http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/052006/15/0901.htm


Makna Memaafkan Soeharto
Oleh ACEP IWAN SAIDI


KASUS dan penyelesaian dugaan korupsi terhadap mantan Presiden Soeharto adalah sebuah pentas dagelan paling lucu abad ini. Lucu karena memang ia mengundang tawa meskipun tawa yang nyinyir. Inilah tragedi hukum, politik, moralitas, dan secara umum peradaban bangsa yang sepanjang sejarahnya tidak pernah bangkit dari kecentangperenangan. Hukum telah membuktikan kelemahannya, politik membenarkan kekotorannya, moralitas mewujudkan kebobrokan, dan peradaban menciptakan kehancurannya sendiri.

Dagelan itu, kita semua tahu belaka, dimulai sejak Habibie naik menggantikan penguasa Orde Baru tersebut. Pada masa ini merebak isu dan desakan dari masyarakat agar Soeharto diadili sebab terlibat dalam banyak kasus korupsi. Tap yang menegaskan penindakan terhadap Soeharto dan kroninya pun disusun (Tap MPR Nomor XI/MPR/1998). Menyikapi hal ini, Habibie dan Jaksa Agung Andi Galib lantas bermain kucing-kucingan. Dibuatlah skenario sedemikian rupa agar desakan masyarakat seolah-olah diakomodasi, tetapi di sisi lain usaha-usaha penyelamatan juga terus dilakukan. Kita masih ingat bagaimana waktu itu Soeharto bersikap seakan-akan bertanggung jawab dengan menantang panggilan Jaksa Agung untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Tapi, kita kemudian bersaksi bahwa semua itu hanya sandiwara.

Masuk ke rezim Gus Dur desakan kian merebak. Beberapa kali Soeharto dipanggil. Kita mencatat bahwa saat ini Soeharto tidak lagi jantan seperti sebelumnya. Ia mulai sakit-sakitan kalau ada panggilan. Setelah tim dokter independen menyatakan "Bapak Pembangunan" itu sehat, dengan berbagai cara giliran pengacara dan keluarganya beralasan bahwa Soeharto tidak mungkin datang ke pengadilan. Demikian selanjutnya, Soeharto jatuh sakit kalau ada rencana dipanggil ke kejaksaan. Jika tidak ada isu peradilan terhadapnya, ia bisa tersenyum dan melambaikan tangan di depan kamera. Ia pun mampu menghadiri pernikahan cucunya.

Kini, setelah sekian lama kasus itu tenggelam, Soeharto sakit lagi, sakit yang datang berbarengan dengan rencana pemanggilan pengadilan untuknya. Suasananya kini lebih memelas, sentimentil, penuh haru, dan rasa kemanusiaan dari beberapa pejabat. Adalah Zaenal Maarif, Wakil Ketua DPR, yang kemudian disusul Theo L. Sambuaga (F-Golkar), Suryadharma Ali (Meneg Koperasi dan UKM, Gubernur Sutiyoso, dan juga Wapres Jusuf Kalla meminta kepada Jaksa Agung supaya Pak Harto dibebaskan saja. Kasusnya dicabut dan berikan maaf padanya. Jawabnya, Presiden SBY menyatakan kasus ini dihentikan karena alasan kesehatan, kemanusiaan, dan keprihatinan atas kondisi Pak Harto belakangan ini.

Tentu saja kita harus prihatin, tentu pula kita harus memiliki rasa kemanusiaan. Tapi, keprihatinan dan rasa manusiawi kita bukan hanya pada kondisi Soeharto, lebih penting lagi pada soal kemanusiaan itu sendiri yang di dalamnya menyangkut berbagai aspek kehidupan: hukum, politik, keyakinan, moralitas, dan seterusnya. Di satu sisi, kita menganut hukum positif, hukum yang melarang adanya praduga bersalah. Kebersalahan atau ketidakbersalahan mesti diputuskan di pengadilan. Namun, di sisi lain, dalam kasus Soeharto kita melanggar telak paham itu. Kasus Soeharto dihentikan sebelum dimeja- hijaukan. Kata maaf diberikan sebelum salah atau benar dibuktikan. Bangsa apa kita ini: tidak konsisten, pinplan, munafik, menyebalkan!

Padahal, jika meyakini dan menganut hukum positif, seharusnya kita juga memandang positif hukum itu sendiri. Orang diadili dan selanjutnya dibebaskan atau dihukum adalah sebuah mekanisme positif dalam menyelesaikan permasalahan. Dengan begitu, pengadilan dan hukuman berfungsi ganda, yakni kepada si terdakwa dan masyarakat. Kepada si terdakwa ia berfungsi korektif, sebuah mekanisme bagi perbaikan diri. Sementara itu, kepada masyarakat hukum berfungsi sebagai pendidikan bahwa yang salah harus dinyatakan salah dan dihukum, sementara yang benar mesti dibenarkan. Dengan begitu, hukum dan hukuman adalah harapan, tempat seluruh hak kemanusiaan dilindungi.

Dalam kasus Soeharto, pengadilan dan pembuktian salah atau tidak sangat perlu dilakukan dengan tujuan utama pendidikan. Dengan perkataan lain, salah atau benar dan dimaafkan atau tidak menjadi tidak penting lagi. Hal utama adalah pelaksanaan mekanisme pemecahan persoalan secara positif dalam hukum positif. Inilah proses pendidikan pada dan untuk bangsa yang sejauh ini memang tidak memiliki bangunan karakter yang jelas. Pengadilan atas Soeharto sebenarnya sebuah kesempatan yang baik untuk menunjukkan bahwa kita masih memiliki harapan pada hukum, politik, kemanusiaan, dan peradaban bangsa selanjutnya.

Sangat disayangkan kesempatan tersebut dilewatkan. Hal ini terjadi sebab kita memandang negatif pada hukum dan hukuman. Kita menganggap bahwa pengadilan terhadap Soeharto adalah kekejaman, tindakan tidak berperikemanusiaan karena sang tersangka ujur dan tidak berdaya. Padahal, jika kita mempertimbangkan hal ini, sebenarnya penderitaan Soeharto telah lebih dari cukup. Secara fisik ia memang tidak dihukum, tapi secara batiniah hukuman sosial yang diterimanya lebih dahsyat dari sekadar hukuman penjara. Kita semua maklum belaka, belakangan kita menjadi bangsa pengumpat, pencaci, dan penghina paling kejam di dunia. Dan semuanya telah ditumpahkan pada Soeharto.

Hukuman sosial tersebut lebih menyakitkan. Oleh sebab itu, saya pernah menyarankan, melalui sebuah tulisan, agar Pak Harto bersedia diadili dan dipenjara jika bersalah. Hemat saya, hukuman penjara lebih menguntungkan baginya. Di penjara Pak Harto bisa lebih tenang bertobat, terlindungi dari cacian, membuktikan kesatriaan sebagai perwira, dan masyarakat pasti akan cepat melupakannya ("Hukuman buat Pak Harto", Media Indonesia, 10/4/2000).

Sebaliknya, jika berada di luar penjara, ke depan kalau Tuhan masih memberinya usia, batin Pak Harto akan terus tersiksa. Kata maaf atau pengampunan tidak akan menyelamatkan dirinya dari siksaan itu, justru sebaliknya kebaikan pemerintah memaafkan tanpa peradilan akan menjadi senjata lain yang lebih memperpanjang dan memperdalam lukanya. Dengan itu, sejarah akan mencatat bahwa Soeharto adalah penguasa kejam dan koruptor yang mantan perwira, tetapi tidak memiliki jiwa satria sebab menghindar dari mekanisme hukum, seorang pengecut! Soeharto adalah jenderal pemimpin yang masa akhir hidupnya tergantung dari belas kasihan orang. Tentu ini adalah sejarah individu yang sangat tragis, menyakitkan. Keturunannya akan memanggul beban ini seumur hidup. Selain keturunannya, aib ini juga harus dipanggul oleh generasi bangsa secara keseluruhan mengingat Soeharto adalah mantan orang nomor satu di negeri ini.

Keluarga Soeharto dan Pemerintahan SBY mestinya menyadari hal itu. Persoalan ini mestinya tidak dilihat secara instan, tetapi harus dipertimbangkan jangka panjangnya. Kita jangan terus mengulang kebiasaan menyelesaikan masalah hanya di lapis permukaan. Jangan serakah. Kita harus memikirkan generasi mendatang, anak cucu yang kemungkinan besar akan menyandang bermacam persoalan lebih berat lagi. Kita boleh setuju Pak Harto dimaafkan, tapi kesalahan sejarah akan menimbulkan petaka dan luka memanjang ke masa depan! Kesalahan sejarah sangat sulit diluruskan. Oleh sebab itu, ia tidak bisa dimaafkan!***

Penulis, Dosen dan Kepala Perpustakaan FSRD Institut Teknologi Bandung.


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]




SPONSORED LINKS
Cultural diversity Indonesian languages Indonesian language learn
Indonesian language course


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke