Komentar, yang dibeberapa tempat agak lucu. Misalnya

1) "Hal mendasar yang berhubungan dengan penerapan ketentuan baru 
adalah sikap aparat administratif yang tidak dapat begitu saja 
secara ekstrem berubah mengiringi berubahnya suatu UU."

Ini adalah omong kosong. Di setiap negara yang civilized (saya alami 
sndiri), SETIAP perubahan perundangan, dilaksanakan secara konsekuen 
oleh para penata administrasi. Tak ada alasan mengatakan, oh ya tak 
dapat begitu saja..bla bla bla. Mampu atau tidak menjalankan 
perundangan? Penyakit kita, adalah LEMAHNYA law enforcement..

2)"Siapa yang berwenang menerjemahkan mana ketentuan lama yang 
bertentangan dengan ketentuan baru dan bagaimana konsekuensi 
hukumnya. "

Dalam menentukan peraturan pelaksanaan, haruslah diberikan 
keterangan yang sejelas mungkin, sehingga tak ada awur awuran dalam 
memahami peraturan yang berlaku. Ini akan menjurus ke pungli 
punglian..

3)"Lebih dari itu, pada tataran praktis akan memerlukan upaya yang 
lebih intensif untuk merobah pola administratif pada level pelaksana 
kebijakan."

Ini komentar apa ya? kalau pelaksana bergerak sendiri, maka negara 
ini takkan terkendalikan..


4)"Pengalaman dari pembagian golongan penduduk pada masa penjajahan 
Belanda selama ratusan tahun atas dasar pasal 163 IS (Indische 
Staatsregeling) yang memilah penduduk Indonesia menjadi 3 golongan, 
salah satunya adalah Tiong Hwa dan Timur Asing, belum sepenuhnya 
bisa dihilangkan"

Lhoo? kok merangkul erat peraturan mantan penjajah? kalau kita 
yakin, ini tak benar, ya jangan lakukan! Gitu aja kok repot

5)"Meletusnya pemberontakan PKI, baik 1948 maupun 1965 yang didukung 
oleh komunis China (kendati paradigmanya telah berubah) menjadi 
catatan aspek sosiokukltural tersendiri yang tak begitu saja 
dikesampingkan. Bahkan, gerakan itu telah melukai bangsa"


Hahhh? jadi setiap warga Tionghoa pernah berontak? lalu DI/TII 
bagaimana? orang Tionghoa terlibat juga? PPRI/Permesta juga? tahukah 
penulis ini, bahwa banyak orang Tionghoa yang super anti komunis 
juga? yang nasionalis, seperti pak Kwik? apa beliau juga kena beban 
PKI? How clever!

Ini orang lulusan perguruan hukum mana ya?

Pusyiiingg
> 







--- In ppiindia@yahoogroups.com, "Ambon" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=236718
> 
> Senin, 17 Juli 2006,
> 
> 
> 
> Menguji UU Baru Kewarganegaraan
> 
> 
> Oleh Samsul Wahidin 
> 
> 
> 
> Persetujuan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kewarganegaraan 
menjadi UU oleh DPR disambut positif banyak kalangan. Namun, UU itu 
mendatangkan problematik hukum baru, tidak hanya dalam tataran 
administratif (hukum administrasi), tetapi juga pergeseran terhadap 
fenomena sosiokultural masyarakat. 
> 
> Bukan pesimistis kalau dinyatakan pergeseran aspek sosiokultural 
melalui institusi hukum dalam praktiknya sering gagal. Apalagi, jika 
lapangan hukum yang diatur itu termasuk kawasan yang peka, yaitu 
lapangan yang berdimensi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).
> 
> Secara terbuka, begitu menyentuh sisi kewarganegaraan, asosiasi 
awam akan mengarah kepada warga keturunan Tionghoa. Padahal, 
sebenarnya secara praktis banyak ras lain, seperti keturunan Arab, 
India, dan Eropa. 
> 
> Namun, karena secara konkret dalam hal kuantitas dan eksklusifisme 
memang lebih banyak ditonjolkan sebagian WNI keturunan China, arah 
dari UU itu tidak terlalu meleset jika dimaksudkan untuk meredam 
jarak yang masih terasa cukup lebar antara pribumi dan nonrpibumi. 
Ini dimensi lain dari ketidakadilan kultural karena di sepanjang 
sejarah jasa ras Tionghoa juga sangat besar bagi bangsa ini. 
> 
> Kupasan yang secara objektif berangkat dari kondisi riil ini 
diperlukan sebagai pemahaman agar hukum yang dibuat dapat berlaku 
efektif. UU ini adalah satu di antara sekian banyak aturan yang 
lahir untuk dan atas nama perubahan sosial, pada lapangan hukum yang 
sifatnya sensitif tersebut. 
> 
> Administratif
> 
> UU yang dalam waktu sebulan ke depan diberlakukan (disahkan atau 
tidak oleh presiden sebagai kepala negara) mencabut ketentuan UU No 
62/1958 tentang Kewarganegaraan. Mulai 1958 sampai sekarang 
merupakan rentang waktu yang cukup lama atas berlakunya ketentuan 
UU. 
> 
> Artinya, pada tataran infrastruktur dan suprastruktur, peraturan 
perundangan ketentuan UU yang dicabut itu memiliki akar yang kuat. 
Contoh, untuk kurikulum di beberapa fakultas di perguruan tinggi 
mengajarkan ihwal kewarganegaraan itu atas dasar hukum 
kewarganegaraan versi UU No 62/1958, seperti menyangkut soal surat 
bukti kewarganegaraan Indonesia (SBKRI), prosedur memperoleh 
kewarganegaraan, surat bukti kewarganegaraan, dan hal-hal lain yang 
cukup rumit. 
> 
> Hal mendasar yang berhubungan dengan penerapan ketentuan baru 
adalah sikap aparat administratif yang tidak dapat begitu saja 
secara ekstrem berubah mengiringi berubahnya suatu UU. 
> 
> Kendati klausul dalam UU baru itu menyatakan bahwa sepanjang tidak 
bertentangan dengan ketentuannya -ketentuan yang lama masih tetap 
berlaku- secara praktis masih akan muncul berbagai kesulitan 
sehubungan dengan penerapan UU baru tersebut. Siapa yang berwenang 
menerjemahkan mana ketentuan lama yang bertentangan dengan ketentuan 
baru dan bagaimana konsekuensi hukumnya. 
> 
> Sebagaimana diketahui, semenjak berlakunya UU No 62/1958 itu telah 
dibuat puluhan bahkan ratusan peraturan pelaksanaan khususnya berupa 
Peraturan Menteri Kehakiman maupun Surat Edaran yang secara praktis 
menjadi landasan hukum bagi kinerja administrasi kewarganegaraan. 
> 
> Adalah tidak mudah untuk secara cepat dan serta merta merobah 
paradigma administratif yang sudah tertata sejak lama. Hal ini 
menjadi tantangan tersendiri bagi aparat administratif, tidak saja 
pada level puncak yang berwenang membuat kebijakan sebagai 
implementasi UU. Lebih dari itu, pada tataran praktis akan 
memerlukan upaya yang lebih intensif untuk merobah pola 
administratif pada level pelaksana kebijakan.
> 
> Gambaran mengenai perubahan level bawah pada lapangan 
administratif ini menjadi makin sulit pada lapangan hukum yang 
bersifat sensitif tadi. Peraturan perundangan yang mengatur 
kependudukan adalah contoh soal. 
> 
> Di berbagai daerah yang menanamkan platform diskriminatif untuk 
posisi tertentu dengan mengedepankan isu putra daerah (di Bali, atau 
di Kalimantan Tengah pasca kerusuhan etnis, misalnya) sering 
mengundang protes terselubung sehingga peraturan seperti itu tidak 
efektif dan justru mengundang masalah baru, apalagi dihubungkan 
dengan paradigma HAM yang secara administratif juga telah diatur 
cukup lengkap.
> 
> Sosiokultural
> 
> Aspek sosiokultural sebagaimana dimaksud, secara alamiah muncul 
sebagai akibat dan sekaligus akumulasi dari perjalanan sejarah yang 
cukup panjang dan boleh disebut berulang yang terpateri dalam nurani 
anak bangsa sehingga tidak gampang menghilangkannya. 
> 
> Pengalaman dari pembagian golongan penduduk pada masa penjajahan 
Belanda selama ratusan tahun atas dasar pasal 163 IS (Indische 
Staatsregeling) yang memilah penduduk Indonesia menjadi 3 golongan, 
salah satunya adalah Tiong Hwa dan Timur Asing, belum sepenuhnya 
bisa dihilangkan. 
> 
> Perlakuan terhadap berbagai sisi kehidupan yang secara praktis 
menggariskan perbedaan, seperti sistem hukum perkawinan dengan 
segala implikasinya menjadi catatan tersendiri dalam upaya perubahan 
aspek sosiokultural yang tidak sederhana itu.
> 
> Meletusnya pemberontakan PKI, baik 1948 maupun 1965 yang didukung 
oleh komunis China (kendati paradigmanya telah berubah) menjadi 
catatan aspek sosiokukltural tersendiri yang tak begitu saja 
dikesampingkan. Bahkan, gerakan itu telah melukai bangsa. 
> 
> Berikutnya, berbagai kerusuhan yang berbau ras dan antargolongan 
(the have dan the have not) yang mengarah kepada golongan WNI 
keturunan China di sekitar peristiwa reformasi 1998 juga menjadi 
catatan tesendiri bahwa aspek yang berkenaan dengan kewarganegaraan 
ini menyangkut aspek sosiokultural yang sangat sensitif.
> 
> Catatan sejarah di atas dapat dijadikan bahan pertimbangan bahwa 
berlakunya ketentuan hukum tidak dapat begitu saja efektif jika 
menyangkut sisi hukum yang sifatnya sensitif. Hal itu tentu berbeda 
dengan hukum yang bersifat pelengkap dan ranah yang diatur lebih 
banyak menyangkut perilaku lahir dan tidak menyentuh sisi batin. 
Apalagi, pada tingkat keyakinan serta tidak berlaku untuk semua 
orang.
> 
> 
> Prof Dr Samsul Wahidin,SH.MH., guru besar Ilmu Hukum 
UnlamBanjarmasin
> 
> ++++
> 
> http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=236717
> 
> Senin, 17 Juli 2006,
> 
> 
> 
> Mengapa Warga Tionghoa Antusias?
> Oleh Tomy Su
> 
> 
> 
> Pengesahan RUU Kewarganegaraan menjadi UU di gedung DPR, Jakarta, 
pada 11 Juli 2006 memang disambut luar biasa, khususnya bagi warga 
Tionghoa. Meskipun UU itu sebenarnya bukan eksklusif bagi warga 
Tionghoa. Tapi, itu juga bagi kepentingan semua warga negara yang 
lain. Misalnya, mereka yang menikah dengan orang asing atau para 
buruh migran kita. 
> 
> Jika kemudian warga Tionghoa merasa paling antusias menyambut UU 
tersebut, seperti ditulis koran ini (edisi 12,13, dan 14 Juli), itu 
tentu beralasan. Memang, ada beberapa alasan signifikan mengapa 
warga Tionghoa terkesan paling antusias. Bahkan, sampai terjadi 
euforia di sana sini dalam merespons UU Kewarganegaraan yang baru 
itu.
> 
> Pertama, lepas dari berbagai keberatan beberapa pihak, lahirnya UU 
Kewarganegaraan itu merupakan kemajuan bagi pemerintah di bidang 
hukum. Seperti kita tahu, selama ini produk hukum kita -misalnya, UU 
Kewarganegaraan No 62/1958- justru menjadi alat untuk 
mendiskriminasi warga Tionghoa atau setidaknya memberikan tempat 
untuk mendiskriminasi warga Tionghoa. Sebab, posisi warga Tionghoa 
dibedakan dengan warga negara lain di negeri ini. 
> 
> Pembedaan itu, misalnya, bisa dilihat dari kewajiban untuk 
memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). 
Soal SBKRI memang sering menjadi hantu atau momok yang mengganggu 
kehidupan warga Tionghoa. 
> 
> Misalnya, pada dekade 1960-an, guna mendapatkan SBKRI sesuai UU 
No62/1958 itu, warga Tionghoa harus maju ke pengadilan sambil 
menyatakan sumpah setia kepada NKRI. 
> 
> Dengan adanya UU Kewarganegaraan yang baru, kematian SBKRI resmi 
diproklamasikan. Sebab, UU Kewarganegaraan No 62/1958 yang 
mewajibkan SBKRI resmi tidak berlaku lagi. 
> 
> Kedua, alasan penting lain mengapa warga Tionghoa antusias, UU 
Kewarganegaraan ini, seperti ditulis di berbagai media (termasuk 
Jawa Pos tanggal 12 dan 13 Juli 2006), mengakhiri semua polemik 
pribumi dan nonpri atau warga asli atau bukan yang menyita banyak 
energi kita. Apalagi, spirit UU itu memang mengajak kita untuk maju 
selangkah dalam menghayati bahwa Indonesia adalah bangsa modern, 
bukan sebagai bangsa dalam pengertian kuno. 
> 
> Makna bangsa kuno adalah hanya menekankan pada kesamaan ras, 
bahasa, kesamaan anutan agama, tradisi, serta budaya dan kesamaan 
wilayah tempat tinggal. Sedangkan pengertian bangsa modern, menurut 
John Lock, adalah sebagai sekelompok manusia yang secara suka rela 
menyatukan diri karena perasaan senasib, aspirasi yang sama, dan 
bersatu dalam memperjuangkan cita-cita bersama. 
> 
> Semua suku atau etnis, baik Tionghoa, Jawa, Madura, Arab, maupun 
siapa pun yang lahir, besar, dan hidup di negeri ini (pasal 2) bisa 
bersatu mewujudkan satu Indonesia bagi semua sesuai semangat Sumpah 
Pemuda.
> 
> Alasan paling utama mengapa warga Tionghoa antusias karena UU 
Kewarganegaraan tersebut memberikan harapan besar bakal 
terselesaikannya apa yang disebut sebagai masalah Tionghoa di 
Indonesia. 
> 
> Sejak Tragedi 1965, warga Tionghoa di negeri ini dipandang sebagai 
ancaman. Sebab, pada zaman Orde Lama, orang Tionghoa memiliki 
kecenderungan loyalitas ke RRT. Ketika diberi ruang untuk 
berpolitik, mereka ternyata membelokkan loyalitas kepada RRT dan 
gerakan komunis. Kebijakan Soeharto yang mencoba memusnahkan segala 
hal yang berbau Tionghoa dengan Inpres No 14/1967 ternyata justru 
membuat runyam keadaan.
> 
> Kebijakan ekonomi Soeharto yang merangkul konglomerat berdarah 
Tionghoa (atau kebijakan ekonomi cukong, meminjam istilah Leo 
Suryadinata) justru sangat mengorbankan kepentingan dan martabat 
warga Tionghoa yang bukan konglomerat. Stereotip, stigma, dan 
politik kambing hitam (menyalahkan warga Tionghoa sebagai biangkerok 
berbagai permasalahan) menjadi menu harian bagi warga Tionghoa. 
Apalagi warga Tionghoa dipandang kurang patriotis/nasionalis, 
eksklusif, dan dianggap mendominasi ekonomi nasional. 
> 
> Puncak dari semuanya itu adalah kerusuhan anti-Tionghoa terbesar 
yang disebut Tragedi Mei 1998 di Jakarta.
> 
> Syukurlah, delapan tahun sesudah tragedi memilukan itu, sebagai 
buah dari Gerakan Reformasi Para Mahasiswa pada 1998, lahirlah UU 
Kewarganegaraan ini (konteks ini jangan pernah dilupakan). 
> 
> Dengan demikian, UU tersebut sebenarnya juga berniat mereformasi 
cara hidup dan cara berinteraksi berbagai anak bangsa di negeri ini 
dari yang semula bersemangat diskriminatif-rasis menjadi penuh 
apresiasi dan persaudaraan sesuai dengan jati diri kita sebagai 
bangsa majemuk. 
> 
> Saya sepakat bahwa UU itu boleh jadi tidak akan bisa menuntaskan 
semua permasalahan yang terkait diskriminasi atau rasialisme. Sebab, 
di negara maju pun masih menghadapi masalah-masalah seperti ini 
(Lihat Jati Diri Jawa Pos, 13/7). 
> 
> Meski begitu, UU ini menempatkan warga Tionghoa sama atau 
sederajat dengan anak bangsa yang lain sesuai prinsip semua sama di 
depan hukum (equality before the law). Bahkan, mereka yang masih 
berlaku diskriminasi atau rasialis diancam hukuman satu tahun 
penjara. 
> 
> Mudah-mudahan keberadaan UU itu memang akan mendorong kita semua 
untuk lebih banyak berkarya nyata bagi bangsa daripada berkonflik 
rasial atau melakukan diskriminasi yang kontraproduktif.
> 
> Akhirnya, meminjam ungkapan Koordinator Komunitas Tionghoa Peduli 
Demokrasi dan HAM Jatim Sidharta Adhimulya, pengesahan UU ini 
selayaknya kita jadikan momentum untuk menguburkan segala bentuk 
mentalitas dan jiwa diskriminatif yang culas dan bersumber dari 
dalam jiwa dan lubuk hati kita masing-masing. 
> 
> 
> Tomy Su, koordinator Masyarakat Pelangi Pencinta Indonesia
> 
> 
> 
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>







------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Check out the new improvements in Yahoo! Groups email.
http://us.click.yahoo.com/6pRQfA/fOaOAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke