REPUBLIKA
Senin, 15 Mei 2006


'Saya Pemaaf, Kecuali Buat Soeharto'

Oleh : Ahmad Tohari




Kata-kata itu diucapkan Jumat 12 Mei lalu oleh Mas Tom, teman saya. Ketika mengatakan hal itu, di mata Mas Tom ada api. Di wajahnya juga ada api. Dalam kata-katanya ada dendam sejarah.

Atau, malah sebaliknya. Kata-kata Mas Tom itu adalah wakil dari ratusan ribu orang seperti dia. Mereka tidak tahu apa-apa mengenai geger politik yang dahsyat di tahun 1965. Mas Tom sendiri saat itu berusia 5 tahun dan baru bisa bermain-main bersama teman-teman seusia. Namun, pada usia sedini ini Mas Tom harus mengalami siksaan lahir batin karena suatu hal yang dia tidak mengerti sama sekali, yakni pemberontakan Partai Komunis Indonesia tahun 1965.

Ketika anak-anak, Mas Tom bersama keluarganya tinggal di sebuah daerah perkebunan karet. Ayahnya memang bekerja di sana dan mungkin menjadi pemimpin buruh perkebunan tingkat lokal. Mungkin, karena Mas Tom saat itu belum tahu apa-apa, Mas Tom juga hanya bisa menirukan kata orang ketika dia bilang bahwa pada saat itu semua buruh perkebunan berada di bawah Partai Komunis Indonesia. Tapi Mas Tom memang ingat, dulu di halaman rumahnya pernah dipasang lambang palu-arit yang tidak lain adalah simbol PKI.

Hari-hari pertama sejak terjadi peristiwa G-30-S PKI tahun 1965 adalah hari-hari penuh teror dan ancaman yang sangat mengerikan. Ayah Mas Tom bersama kelompoknya ditangkap. Beberapa di antaranya diambil lagi dan kemudian lenyap. Itu semua adalah cerita yang didengar setelah Mas Tom dewasa. Jadi Mas Tom tidak melihatnya. Namun demikian Mas Tom sangat mempercayainya karena dia pribadi--meskipun waktu itu masih sangat bocah--juga mengalami perlakuan kejam dan sampai kapan pun tak mungkin dilupakannya.

Mas Tom sungguh tak bisa mengerti mengapa anak usia 5 tahun seperti dirinya saat itu ikut diburu-buru dan diancam akan dicukil biji matanya oleh massa dan tentara. Dan, ancaman itu sangat mungkin akan menjadi kenyataan bila Mas Tom kecil tidak berhasil meloloskan diri dan bersembunyi di hutan karet.

O, pengalaman menjadi anak yang diburu untuk dicukil matanya itu membuat jiwanya luka amat dalam. Apalagi setelah dewasa Mas Tom menghadapi kenyataan, pengalaman masa anak-anak yang begitu mengerikan telah diperpanjang tanpa batas menjadi stigma sosial yang harus ditanggungnya. Peluang untuk menjadi pegawai negeri, bahkan sekadar jadi perangkat pemerintah desa, tertutup rapat bagi diri dan saudara-saudaranya. Dan, meski Mas Tom tahu dia tidak sendiri karena ada ratusan ribu orang yang senasib, kenyataan pahit itu sungguh tak bisa dimengerti. Jika ayahnya dianggap bersalah karena terlibat G-30-S, silakan ditangani secara hukum. Tapi mengapa seorang anak usia 5 tahun harus pula ikut menanggung hukumannya? Kekuatan apa atau siapakah yang telah menciptakan kondisi yang sangat tidak adil ini?

Siapa? Akhirnya setelah berusia belasan tahun duduk di SMP, di akhir tahun 1970-an, Mas Tom tahu kekuatan itu bernama Orde Baru dan personifikasinya adalah Jenderal Soeharto yang saat itu sudah jadi presiden.

Soeharto berjaya menjadi raja-presiden atau presiden-raja selama 32 tahun. Selama itu dia dipuji, dihormati dan sanjung-sanjung, mungkin karena dalam kenyataan kekuasaannya memang amat besar. Rakyat, siapa pun dia, harus ikut memuji-mujinya. Kalau tidak, akan tersingkir ke belakang. Dan Mas Tom? Agar tidak dicurigai Mas Tom sering terpaksa senyum bila orang di sekelilingnya sedang membicarakan kehebatan Soeharto. Kadang Mas Tom selalu merasa kembali tertusuk hatinya bila ada orang memuji presiden-raja itu. Bahkan melihat nama Soeharto tercetak dalam koran pun Mas Tom sering bergidik.

''Jadi menurut Mas Tom, Soeharto yang sekarang sedang sakit itu sebaiknya diapakan? Tetap diadili sebagai tersangka koruptor?'' tanya saya. ''Kalau benar kita mau menegakkan keadilan, ya begitu. Bahkan kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukannya pun harus dibawa ke meja hijau. Bila demikian, ratusan ribu orang seperti saya yang selama ini tersiksa lahir batin akan merasa mendapat keadilan. Lagi pula kita hidup dalam sebuah tatanan negara. Jadi hukum jangan mandul. Perihal nanti mau dimaafkan, ya silakan, asal jelas dulu status hukumnya.''

''Dimaafkan? Mas Tom secara pribadi mau memaafkan Soeharto?'' ''O, tidak. Silakan bangsa ini memaafkan dia, tetapi saya tidak.'' ''Betul? Mengapa begitu, sedangkan Tuhan sendiri punya sifat maha pengampun?''
''Yah, karena saya manusia. Dosa manusia kepada Tuhan mudah dimintakan ampunan. Tapi kekejaman Soeharto melalui aparatnya kepada saya adalah hak saya untuk memaafkan dia atau tidak. Apalagi tak ada jaminan stigma komunis yang menimpa diri saya hanya berhenti sampai di sini. Bagaimana bila anak-anak dan cucu-cucu saya juga harus ikut menanggungnya? Dan satu lagi; Soeharto itu panglima besar bagi para koruptor di Indonesia. Apakah ini mau didiamkan saja. Kalau ya, silakan. Tapi bangsa ini akan mendapat pelajaran apa namanya; korupsi sebesar apapun bisa dimaafkan.''

''Tapi Pak Harto kan ada juga jasanya. Maka sebaiknya ada maaf bagi dia,'' sambung saya.
''Saya bilang adili dulu dia untuk menentukan status hukumnya. Setelah itu silakan maafkan dia. Tapi jangan mengajak-ajak saya. Penderitaan saya masih panjang.''
Saya masih melihat api di mata Mas Tom ketika dia mengakhiri ucapannya. Dan saya tidak bisa lagi menanggapinya.


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]




SPONSORED LINKS
Cultural diversity Indonesian languages Indonesian language learn
Indonesian language course


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke