, gubernurnya yang kita tuntut. Jangan peraturannya yang 
dikorbankan. Masak jadi gubernur kaya gitu?!
     
    JIL: Gus, saat ini marak konflik Sunni-Syiah di Irak. Banyak  masjid dibom 
dan antar muslim saling berseteru. Sebenarnya, bagaimana  asal-muasal sejarah 
konflik Syiah-Sunni?
    Konflik itu muncul akibat doktrin agama yang dimanipulasi secara  politis. 
Sejarah mengabarkan pada kita, dulu muncul peristiwa  penganiaan terhadap 
menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib dan anak  cucunya. Keluarga inilah yang 
disebut Ahlul Bayt, dan mereka memiliki  pendukung fanatik. Pendukung atau 
pengikut di dalam bahasa Arab disebut  syî`ah. Selanjutnya kata syî`ah ini 
menjadi sebutan dan identitas bagi  pengikut Ali yang pada akhirnya menjadi 
salah satu firkah teologis  dalam Islam. Sedangkan pihak yang menindas Ali dan 
pengikutnya dikenal  dengan sebutan Sunni. 
    Persoalan sesungguhnya waktu itu adalah tentang perebutan kekuasaan  atau 
persoalan politik. Namun doktrin agama dibawa-bawa. Maka dari itu,  janganlah 
bawa-bawa agama dalam masalah politik. Jadinya akan seperti  itu; campur-aduk 
tidak karuan. Kaum Syiah, tidak terima dengan  penindasan itu, dan mereka 
terus-menerus menyusun kekuatan dan ingin  merebut kekuasaan. Dan waktu itu 
pula, kekuasaan Islam dipimpin oleh  pemimpin-pemimpin Sunni yang sangat kejam 
dan memusuhi Syiah, seperti  Khalifah Yazid bin Mu’awiyah di Damaskus. Contoh 
dari kekejaman dia  adalah melakukan pembantaian terhadap Husein bin Ali 
berserta keluarga  dan pengikutnya di Padang Karbala. Bayangkan, padahal Husein 
adalah  cucu Rasulullah dan putra Ali bin Abi Thalib. 
    Yazid juga mengangkat seorang gubernur Irak yang sangat kejam,  namanya 
Yusuf Hajjaj al-Tsaqafi. Nah, penindasan terhadap kaum Syiah  berlangsung 
selama berabad-abad, dan alasannya lebih karena soal  kekuasaan. Salah satu 
jalan keluar dari konflik ini adalah: jangan  bawa-bawa agama dalam persoalan 
politik. Dan persoalan hubungan Syiah  dan Sunni di Irak mestinya dilihat 
sebagai problem politik, bukan  problem agama. 
     
    JIL: Jadi konflik itu bisa dianggap konflik politik yang dijubahi agama?
    Iya. Menurut saya, klaim teologis tidak bisa jadi klaim politik.  Kalau ini 
disepelekan, akan terjadi seperti yang kita saksikan saat  ini. Misalnya, kaum 
Syiah mengatakan bahwa garis kepemimpinan (politik)  hanya ada pada keturunan 
Nabi. Kalangan Syiah juga menganggap mereka  maksum (tidak bisa salah). Di 
pihak lain, ada pendapat yang berusaha  menafikan keturunan nabi, bahkan 
memusuhi, karena dianggap berpotensi  merebut kekuasaan. 
    Kalau saya sih mudah-mudah saja; berada di antara dua pendapat di  atas. 
Saya cukup menghormati keturunan Nabi. Demikian juga sikap NU;  dua pendapat 
ekstrem itu tidak diikuti. Tegasnya, kami memiliki tradisi  mencintai keturunan 
Nabi, bukan semata-mata karena soal ketertundukan  (the degree of obedience) 
politik. Apakah harus tunduk secara politik  pada keturunan Nabi itu menjadi 
kewajiban agama atau tidak? Kelompok  yang menganggap ketundukan itu bagian 
dari agama disebut Syiah,  sementara yang menganggapnya sebagai persoalan 
sosiologis, disebut  Sunni. Nah, dalam Sunni ini ada yang kadar sosiologisnya 
dalam melihat  persolan kuat, dan ada juga yang tidak.
     
    JIL: Kita kembali ke persoalan negeri kita. Sekarang ada  kelompok-kelompok 
yang sangat rajin melakukan tindak kekerasan,  ancaman, intimidasi, dan 
lain-lain terhadap kelompok yang mereka tuding  melakukan penodaan atau 
penyimpangan agama. Gus Dur menanggapinya  bagaimana?
    Tidak bisa begitu. Cara itu tidak benar dan melanggar ajaran Islam.  Tidak 
bisa melakukan penghakiman dan kekerasan terhadap kelompok lain  atas dasar 
perbedaan keyakinan. Siapa yang tahu hati dan niat orang.  Tidak ada itu yang 
namanya pengadilan terhadap keyakinan. Keyakinan itu  soal batin manusia, 
sementara kita hanya mampu melihat sisi lahirnya.  Nabi saja bersabda, nahnu 
nahkum bil dlawâhir walLâh yatawalla  al-sarâ’ir (kami hanya melihat sisi 
lahiriah saja, dan Allah saja yang  berhak atas apa yang ada di batin orang, 
Red). Sejak dulu, kelompok  yang suka dengan cara kekerasan itu memang 
mengklaim diri sedang  membela Islam, membela Tuhan. Bagi saya, Tuhan itu tidak 
perlu dibela!
     
    JIL: Kalau orang muslim tidak melaksanakan syariat Islam seperti salat atau 
ibadah wajib lain, diapakan, Gus?
    Begini ya… Saya sudah lama mengenalkan beberapa istilah penting  dalam 
melihat persoalan keberagamaan dalam masyarakat kita. Golongan  muslim yang 
taat pada masalah ritual, biasanya kita sebut golongan  santri. Namun ada 
golongan lain yang kurang, bahkan tidak menjalankan  ritual agama. Mereka ini 
biasanya disebut kaum abangan, atau penganut  agama Kejawen. Lantas, kita mau 
menyebut golongan kedua ini kafir?  Tidak benar itu! 
    Saya baru saja yakin bahwa Kejawen itu Islam. Baru setengah tahun  ini. 
Saya baru yakin ketika mendengarkan lagu-lagunya Slamet Gundono  (seorang 
dalang wayang suket kondang, Red). Saya baru paham betul; ooh,  begitu toh 
Kejawen. Inti ajarannya sama saja dengan Islam. Bedanya ada  pada pelaksanaan 
ritual keagamaan. Kesimpulannya begini: Kejawen dan  Islam itu akidahnya sama, 
tapi syariatnya berbeda. Penganut Kejawen itu  Islam juga, cuma bukan Islam 
santri. Gitu loh… selesai, kan? Gitu aja  repot. []
 
    Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1028
  
    
  
    
  
     
  
    
          Hak cipta ©2001-2005, Jaringan Islam Liberal (JIL). Kontak: [EMAIL 
PROTECTED]  
  
    

Memahami Perbedaan Menghilangkan Jarak dan Membentuk Ego Menjadi Empati yang 
Utuh
-GuN-
Tlp 081319174019
                
---------------------------------
New Yahoo! Messenger with Voice. Call regular phones from your PC and save big.

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke