Trully from deepest in my hearts ...
Merinding mbacanya ...
Dho jadi mellow nhe ...


DJ Oko -
Friendster Click by [EMAIL PROTECTED] 


-----Original Message-----
On Behalf Of M Ikhsan Modjo
From: "Denny Indrayana" <[EMAIL PROTECTED]>

Mohon perkenan membaca beberapa cerita nyata berikut ini. Bersyukurlah
saya, kita semua. Nikmat Tuhan mana lagi yang akan engkau dustakan.

(1)

SeKATA

SeKATA. SukarElawan duKA YogyakarTA. Kami tak siapa-siapa. Hanya
orang-orang yang masih punya tenaga. Ada mahasiswa UGM, UII, UIN.
Mahasiswa Sulawesi Selatan, pegawai Lembaga Ombudsman Daerah,
Indonesian Court Monitoring, Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama) dan
lain-lain. SeKATA punya cara kerja sederhana. Mengumpulkan dana dari
dermawan, membelikan sembako di masa tanggap darurat, dan
menyalurkannya ke daerah yang belum tersentuh bantuan sama sekali.

Semua bergerak dengan sukarela, dengan kerja nyata. Tanpa banyak kata.
Hanya demi korban gempa, ber-Seiya Sekata, membangun barisan:
SukarElawan duKA YogyakarTA.


****

(3)

Kejujuran Kain Kafan

Seorang korban datang dari Klaten. Membawa kabar duka ke sekian.
Warganya 18 orang menuju sakratul maut. Rumah sakit sudah menyerah.
Mereka harus siap-siap dengan prosesi pemakaman ke sekian.

Kain kafan tak tersedia di manapun mata memandang. Meski demikian,
uang 400 ribu diberikan ke seorang relawan. Misinya: cari kain kafan.
Entah siapa sang relawan, kami pun tak kenal. Yang jelas dia datang,
menyatakan siap bergabung dengan SeKATA. Dari pagi hingga sore, tak
ada kabar. Bendahara SeKATA mulai gelisah.

Menjelang Maghrib datanglah sang relawan. Membawa segulung kain kafan.
Dengan muka sumringah.

"saya berputar. Tak ada kafan dimana-mana".

Akhirnya di daerah Jalan Prambanan km 19 ada Dewa Tekstil, yang sudah
bersiap tutup.

"Mbak saya mau beli kain kafan. Untuk 18 orang korban gempa".

"Ambil saja Mas. Gratis". Ada mata sayu, dan senyum sendu seiring
suara tulus itu.

"Alhamdulillah".

Lalu sang relawan, masih dengan senyum, merogoh saku celananya.
Dikeluarkannya uang 400 ribu. Diserahkannya kembali ke bendahara
SekATA.

"Gratis mbak, ini uangnya tidak jadi terpakai".

Sang bendahara, tersenyum. Masih merasa berdosa, karena sempat
berprasangka buruk.

"Terimakasih mas".

"Eh, siapa namamu".

"Aris".

Aku tersenyum. Masih ada harapan. Meski langka, masih ada kejujuran di
negeri kampung maling.

Terimakasih Aris.

*****


Gempa di Negeri Kampung Maling

Pasca gempa Yogya. Dusun Kepek, Jetis, Bantul. Hadirlah bukti nyata
Indonesia, "Negeri Kampung Maling". Pencuri mengambil kesempatan di
tengah duka gempa sekalipun.

Malam hari, gelap-gulita. Tak ada listrik, hanya diterangi cahaya
rembulan. Di tengah guyuran lebat hujan. Di tenda posko yang seadanya.
Meluncurlah pick up bak terbuka. Berkedok seperti para relawan membawa
bantuan. Nyatanya, para relawan gadungan itu tega, teramat tega.
Mereka tanpa hati mencuri sembilan motor korban gempa yang sedang
diparkir di samping posko bantuan.

"Hanya itu yang tersisa. Kami tak punya apa-apa".

"Rumah tiada, sanak keluarga menjadi korban. Sekarang kecurian".

"Teganya mereka ya Allah".

Di negeri kampung maling, gempa bukan hanya mengetuk para relawan,
tetapi juga para manusia yang tak punya perasaan kemanusiaan.

*****

(4)

Kejujuran Loper Koran

Pasca gempa. Loper koran saya masih rajin berkeliling dengan sepeda
ontelnya.

"Pak, bagaimana kondisi panjenengan".

"Saya di Bantul Pak. Saya tidak punya rumah lagi. Rubuh."

"Hhhhh....turut berduka Pak. Bagaimana keluarga Bapak"

Tak ada sahutan. Hanya matanya mulai berkaca. Diam. Dan berlalu dengan
sepeda ontelnya.

Saya dan istri terdiam. Terpaku.

Esoknya.

"Pak ini ada bantuan sembako. Bapak bawa dan ini ongkosnya".

"Jangan Bu...kalau saya terima. Itu hanya untuk saya. Padahal banyak
warga di tempat saya yang membutuhkan. Ibu bawa bantuan dan uang itu
ke lokasi saja. Jangan diberikan kepada saya".

Ah...betul-betul air di tengah kemarau. Di tengah banyak korban
berteriak meminta bantuan. Sang loper koran dengan wajah lugunya,
suara seraknya, tetap bertahan dengan idealisme sederhananya.

Aku tersenyum. Masih ada harapan. Meski langka, masih ada kejujuran di
negeri kampung maling.

Terimakasih Pak Paijo.

(2)

Dimana Ibu?

Pasca gempa. Tembi Kidul, desa Timbulharjo. Sang suami baru
menyelesaikan sholat dengan istrinya. Seusai berdoa, dikecupnya kening
sang istri penuh kasih, bertatap sayang.

Sang istri segera menuju dapur mencuci piring. Sang suami lalu
membangunkan tiga malaikat kecilnya. Membelai lembut mereka, sambil
membisikkan senandung adzan shubuh, mengalirkan kerinduan bertemu sang
Khalik kepada ketiganya.

Bumi bergoyang. Rumah terhempas ke kiri-kanan. Tiga anak yang sedang
sholat terlindungi. Posisi sholat, di samping lemari, melindungi
mereka dari jatuhan reruntuhan bangunan rumah.

"Anak-anak segera keluar rumah" histeris sang ayah, di tengah himpitan
pintu yang menyesakkan dadanya. Dengan susah payah, ia melepaskan
diri.

Dilihatnya ketiga anaknya sudah berdiri cemas, pucat-pasi di halaman.

"Mana Ibu?"

"Ndak tahu...ndak tahu...mana???" ketiganya celingukan, tersedu.

"Bu....bu.........Ibu?"

Tak ada sahutan. Nyaris seluruh dinding rumah rata dengan tanah. Sang
Ibu tak terlihat. Tak terdengar.

Berempat mereka memutari rumah dan mencoba mencari tahu. Tak ada
bantuan tetangga. Semuanya sibuk menyelamatkan diri dan keluarga
masing-masing.

Detik...

Menit...

Jam berlalu...

Tak ada sosok, tak ada suara Ibu. Dimana Ibu?

Satu jam lebih, ketika mereka melihat telapak tangan. Tersembul di
antara reruntuhan tembok rumah tetangga. Innalillah. Tak ada nafas.
Tangan sang bunda masih menenteng tas plastik sampah yang ingin
dibuangnya. Innalillah...

Sang suami dan anak segera bergegas mengangkat tembok-tembok yang
menindih mayat ibunya.

"Ibu...Ibu dimana....Ibu kok diam saja",  lirih sang bungsu...

Sang suami tak berkata. Diam seribu basa.

Hanya terbayang olehnya: kecupan terakhir di kening istrinya. Kecupan
setelah sholat shubuh sebelum gempa di fajar Sabtu itu.

*****

(3)

Birokrasi Kotoran Sapi

Jetisharjo, Bantul. Pasca gempa. Beberapa keluarga tinggal di tempat
yang amat tak layak. Barak mereka bertetanggaan dengan kandang sapi.
Tentu saja aroma alam dari kotoran sapi sangat menusuk.

"Pak RT warga anda sebaiknya kami evakuasi ke tempat yang lebih layak".

Pak RT dengan santun menjawab, "Jangan Pak, nanti saya kesulitan.
Soalnya pemerintah meminta saya melakukan pendataan warga. Kalau
mereka meninggalkan tempat, saya tidak dapat membuktikan pendataan
saya di hadapan pemerintah."

Akhirnya, hingga berhari-hari setelah gempa sang pemerintah tidak juga
muncul di lokasi. Dan tetaplah para warga menghirup bau sedap kotoran
sapi bercampur rumitnya birokrasi tingkat RT. Argggggggghhhhhhhhhh
birokrasi, bikin repot sekali!

*****
Salurkan Sumbangan Anda ke:

Denny Indrayana
Bank Central Asia Cabang Yogyakarta
Swift Code: CENAIDJA
No. Rek. 037 226 3278







***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]




SPONSORED LINKS
Cultural diversity Indonesian languages Indonesian language learn
Indonesian language course


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke