http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/062006/21/0901.htm


Skenario Konflik & Demokrasi
Oleh Dr. PANDJI SANTOSA, M.Si. 

MARAKNYA aksi unjuk rasa dewasa ini menggambarkan betapa dinamisnya demokrasi 
di Indonesia. Fenomena itu muncul manakala sikap kebijakan pemerintah pusat 
maupun daerah berseberangan dengan hati nurani rakyat atau bukan merupakan 
pilihan yang terbaik (better choice) dan bukan pula sebagai kebutuhan yang 
dituntut rakyatnya (need community). Tak sedikit persoalan yang tak sesuai 
dengan kehendak publik menimbulkan ketidakpuasan dan menjadi bom waktu yang 
setiap saat meledak mengarah pada anarki. Alhasil, demokrasi yang telah 
dibangun sedemikian rupa ternoda dengan aksi-aksi di luar batas norma bangsa 
yang bermartabat. 

Sejak jatuhnya rezim Orde Baru pada Mei 1998, negeri ini merupakan negara 
demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan India. Namun, 
masih ada kecenderungan masyarakat kita memaknai kebebasan demokrasi sebagai 
sesuatu yang tak terbatas. Tak heran bila setiap persoalan yang tak sesuai 
dengan kehendak massa, sering kali berujung pada pemaksaan kehendak secara 
massif dengan segala keradikalannya.

Dalam 10 tahun terakhir ini, bisa kita saksikan serangkaian aksi anarki yang 
telah memakan ribuan korban jiwa. Masih hangat dalam ingatan kita, kasus Ambon 
dan Maluku sejak (1999), Sampit (2000), Timika, Papua (2006) dan terakhir 
Tuban, Jawa Tengah (2006). Ini merupakan ilustrasi demokrasi negeri ini yang 
sudah diluar batas. Ironis memang, sebagai negara hukum, kondisi seperti ini 
secara tak langsung mencerminkan sebagai negara barbar yang akan mengancam 
proses demokrasi yang tengah berjalan. 

Bila saja kondisi dan aksi pemaksaan kehendak massif tersebut terus 
berlangsung, dikhawatirkan makna demokrasi itu tidak akan berarti apa-apa bagi 
bangsa ini. Yang lebih memprihatinkan lagi apabila muncul sikap phobi dari 
masyarakat terhadap demokrasi bahwa demokrasi dianggap sebagai ancaman baru. 
Dan bukan sebaliknya, demokrasi yang dibangun merupakan landasan penting bagi 
pembangunan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat menuju kesejahteraan 
bersama, sebagai negara yang berdaulat dan sejajar dengan negara-negara lain 
yang sudah maju lebih dulu.

Dalam perspektif demokrasi munculnya sikap anarki, menurut NJ Smelser (1983), 
ada enam hal yang memengaruhinya. Pertama, structural strain, yakni kejengkelan 
atas tekanan sosial berlarut yang tidak terimbangi oleh kebijakan pemerintah 
yang berpihak kepada rakyat. Pada posisi ini apa yang dipandang tertinggi dalam 
politik harus yang terbaik bagi masyarakatnya (The best regine is good 
society). Kedua, social condusiveness, yaitu dalam kondisi sosial tertentu yang 
dapat memungkinkan munculnya aksi di luar batas norma yang ada. Secara 
psikologis, menurut Gustave Le Bon (1975) dalam teori "Group Coheivenes"-nya, 
massa yang bergerombol sangat mudah tersulut untuk melakukan anarki, 
vandalisme, bahkan konflik sosial yang sangat besar. Sebab semakin besar jumlah 
massa, semakin lupa diri dan tak terkendali kelakuan mereka. Mereka berani 
melawan petugas, membakar kendaraan, dan merusak fasilitas umum, bahkan lebih 
jauh lagi sampai bersifat crime and criminal.

Ketiga, generalized hostile belief, yaitu berkembangnya prasangka kebencian 
terhadap sesuatu, misalnya pemerintah, kelompok ras, agama, atau lawan politik. 
Massa sudah sangat sulit diajak berpikir secara objektif untuk menyelesaikan 
masalah dengan baik-baik, sebab sudah tertanam suatu stigma kalau suatu objek 
tertentu adalah musuh yang harus disingkirkan. Apalagi jalur hukum, sering kali 
tidak sesuai lagi dengan yang mereka harapkan. Keempat, mobilization for action 
(mobilisasi massa untuk beraksi), yaitu adanya tindakan nyata dari massa dalam 
mengorganisasikan diri untuk bertindak. Biasanya aksi anarki hampir selalu 
didahului oleh demonstrasi massa dalam jumlah yang relatif banyak. Tahap ini 
merupakan determinan terakhir dari kumulasi determinan yang memungkinkan 
pecahnya kekerasan. 

Kelima, lack of social control (melemahnya fungsi kontrol sosial), dalam hal 
ini aparat keamanan berwenang seperti tentara dan polisi yang menangani situasi 
untuk menghambat terjadinya anarki. Semakin kuat determinan kontrol sosial, 
semakin kecil kemungkinan meletusnya anarkisme, dan sebaliknya bila kewibawaan 
aparat penegak hukum dilapangan merosot sangat mungkin akan terjadi aksi 
anarki. Keenam, precipitating factor, yaitu peristiwa dalam kondisi tertentu 
yang bisa mengawali atau memicu terjadinya aksi anarki. Indikator tersebut, 
merupakan amunisi yang siap meledak kapan saja. Sementara detonatornya bisa 
jadi dibentuk oleh statemen seseorang, keputusan politik atau hukum, atau yang 
bisa memicu konflik sosial lainnya. 

Faktor lain yang memengaruhi konflik demokrasi dan berujung kepada sisi anarki 
yakni terhambatnya proses dialogis yang sehat dan terbuka. Di sini betapa 
pentingnya komunikasi demokrasi yang mampu menjembatani berbagai komunitas dari 
berbagai elemen dengan pluralitas gaya hidup dan beragam orientasi nilai yang 
tidak dapat direduksi oleh negara maupun kekuatan-kekuatan lain. 

Menurut Alfian, dalam bukunya Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia 
(1993), komunikasi politik menghubungkan semua bagian dari sistem politik, dan 
juga masa kini dengan masa lampau, sehingga dengan demikian aspirasi dari 
kepentingan dikonversikan menjadi berbagai kebijaksanaan. Bilamana komunikasi 
itu berjalan lancar, wajar, dan sehat maka sistem politik itu akan mencapai 
tingkat kualitas responsif yang tinggi terhadap perkembangan aspirasi dan 
kepentingan masyarakat serta tuntutan perubahan zaman. Hal ini biasanya terjadi 
pada suatu sistem politik yang handal, yaitu sistem politik yang mampu 
mengembangkan kapasitas dan kapabilitasnya secara terus menerus. 

Lebih jauh lagi, komunikasi demokrasi dan tersedianya ruang publik sebagai 
wadah aspiratif komunikatif menunjukkan pentingnya pemahaman bangsa terhadap 
demokrasi yang disebut "demokrasi deliberatif" sebagai upaya merekonstruksi 
proses komunikasi dalam konteks negara modern yang demokratis. Demokrasi 
bersifat deliberatif jika proses pemberian alasan atas sebuah rencana kebijakan 
publik diuji lebih dulu melalui konsultasi publik atau wacana publik. 

Demokrasi deliberatif yakni meningkatkan intensitas partisipasi rakyat dalam 
proses pembentukan aspirasi dan opini agar kebijakan-kebijakan dan 
undang-undang atau produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah semakin 
mendekati harapan rakyat yang diperintah. Artinya, demokrasi deliberatif tidak 
mengambil keputusan berdasarkan jumlah minoritas atau mayoritas, tetapi 
didasarkan pada proses pembentukan keputusan politis yang selalu terbuka 
terhadap berbagai macam kritik, saran, perbaikan dan revisi yang dilakukan 
secara terbuka, penuh pertimbangan, diskursif dan juga argumentatif. Jadi, 
pertimbangan utamanya adalah prosedur memperoleh opini masyarakat dalam proses 
pengambilan kebijakan, yakni legitimitas terletak bukan pada fakta bahwa 
mayoritas telah diraih, melainkan fakta bahwa cara meraihnya itu dilakukan 
dengan fair dan adil.

Pada konteks ini, Eisenstadt (2002) mengungkapkan, ruang publik yang sehat 
setidaknya menyaratkan adanya empat elemen yang harus dipenuhi. Pertama, 
keterlibatan seluruh elemen masyarakat, baik yang di pinggir atau yang di 
tengah pusaran kekuasaan dalam sebuah proses interaksi yang sehat dan 
manusiawi. Kedua, adanya proses interaksi dalam bentuk wacana publik yang sehat 
di antara elemen-elemen masyarakat tersebut. Proses interaksi sosial bisa 
berupa negosiasi, kontestansi kuasa, bahkan konfrontasi yang berjalan di atas 
rules of the game yang disepakati bersama, seperti undang-undang, adat lokal, 
dan sejenisnya. 

Ketiga, isu yang dikembangkan dalam wacana publik senantiasa terkait dengan 
kepentingan segenap warga masyarakat, bukan sekadar representasi dari 
kepentingan sekelompok atau segelintir masyarakat, dalam mendefinisikan apa 
yang terbaik bagi mereka secara keseluruhan. Keempat, faktor otoritas sebagai 
arbiter legitimate dalam proses kontestansi kuasa yang diperankan oleh 
agen-agen pemerintah. Seharusnya peran arbiter di sini tidak lebih dari sekadar 
mengatur lalu lintas public discourse dimaksud, dan tidak lebih dari itu. 
Namun, dalam kondisi riil pemerintah sering tidak bisa bertindak netral.

Dalam demokrasi deliberatif, tidak hendak menganjurkan sebuah revolusi, 
melainkan reformasi negara hukum dengan melakukan gerakan wacana publik di 
berbagai bidang sosial, politik, dan kultural untuk meningkatkan partisipasi 
demokratis para warganegara. Dengan cara ini, jurang yang selama ini menganga 
antara komunitas masyarakat, eksekutif dan yudikatif dapat dijembatani melalui 
saluran-saluran komunikasi politis yang sehat dan terbuka.*** 

Penulis, pemerhati masalah sosial politik dan tenaga pengajar Kopertis Wil. IV 
dpk FISIP & Program Pascasarjana Universitas Langlangbuana (Unla) Bandung.


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Yahoo! Groups gets a make over. See the new email design.
http://us.click.yahoo.com/U0DZdC/lOaOAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke