refleksi: Bagi yang patah hati, jangan terus mati,  masih ada harapan untuk bahagia.


CENDRAWASIH POS

Kamis, 27 April 2006



Tak Tertarik Face Off, Sigit Hani Tetap Pede dengan Wajahnya





Kecelakaan, Ditinggal Kekasih, Tetap Dapat Istri



Gara-gara kecelakaan pesawat yang terjadi sembilan tahun lalu, wajah Sigit Hani Hadiyanto rusak dan cacat. Anak kecil pun takut melihatnya. Dia tak tertarik dengan operasi wajah (face off) seperti yang dilakukan Siti Nur Jazilah alias Lisa. Sigit pun tetap pede dengan wajahnya.

HAFID ABDURAHMAN, Jakarta

Tak sedikit pun terlihat kikuk, meski dengan wajahnya yang cacat. Rupanya Sigit sudah terbiasa. Ini terlihat ketika pria 32 tahun itu menerima Jawa Pos di kantornya, Departemen Perhubungan di Jl Merdeka Barat, Jakarta, Selasa sore lalu.

Sekilas, wajah Sigit memang membuat merinding. Seluruh wajahnya melepuh. Kedua matanya tak berkelopak. Hidungnya nyaris rata dengan pipi, hanya terlihat dua lubang saja. Dia juga tak punya daun telinga, dan bibir bawahnya tertarik ke bawah.

Ditemui di kantornya hari itu, Sigit tampak bersahaja. Dia sangat ramah. Cara bicaranya yang hangat, membuat Jawa Pos gayeng ngobrol dengan dia.

"Meski kondisi saya seperti ini, saya harus tetap bersyukur," katanya.

Peristiwa yang dialami Sigit, terjadi sembilan tahun lalu di sebuah tempat yang tak pernah dilupakannya. Yakni sebuah bukit di Kecamatan Jasinga, Bogor. "Gara-gara peristiwa itu, cita-cita saya menjadi pilot kandas," ujar pria yang tinggal di kawasan Tanjung Priok Jakarta ini.

Musibah itu terjadi pada 28 Januari 1997. Saat itu, dia menerbangkan pesawat latih jenis TB 10 Tobago buatan Perancis. Pesawat jenis ini hanya bisa diisi empat penumpang.

"Saya terbang bersama Dwi Krismawan, siswa PLP (Pendidikan dan Latihan Penerbangan) Curug. Saya sebagai instruktur yang mengajarkan dia (Dwi) terbang," ceritanya.

Tepat, pukul 7 pagi, pesawat take off dari PLP Curug. Sigit dan Dwi duduk berdampingan di dalam kokpit. Sebenarnya, saat itu cuaca tidak bersahabat. ''Cuacanya model kayak sekarang ini. Kadang hujan, kadang terang. Kami berangkat dari Curug jam 7 pagi. Cuacanya memang agak gerimis, hujan. Pandangan terbatas karena awan,'' kata Sigit. "Tapi, kami memutuskan untuk tetap terbang," lanjutnya.

Mereka membawa pesawat ke arah selatan. ''Kebetulan, area latihan kita itu sebelah selatannya ada perbukitan. Perbukitan itu sebagai batas latihan,'' tuturnya. Setelah 30 menit mengitari angkasa, Sigit meminta Dwi untuk terbang pada ketinggian 2.000 feet atau sekitar 600 meter.

Pada saat itu, cuaca buruk tak kunjung reda. Pandangan yang terbatas, membuat Sigit dan Dwi tak sadar telah melewati perbukitan yang selama ini menjadi batas latihan terbang. Sigit lantas memutuskan untuk kembali ke Curug. Nah, saat itulah, musibah terjadi. ''Ketika kami mau balik arah ke Curug, ternyata sudah dekat dengan perbukitan,'' papar anak pasangan Harsono dan Sri Haryani ini.

Semula, Sigit melihat awan putih. Ternyata, warna putih itu berubah hijau. Jarak pesawat dekat sekali dengan pohon di bukit tersebut. Sigit berusaha menghindar. Dia berusaha mengendalikan pesawatnya agar tak menabrak pohon di perbukitan itu. Namun, usahanya sia-sia. ''Tidak ada pilihan lain. Terjadilah tabrakan itu," kata alumni SMA 5 Surabaya ini.

Pesawat latih itu jatuh. Tepatnya, di sebuah ladang milik warga di kawasan Jasinga, Bogor. Pesawat hancur dan terbakar. Sementara Sigit dan muridnya pingsan. Posisi keduanya masih di dalam kokpit. Beberapa menit berselang, Sigit siuman. ''Waktu siuman, api sudah tidak ada,'' cerita Staf Operasi Pesawat Udara DSKU (Direktorat Sertifikasi Kelaikan Udara) Dephub ini.

Dia tak menghiraukan keadaannya. Sigit kala itu tak menyadari tubuhnya ikut terbakar bersama pesawat. "Saat itu, saya langsung ingat murid saya. Saya lega, ketika dikabari murid saya selamat. Setelah itu, saya tak ingat apa-apa," ujar pria bertinggi 180 centi meter ini.

Saat sadar, Sigit sudah berada di kamar ICU RS Gleneagles Tangerang. Di rumah sakit itulah, dia baru sadar, tubuhnya melepuh akibat kobaran api. ''Cairan terus menutupi mata saya,'' ungkapnya. Cairan itu berasal dari kulit di kepala dan kelopak mata yang terkelupas terkena api. Dia mendengar ucapan dokter jika sedang mengalami luka bakar 27 persen. ''Luka di kepala 9 persen, luka dibagian lengan dan tangan 9 persen, serta luka di bagian leher 9 persen,'' jelasnya sembari menunjukkan organ tubuh yang mengalami luka bakar.

Selain rusak di bagian wajah, akibat kecelakaan itu, kulit lehernya ikut tertarik ke bawah. Jari-jari tangannya tak lagi lentik dan bisa digerakkan seperti sebelumnya.

Masih untung, api tak merusak organ bagian dalam. Dua bola mata Sigit masih utuh. Sehingga, dia masih bisa melihat meski harus mengenakan kacamata. Penciumannya dan pendengarannya masih cukup tajam meski organ luarnya rusak.

Setelah lima bulan dirawat di RS, Sigit sempat shock begitu mendapati wajah barunya. "Waktu itu saya nelangsa," lanjut lulusan terbaik PLP Curug angkatan 52 ini. Batinnya menangis, kecewa sekaligus marah.

Penderitaan Sigit bertambah ketika pacarnya memilih memutuskan hubungan sepihak. Sang kekasih rupanya tidak bisa menerima perubahan pada tubuh Sigit. ''Bulan ke delapan saya di rumah sakit, dia meninggalkan saya," ucapnya.

Kepergian sang kekasih, membuat Sigit sempat kehilangan harapan menatap masa depan.''Setelah dia pergi, sempat juga mikir, apakah masih ada wanita yang mau menerima saya," tuturnya.

Sigit semakin stres ketika dia kembali ke masyarakat, setelah dirawat 15 bulan di RS. Dia merasa beberapa orang yang bertemu dengannya merasa takut. Dia semakin terpukul ketika melihat seorang anak menangis begitu melihat wajahnya karena takut. Padahal, Sigit hanya berniat menyapa.

Yang membuatnya semakin patah arang, dia tak bisa menerbangkan kembali pesawat. Sebab, jari-jarinya yang cacat tak memenuhi syarat untuk mengoperasikan piranti di kokpit pesawat. ''Persyaratan untuk pilot, jari-jari harus sempurna. Dari kecil, cita-cita saya jadi pilot, kok baru satu tahun, kemudian kecelakaan. Ini yang paling berat bagi saya,'' lanjutnya.

Pelan-pelan, Sigit mulai memberanikan diri melawan ketakutan yang berkecamuk dalam benaknya. Sigit akhirnya berhasil bangkit dari keterpurukan. Dia kembali bertugas sebagai instruktur di PLP Curug. Meski tidak lagi mengajar cara menerbangkan pesawat. ''Saya tidak lagi ngajar di pesawat, saya ngajar di kelas,'' ujar sulung dari tiga bersaudara ini.

Dia juga kembali bekerja di Dephub. Bahkan, Sigit diberi tugas lebih dibanding sebelum mengalami kecelakaan. Dia ditugaskan sebagai inspektur di sejumlah perusahaan penerbangan di Indonesia. Kesibukannya ini sanggup membuatnya lupa dengan cacat yang dideritanya. Dia merasa tak lagi ''beda'' dengan orang lain. Sigit mulai merasa menang melawan dirinya sendiri.

Dia semakin bahagia, ketika dia menemukan pendamping hidup. Wanita itu bernama Menuk Sudarwati yang dinikahinya September 2005. Sigit mengaku kenal dengan Menuk yang berparas cantik saat melakukan inspeksi di Bouraq Airlines. Kala itu, Menuk tercatat sebagai karyawan di perusahaan penerbangan yang kini sudah ''almarhum'' itu.

''Kami kenal sejak 2001. Kami kemudian jalan (pacaran, Red) sejak 2002,'' tukasnya. Hubungan asmara Sigit dan Menuk juga dibumbuhi pertentangan. Terutama, restu dari pihak keluarga Menuk. ''Kalau dari aspek lain, kita seiman, sama-sama kerja. Kalau saya normal, mungkin tidak jadi masalah,'' katanya. Apalagi, Menuk merupakan anak perempuan tunggal di keluarganya. Sehingga, kedua orang tuanya tak begitu saja melepaskan sang putri kepada Sigit. Setelah tiga tahun menghadapi pertentangan, hubungan Sigit-Menuk menuai restu. Mereka akhirnya menikah.

Tak tertarik mencoba face off seperti dilakukan Siti Nur Jazilah alias Lisa di RSU dr Soetomo Surabaya? Sigit terdiam sejenak. ''Saya sudah sangat bersyukur dengan diri saya saat ini,'' jawabnya. Dia mengaku ada beberapa alasan mengapa dia belum tertarik dengan operasi wajah seperti Lisa. "Operasi itu nggak nyaman. Harus dibius dan butuh recovery yang lama,'' ujarnya. ''Cukuplah dengan yang ada pada diri saya sekarang ini,'' tambahnya.(*)


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]




SPONSORED LINKS
Cultural diversity Indonesian languages Indonesian language learn
Indonesian language course


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke