Surat Kembang Gunung Purei:
"TOAST" SEPI, RINDU, HATI DAN TUBUH 5. Dilanda oleh gelora sepi dan rindu yang bermula dari cinta, hubungan antara dua aktornya sebagai wakil dari suatu kelas atau lapisan menengah masyarakat kita, nampak sangat bebas.. Kebebasan hubungan antar pasangan berlainan jenis ini kembali dilukskan oleh Xiao Lan dalam kalimat-kalimat berikut: ''Setiap break menyanyi, ia datang meminta long island padaku. Ia menyanyi di sini setiap malam selama seminggu. Setiap menutup stage, ia menyanyikan When You Tell Me That You Love Me sambil tidak melepaskan pandangannya kepadaku. Hatiku selalu bergetar dibuatnya. Matanya seperti magnet. Menarikku masuk ke dalam kumparannya sampai tidak bisa melepaskan diri lagi ketika ia memelukku, menciumku, melumatku. Rasa long island yang tersisa di lidahnya terkecap olehku di dalam ciuman yang hangat, panjang dan dalam. Aroma whiskey cola berhembus ketika kami saling bertukar napas.'' ''Beuh! Cerita apa itu?! Aku bukan penulis cerita stensilan. Aku penulis cerita cinta! Dasar laki-laki! Kamu mabuk! Kamu bisa tidur dengan perempuan mana saja! Bedakan dong, antara cinta dan nafsu!'' potongku setengah sewot. ''Cinta? Seperti apa cinta dalam cerita-ceritamu?'' sergahnya. ''Cinta yang membuat kamu merasa merana kesepian sampai mencari mabuk ke sini?'' ia menyerangku dengan kata-kata yang meluncur bagai anak panah lepas dari busur. ''Kamu bercinta dengan sepi? Selama ini bibirmu cuma mengecup mimpi, tubuhmu gemetar karena ingin yang tak pernah usai, hatimu terlantar seperti kena penyakit sampar, bahkan bicaramu pun sekadar menabrak pagi, lalu berakhir di ujung malam yang membingungkan. Lalu bosan menjadi raja dan kamu muntahkan ke dalam segelas long island? Itu yang kamu bilang cinta di dalam cerita-ceritamu?!'' ia memberikan sebuah senyum penuh ejekan. Oh! Ia mendadak menjadi pujangga besar yang mengulitiku. ''Kenapa kamu tidak melindas sepi dengan memanggilnya, mencarinya, mendatanginya, meneleponnya, menciuminya, memeluknya, melumatnya, me...dan me...dan me...dan me... me yang lain... Kenapa tidak kamu lakukan? Bukankah bias hangatnya bisa membuat sepimu lumer meleleh?'' ia mengejarku. Kemudian di penghujung cerita, Xiao Lan menulis klimak cerpen: "Gelas kami lagi-lagi beradu. ''Pertanyaan terakhir. Maukah kamu menciumku seperti dia? Menyesap long island di lidahku dan menghirup whiskey cola di napasku?'' tanyaku sambil memajukan tubuhku mendekati wajahnya. Kutatap dalam-dalam matanya. Kusentuh bibirnya dengan jariku. Dan kuembuskan sepi ke dalam napasnya". Dan si "aku" Lan Fang, menyentuh bibir Cali si " bar tender" di bar café yang berarti berlangsung di depan publik sebagaimana yang dilakukan oleh penyanyi kekasih Cali " setiap break". Dari lukisan Xiao Lan ini, aku melihat bahwa hubungan bebas dan intim antara lelaki-perempuan, asal mau sama mau, terutama di kalangan kelas menengah ke atas sudah bukan merupakan hal asing lagi. Lebih-lebih di kota-kota besar. Tentu saja keadaan begini berbeda lagi patokan susila begini, berbeda lagi patokan susila di lapisan bawah yang mayoritas. Tapi celakanya, ketika aku bekerja di Palangka Raya, di koran-koran lokal, terdapatnya kondom di stadion atau di depan rumah seseorang, sudah cukup jadi bahan berita untuk memperlihatkan bahwa sang wartawan sedang menggugat terjadinya suatu keaiban. Kiranya, jika kita cermat membaca angket-angket tentang masalah ini, kita dapatkan bahwa siswa-siswa SMU pun sudah umum melakukan hubungan bebas dan intim. Entah apa pun alasan dan penyebabnya , dari sini aku melihat bahwa di kalangan masyarakat perkotaan kita, sedang dan terus berlangsung pergeseran nilai. Dan aku tidak memandangnya sebagai sesuatu yang negatif, apalagi jika didasarkan pada kesepakatan dan tanggungjawab bersama dalam menghadapi segala akibatnya secara dewasa. Aku tidak melihat bahwa perbuatan mereka sebagai mengganggu tatanan masyarakat. Secara umum, aku melihat kebebasan begini sebagai hak pribadi seseorang yang patut dihormati dan sama sekali tak ada alasan untuk dijadikan bahan gunjingan, apalagi kutukan atas nama apa pun. Kecuali jika kita mau menjadi Dracula atau "hatuen" ujar orang Dayak Katingan. Tapi benar juga bahwa planet kecil kita memang penuh Dracula dan "hatuen". yang menyamar diri dalam berbagai bentuk dan rupa. Agaknya, ketika "aku" si Lan Fang, memajukan tubuh untuk menyentuh bibir Cali dengan jarinya, sealur dengan pandangan di atas. Dan si "aku" tidak melakukan keaiban apa pun. Bahkan ia sangat jujur pada diri sendiri. Jujur pada prinsipnya: "Aku tertawa. Sungguh-sungguh tertawa. Menertawakan kesepianku yang konyol dan tolol. Aku tidak mabuk, bukan murahan, juga bukan kacangan, kalau aku memintanya menciumku. Aku cuma ingin membunuh sepi itu sebelum sepi itu yang lebih dulu membunuhku". Dengan kalimat-kalimat ini, terbaca padaku bahwa bagi Xiao Lan, nyawa dan jiwa manusia jauh lebih utama dari apa pun. Apalagi dibandingkan dengan kemunafikan yang tidak jarang mencelakakan seseorang dan orang banyak. Apakah dengan prinsip ini, Xiao Lan ingin mengatakan bahwa baginya yang menjadi poros adalah manusia, kemanusiaan dan kejujuran? Apakah juga dengan cerita ini, yang terselip di benak Xiao Lan adalah hasrat menggugat kemunafikan yang dominan dalam masyarakat kita sekarang? Jika dugaan dan tafsiran ini benar, maka ingin kukatakan bahwa barangkali beginilah cara uniknya cerpenis, katakanlah sastrawan, dalam mengungkapkan diri, pikiran dan perasaan. Bertarung memanusiawikan diri, manusia, kehidupan dan masyarakat. Berlaga dengan sarana artistik dan kata, sebagaimana ditunjukkan oleh Charlie Chaplin, Mary B.Shelly, penulis cerita Dracula, Sade, dan lain-lain lagi..... Pesan dan makna tidak harus diucapkan secara dangkal dan kasar. [Ah, si awam ini berlagak melulu! Maaf !]. Barangkali pula dengan mengangkat tema yang laris di pasar sekarang sebagai bahan cerpennya, serta gampang dicerna, [sebagaimana sering ditekankan oleh penulis Singapura May Swan. Pemaduan untuk memecahkan keperluan hidup penulis sebagai penulis dan tanpa mencampakkan prinsip atau idealisme menurut istilah di Indonesia!], Xiao Lan sesungguhnya menggugat eskapisme, "long island"isme, kehidupan "melayang-layang", "berputar-putar seperti gasing" kelas menengah dan menggugat kemunafikan sebagai nilai dominan dalam masyarakat. Dengan metode begini, maka Xiao Lan memadukan kepentingan pasar dan nilai-nilai junjungannya tanpa melemparkan prinsip-prinsipnya kecomberan bau apak. Hal ini ditegaskan oleh Xiao Lan dalam kalimat-kalimat pengunci cerpen: "Aku tertawa. Sungguh-sungguh tertawa. Menertawakan kesepianku yang konyol dan tolol. Aku tidak mabuk, bukan murahan, juga bukan kacangan, kalau aku memintanya menciumku. Aku cuma ingin membunuh sepi itu sebelum sepi itu yang lebih dulu membunuhku". Sambil menertawakan diri secara berani, hal yang tak gampang, apalagi berada di tengah-tengah kesenangan orang berpongah-pongah,seakan kudengar Xiao Lan berpesan: "Jangan biarkan kesepian membunuhmu. Jangan jadi manusia murahan dan kacangan! " O, seakan kudengar juga di antara candanya, Xiao Lan berkata kepadaku: "kesepian itu konyol dan tolol" setolol dan sekonyol pelarian pada "long island". Ini adalah pemahamanku dari segi isi setelah membaca "Toast". Tapi hendaknya kata kunci lain dari Xiao Lan yang niscaya diperhatikan adalah: "Aku bukan penulis cerita stensilan"! Pentingnya atau digarisbawahinya prinsip ini oleh Xiao Lan, ditunjukkan juga ketika Cali -- duplikat Xiao Lan | mungkin] menolak niat Lan Fang untuk mengulum bibirnya. Cali menolak karena kuluman yang ingin diberikan oleh Lan Fang adalah kuluman orang mabuk, tanpa prinsip. [Lihat: Lampiran di serie 1]. Ini pun kukira kritik Xiao Lan pada berkuasanya kemabukan atas negeri dan negara bernama Republik Indonesia. Kritik yang disampaikan dengan perangai Xiao Lan yang suka bercanda. Jika ada yang mengatakan bahwa Xiao Lan sebagai seorang "gila pol" , kukira justru seperti yang dikatakan oleh seorang Pastur dari Amerika Latin, dunia memerlukan "orang-orang gila". "Gila pol!" di tengah "zaman edan" seperti sekarang, jika menggunakan istilah Ranggawarsita, sastrawan keraton Solo. "Jangan jadi sastrawan jika takut edan", pesan Lu Sin, pengarang Tiongkok, kepada anak lelaki tunggalnya. Betapa pun, aku sangat sadar juga, bahwa tentu akan dengan gampang saja penafsiranku sebagai pembaca yang berdaulat [sama berdaulatnya dengan penulis] bertolakbelakang dengan apa sesungguhnya yang ada di pikiran dan perasaan Xiao Lan. Tak bisa kubayangkan adanya sastrawan dan yang menyebut diri sebagai sastrawan tapi tanpa pembaca. Tapi tanpa publik. Sama halnya tak ada jendral tanpa prajurit. Pemimpin tanpa rakyat. Barangkali, jika ada, inilah keunikan Indonesia?! Ketika demikian, aku hanya memperdengarkan suara gelakku pada Xiao Lan, entah di café mewah, atau di meja stasiun di mana aku sejenak singgah, entah di pelabuhan sambil menunggu kapal, dan entah di mana pun. Mengapa takut berbeda, jika penulis dan pembaca sama-sama punya kedaulatan setara?! Di republik sastra-seni Bringharjo, Yogya dahulu, kami bisa serasi dengan segala perbedaan sehingga Bringharjo menjadi suatu lambang bhinneka tunggal ika, kedaulatan republik sastra dan seni secara nyata . Silamkah sudah prinsip ini di tengah globalisasi kapitalis, antipode globalisasi Porto Allegre, di mana uang menjadi raja dan menyuburkan egoisme serta kepongahan? Berbeda dengan Françis Fukuyama, aku tidak mengatakan "sejarah berakhir" [the end of history, untuk menteoritisir yang disebutnya sebagai kemenangan kapitalisme] setelah runtuhnya Tembok Berlin. Sejarah masih terus ditulis. Kau pun Xiao Lan, turut menulis sejarah ini, khususnya, di bidang sastra yang kau kecimpungi sekarang, bukan sebagai penulis murahan dan kacangan atau "berputar-putar seperti gasing". Isinya? Kau dan angkatanmu jugalah yang menentukannya. Aku sudah terlalu kakek, ompong, pincang, botak dan picak, sekali pun masih sangat mencintai kehidupan dan negeri serta Katingan, Katingan sungai pengasuhku dari mana aku terhalau. Kurasakan lalu bahwa "mencintai" tak obah sebagai "cacat yang tak bisa hilang, luka yang tak bisa sembuh", seperti ujar penyair alm. HR. Bandaharo tanda bahwa hidup "bukanlah jalan bertabur bunga". Karenanya aku "ternyata hanyalah seorang pengembara", jika boleh menyitat Ramadhan KH alm. Esok ada di tangan angkatanmu Xiao Lan. Tulislah apa yang kau mau, dengan cara apa saja, tapi jangan lupakan manusia dan kemanusiaan dengan semangat bahwa dari jalan begini "tak seorang beniat pulang walau mati menanti". Sanggupkah? Aku tak menuntut, hanya sekedar menceritakan semangat dan kadar angkatan terdahulu di negeri ini dari segi sastra. Kadar sastra dan angkatan diri kalian hari ini, kalian jugalah yang menentukan sebagai penanggungjawab timbultenggelamnnya negeri. "Kerja belum selesai, belum apa-apa", jika menggunakan kata-kata Chairil Anwar. Dalam konteks "kerja belum selesai, belum apa-apa" belum bisa menghitung arti empat-ribu nyawa ini, aku ingin kutip ucapan seorang penulis Perancis, Jean Echenoz, mengenai karya sastra: "Bukan karena kita telah menerbitkan sepuluh roman atau lebih maka kita bisa dikatakan telah belajar menulis [Catat kata-kata "belajar menulis"] menerbitkan sebuah karya baru, pada galibnya sama dengan kita telah menciptakan dan melahirkan sesuatu yang sama sekali baru tak pernah dikerjakan sebelumnya"[Lihat: Le Monde 2, No. 126, Paris, 15 Juli 2006]. Ini yang disebut kreativitas, menurut Echenoz yang keras menuntut dirinya. Kata-kata Jean Echenoz ini mudah-mudahan ada gunanya untukmu Xiao Lan. Seratus bahkan seribu buku pun telah kau terbitkan, jika tak mengandung prinsip yang dibilang oleh Echenoz ini, akankah ada artinya? Atau sebatas barang dagangan obralan seharga sebenggol yang lebih rendah dari barang "sale","solde" atau loakan guna sekedar menyelamatkan selembar nyawa secara ekonomi? Suatu pertanyaan dari segi makna atau nilai sesuai dengan apa arti sastrawan dan karya sastra, menurut pengetahuan seorang awam seperti diriku, di hadapan kepongahan dan kemunafikan dominan di negeri ini yang menggunakan ukuran ala kadarnya padahal kita mempunyai kemampuan dan potensi sangat besar tidak kalah dari bangsa mana pun. Kritik pun dipandang sebagai ludah di muka dan sering dijawab dengan caci maki, ujud dari kekerdilan jiwa dan ketidakmampuan. Terus-terang, aku tidak ingin kau menempuh jalan begini Xiao Lan ketika membaca komentarku yang awam sastra. Atau kuhentikan berkomentar dan tak usah lagi meminta komentarku apabila membuat mukamu merah dan membuatmu batuk-batuk, kehilangan nalar dan kontrol diri. Ini pun suatu canda, metode dan ciri dirimu. Paris, Juli 2006. --------------------- JJ. Kusni [Bersambung .....] [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Something is new at Yahoo! Groups. Check out the enhanced email design. http://us.click.yahoo.com/SISQkA/gOaOAA/yQLSAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/