Ada Apa dengan Syafii Maarif ?

  Senin, 17 Juli 2006 - 10:14:39 WIB  
*Catatan Akhir Pekan *Adian ke-154

Oleh: *Adian Husaini
*

Dalam rapat pimpinan Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia
(DDII), Rabu
(12/7/2006) lalu, Ketua Umum DDII Hussein Umar tidak
dapat 
menyembunyikan
kekecewaannya terhadap tulisan Syafii Maarif di Harian
Republika sehari
sebelumnya. Tulisan Syafii dalam kolom Resonansi itu
berjudul 'Demi 
Keutuhan
Bangsa'. Seperti biasa, Syafii Maarif memposisikan
sebagai 'Bapak 
Bangsa'
yang sangat peduli dengan keutuhan bangsa Indonesia.
Ia menempatkan 
dirinya
sebagai 'penyelamat bangsa'.

Tentu saja, posisi itu ideal. Tapi, sayangnya, pada
saat itulah, Syafii
lupa, bahwa pada berbagai bagian tulisannya, dia
justru telah 
menyinggung
banyak kalangan, yang ironisnya adalah sahabat-sahabat
dekatnya 
sendiri,
dari kalangan kaum Muslim. Bahasa yang digunakan
Syafii pun bukan 
bahasa
yang arif, yang menunjukkan kedewasaan seorang
Profesor yang usianya 
sudah
mencapai 70 tahun lebih, tetapi justru bahasa yang
bernada pelecehan 
dan
kasar. Banyak kalangan belum lupa, bagaimana Syafii
Maarif meluncurkan
istilah 'preman berjubah' untuk menunjuk kelompok yang
tidak 
disukainya.

Dalam tulisannya di Republika kali ini, dia pun
menggunakan 
istilah-istilah
'peyoratif' yang kasar yang bernada memperhinakan
kalangan-kalangan 
yang
memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Misalnya, dia
gunakan 
istilah-istilah
''otak-otak sederhana'', ''kedunguan'',
''kebahlulan'', dan sebagainya.
Istilah-istilah seperti itu harusnya dihindari oleh
seorang Profesor 
yang
sudah begitu kenyang makan asam garam dalam dunia
pergerakan di
Muhammadiyah. Apalagi, logika dan argumentasi Syafii
Maarif dalam 
tulisannya
itu juga banyak yang tidak tepat dan keliru. Marilah
kita simak cara
berpikir Syafii Maarif.

Secara umum, tulisan Syafii Maarif itu mencoba
membenturkan antara 
upaya
penerapan syariat Islam secara legal formal dengan
keutuhan bangsa
Indonesia. Syafii menulis, bahwa "Keinginan untuk
memperjuangkan 
nilai-nilai
Islam dalam perda, mengapa tidak diintegrasikan saja
dalam perda biasa,
tidak dalam format Perda Syariah yang dapat melemahkan
pilar-pilar 
integrasi
masyarakat dan bangsa, dan ini berbahaya sekali."

Cobalah kita simak baik-baik ungkapan Syafii Maarif
tersebut. Betapa 
keliru
dan berbahayanya logika berpikir semacam itu. Logika
ini juga aneh,
ahistoris, dan sama dengan logika kaum misionaris
Kristen yang aktif di
Partai Damai Sejahtera (PDS) yang menggugat
peberlakuan perda-perda 
yang
bernuansa syariah. Orang seperti Syafii, aktivis PDS,
dan sejenisnya 
telah
terjebak ke dalam logika yang keliru, bahwa syariat
Islam adalah 
hukum-hukum
yang sifatnya lokal, temporal, dan hanya berlaku untuk
satu golongan
tertentu.

Sebaliknya, mereka berpikir, bahwa hukum-hukum
kolonial Belanda dan
hukum-hukum Barat lain adalah berlaku universal untuk
seluruh umat 
manusia.
Karena itulah, Syafii Maarif tidak menyoal
pemberlakuan hukum kolonial, 
dan
tidak menyatakannya bertentangan dengan integrasi
bangsa Indonesia.
Sebaliknya, perda Syariat Islam dikatakannya dapat
melemahkan 
pilar-pilar
integrasi masyarakat dan bangsa, dan ini sangat
berbahaya. Bukanlah 
logika
semacam ini sangat keliru. Bukankah Rasulullah saw
diutus untuk menjadi
rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Apakah
bukan sesuatu 
yang
paradoks, jika seorang yang mengaku Muslim tetapi
justru menyatakan 
syariat
Nabi Muhammad adalah ancaman bagi integrasi bangsa?

Dalam kasus Indonesia, hukum Islam sudah diberlakukan
di kepulauan
Nusantara, beratus-ratus tahun sebelum kedatangan
penjajah Belanda. 
Sebagai
contoh, pada tahun 1628, Nuruddin ar-Raniri menulis
Kitab Shirathal
Mustaqim, yang merupakan kitab hukum pertama yang
disebarkan ke seluruh
Nusantara untuk menjadi pegangan umat Islam. Oleh
Syekh Arsyad Banjar, 
kitab
itu diperluas dan diperpanjang uraiannya dalam sebuah
Kitab berjudul 
Sabilul
Muhtadin, serta dijadikan pegangan dalam menyelesaikan
sengketa di 
daerah
Kesultanan Banjar. Di daerah Kesultanan Palembang dan
Banten 
diterbitkan
pula beberapa kitab hukum Islam yang dijadikan
pegangan oleh umat Islam
dalam menyelesaikan masalah hidup dan kehidupan
mereka. Hukum Islam 
diikuti
pula oleh pemeluk Islam di wilayah-wilayah
Kerajaan-kerajaan Demak, 
Jepara,
Tuban, Ngampel, Mataram, dan juga Mataram. Ini dapat
dibuktikan dari 
karya
para pujangga yang hidup pada masa itu, seperti
Sajinatul Hukum.

Dengan fakta-fakta tersebut, Prof. Muhammad Daud Ali,
guru besar hukum 
Islam
di Universitas Indonesia, menyimpulkan, bahwa "sebelum
Belanda 
mengukuhkan
kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam mempunyai
kedudukan sendiri di 
dalam
masyarakat. Sebagai hukum yang berdiri sendiri, hukum
Islam telah ada 
dan
berlaku di dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang
disamping kebiasaan 
atau
adat penduduk yang mendiami Nusantara ini." (Lihat,
Muhammad Daud Ali, 
*'Hukum
Islam*: *Peradilan Agama dan Masalahnya'*, dalam
Juhaya S. Praja dkk, 
Hukum
Islam di Indonesia, (Bandung: Rosdakarya, 1994), hal.
69-70.

Sebagai orang yang dihormati di berbagai kalangan,
Syafii Maarif 
harusnya
menjelaskan fakta-fakta sejarah tentang hukum Islam
itu kepada kalangan
non-Muslim dan orang-orang yang ketakutan terhadap
syariah Islam; agar
mereka paham dan tidak salah paham terhadap syariah
Islam; bukannya 
malah
menambah-nambah rasa 'syariah-fobia' di kalangan
non-Muslim. Sebab, 
syariah
Islam memang bukan untuk menakut-nakuti.

Selain itu, harusnya Syafii Maarif mempertegas
pemikirannya, pada 
bagian
mana dari syariat Islam yang dia tidak setujui. Dia
tidak perlu 
menyatakan,
bahwa perda syariat bertentangan denan integrasi
bangsa. Bagaimana 
mungkin
pikiran seperti itu bisa hinggap pada benak seorang
Profesor, sedangkan 
di
Indonesia sudah begitu banyak hukum yang secara tegas
merupakan 
pelaksanaan
syariat Islam, seperti Bank Syariat, Asuransi Syariat,
Reksadana 
Syariat,
hukum perkawinan syariat, dan sebagainya. Jika
meninggal dunia pun, 
tentu
Syafii Maarif maunya dimakamkan secara syariat Islam,
bukan secara 
hukum
Amerika. Dan perda yang mengatur cara pemakaman dan
perkawinan secara
syariat Islam pasti tidak membahayakan integrasi
bangsa, bukan?

Syafii memang ingin, agar perda anti maksiat
diperjuangkan di bawah 
payung
Pancasila, khususnya sila pertama. Syafii boleh saja
berpendapat 
seperti
itu. Tetapi, dia harusnya menghormati aspirasi kaum
Muslim yang ingin
pelaksanaan perda itu ditegaskan dalam format yang
tegas. Jika mengaku
demokrat, Syafii pun harus menghormati aspirasi
semacam itu, dan jangan
mencemooh dengan kata-kata 'dungu', 'bahlul', dan
sebagainya. Dia harus
berbesar hati menerima realitas bangsa yang plural dan
bermacam-macam
aspirasinya. Jika ingin diakui sebagai negarawan
besar, harusnya Syafii
mampu membaca realitas itu. Jangan aspirasi kaum PDS
Kristen dia telan,
sedangkan aspirasi kaum Muslim dia lecehkan dan dia
perhinakan. Sayang,
melalui kolomnya di Republika itu, Syafii Maarif
justru memperhinakan 
dan
mengecilkan dirinya sendiri.

Meskipun dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah, dan
pernah memimpin
Muhammadiyah, Syafii Maarif bukanlah seorang pakar di
bidang syariat 
Islam.
Dia belum pernah menulis buku yang serius tentang itu.
Dia memang guru 
besar
sejarah, khususnya sejarah perpolitikan Islam di
Indonesia. Karena itu,
pendapat-pendapatnya tentang syariat Islam seringkali
tidak sepenuhnya
benar. Di dalam tulisannya itu pun Syafii membuat
pernyataan yang 
sangat
lemah argumentasinya. Sebagai contoh, dia tulis,
''Secara umum, 
bukankah isi
syariah yang diwarisi sekarang ini sebagian besar
adalah hasil ijtihad 
abad
pertengahan yang pasti terikat dengan ruang dan waktu
?''

Pernyataan Syafii Maarif ini terlalu gegabah bagi
seorang bergelar
professor. Hukum-hukum tentang zina, judi, jilbab,
haji, shalat, zakat,
puasa, dan sebagainya, sudah diberlakukan sejak zaman
Nabi Muhammad 
saw.
Para ulama berikutnya hanyalah melakukan sistematisasi
dan melakukan 
ijtihad
terhadap masalah-masalah baru yang muncul di tengah
masyarakat, dan 
bukan
membuat syariah baru, yang berbeda dengan apa yang
telah ditetapkan 
oleh
Al-Quran dan Sunnah. Jika yang dimaksud Syafii adalah
kitab-kitab fiqih
karya para ulama, maka itu pun sangat keliru. Sebab,
kegemilangan ilmu 
fiqih
telah dicapai di masa imam-imam Mazhab.

Para Imam mazahab itu hidup di awal-awal sejarah
Islam. Imam Abu 
Hanifah
lahir tahun 699 M; Imam Maliki tahun 712 M; Imam
Syafii tahun 767 M; 
dan
Imam Ahmad bin Hanbal lahir tahun 780 M. Jika Newton
merumuskan teori
gravitasi bukan berarti Newton yang menciptakan hukum
gravitasi. Jika 
para
ulama mazhab menggali dan merumuskan syariah Islam
dalam kitabnya, 
dengan
merujuk kepada Al-Quran dan Sunnah, bukan berarti
ulama-ulama itu yang
menciptakan hukum. Hukum itu tetap hukum Allah,
sebagaimana hukum 
gravitasi.


Para Imam itulah yang kemudian menjadi rujukan umat
Islam di berbagai 
dunia,
tidak pandang waktu dan tempat. Karena sifatnya yang
universal untuk
manusia, hukum Islam tidak memandang waktu, tempat,
dan budaya.

*Khamr *adalah haram untuk seluruh manusia, dimana pun
dan kapan pun. 
Zina
adalah haram, apakah untuk orang Yogya atau orang
Arab. Zakat 
diwajibkan
untuk seluruh Muslim di tempat mana pun dan kapan pun.
Judi diharamkan 
untuk
semua manusia. Seluruh ulama sepakat bahwa babi adalah
haram, tidak 
pandang
waktu dan tempat; tidak pandang, apakah di tempatnya
banyak ternak babi 
atau
ternak kambing. Riba diharamkan untuk semua manusia
dan semua tempat.
Menutup aurat diwajibkan untuk semua wanita Muslimah,
tidak peduli, 
dimana
pun dia berada; apakah di Yogya tempat tinggal Syafii
Maarif atau di 
Amerika
tempat tinggal Madonna.

Jadi, sangatlah sembarangan, jika Syafii Maarif
menyatakan, bahwa 
syariah
senantiasa terikat dengan ruang dan waktu. Tentu saja
dalam pelaksanaan
hukum ada perbedaan model dan gaya. Bisa saja model
jilbab di Arab 
Saudi
berbeda dengan di Bandung. Tetapi, semuanya wajib
menutup seluruh aurat
wanita, kecuali muka dan telapak tangan. Bisa saja
merk khamr berbeda,
antara vodka di Rusia dengan minuman Arak cap anjing
di Indonesia. 
Tapi,
semuanya adalah khamr dan hukumnya haram. Semuanya
adalah syariah 
Islam,
syariah yang satu. Umat Islam tidak pernah mengenal
istilah syariah 
Arab,
syariah Iran, syariah Pakistan, syariah Jawa, syariah
Batak, syariah 
Padang,
syariah India, syariah Papua, dan sebagainya.

Juga, sejarah Islam sebenarnya tidak mengenal istilah
"abad 
pertengahan"
sebagaimana dalam sejarah Barat. Bagi Barat, abad
pertengahan adalah 
identik
dengan "zaman kemunduran" dan "zaman kegelapan" (the
dark ages). Jika 
Syafii
Maarif menelaah dengan jeli sejarah Islam dan
membandingkannya dengan
sejarah Barat, maka tidak seharusnya dia mengikuti
periodisasi sejarah
sebagaimana yang dialami peradaban Barat. Ketika Barat
berada dalam 
zaman
kegelapannya, di abad pertengahan, justru kaum Muslim
sedang berada 
dalam
puncak-puncak ketinggian prestasi peradabannya. Ketika
itulah, kaum 
Muslim
memegang kendali dunia. Maka, istilah "abad
pertengahan" dengan 
konotasi
kemunduran seperti yang dialami peradaban Barat, tidak
sepatutnya 
digunakan
untuk sejarah umat Islam. Sebagai professor sejarah,
Syafii Maarif 
harusnya
memahami masalah ini.

Akan tetapi, di tengah berbagai kekeliruan dalam pola
pikir Syafii 
Maarif,
kita perlu memberikan apresiasi terhadap niatnya untuk
membela Islam. 
Syafii
tampak berbeda dengan orang seperti Dawam Rahardjo
yang sudah 
tegas-tegas
memposisikan dirinya sendiri di mana berada. Syafii
dikenal sebagai 
orang
yang hidup sederhana dan cukup tegas dalam masalah
moralitas.

Sayangnya, dia banyak keliru dalam masalah pemikiran
Islam. Satu hal 
yang
perlu kita perhatikan dari kritik positif Syafii
Maarif adalah 
seruannya
agar orang-orang yang memperjuangkan syariah Islam
benar-benar serius, 
bukan
semata-mata untuk kepentingan isu politik sesaat.
Dalam hal ini, kita 
tentu
setuju, bahwa para penyeru syariah Islam seyogyanya
menerapkannya untuk 
diri
sendiri dan kelompoknya terlebih dahulu. Selain itu,
Syafii juga benar,
bahwa penerapan syariah memanglah sesuatu yang panjang
dan komplek. 
Aspek
legalitas syariah dalam bentuk hukum positif adalah
salah satu aspek 
saja
dari suksesnya penegakan syariah. Masih diperlukan
unsur-unsur lain 
yang
mendukungnya, seperti aparat hukum yang baik, sistem
peradilan yang 
baik,
dan juga kesiapan masyarakat dalam menerima hukum
Islam. Semua aspek 
itu
harus dikerjakan secara simultan.

Kita memang heran, mengapa Syafii Maarif begitu sinis
terhadap 
penerapan
Syariah? Ada apa sebenarnya dengan Syafii Maarif?
Tapi, kita doakan 
saja,
semoga Professor Doktor Syafii Maarif – meskipun di
usianya yang senja 
–
bersedia ngaji lagi dengan baik kepada orang yang
benar-benar ulama, 
agar
tidak keliru cara berpikirnya dalam memandang Islam.
*Wallahu a'lam*.
(Depok, 13 Juli 2006/*hidayatullah.com*).


*Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah
kerjasama antara Radio 
Dakta
107 FM dan www.hidayatullah.com*


__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
See what's inside the new Yahoo! Groups email.
http://us.click.yahoo.com/2pRQfA/bOaOAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke