KOMPAS 
Selasa, 18 Juli 2006 
UUD 45 (Asli) Tolak Demokrasi Liberal 

AMIN ARYOSO 

Wacana tentang ditegakkannya lagi UUD 1945 kini bagai gayung bersambut, setelah 
beberapa ormas memperingati HUT ke-47 Dekrit Presiden Soekarno kembali ke UUD 
1945 di Pelataran Tugu Proklamasi dan di Perpustakaan Nasional, 5 Juli 2006. 

Setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wapres Jusuf Kalla, Gubernur 
Lemhannas Muladi, Ketua DPR Agung Laksono, dan Wakil Ketua MPR Aksa Mahmud 
bereaksi dengan opininya, Adnan Buyung Nasution "nimbrung" dengan artikel 
Kembali ke UUD 45, Antidemokrasi (Kompas, 7/7). 

Meski tidak secara spesifik menuduh tokoh yang ingin ditegakkannya UUD 1945 
sebagai "antidemokrasi", judul tulisan Buyung pada dasarnya menjurus ke sana. 

Manipulasi hukum 

Pertama, kami tidak menyatakan kembali ke UUD 1945. Keputusan MPR 1999-2004 
secara prosedural tidak membatalkan Dekrit 5 Juli 1959, dan menurut ketentuan 
hukum, UUD 1945 masih berlaku. Sedangkan UUD 1945 yang diamandemen empat kali 
diberlakukan secara politis, padahal perubahannya menyimpang dari tata tertib 
yang ditetapkan MPR, apalagi tidak dicantumkan dalam Lembaran Negara. 

Kedua, UUD 1945 amandemen, oleh MPR dinamakan UUD Negara Republik Indonesia 
1945. Istilah itu sama sekali tidak dikenal karena namanya tidak sesuai Dekrit 
Presiden dan telah diberlakukan MPRS melalui TAP MPRS No X/MPRS/1966 dan No 
XX/MPRS/1966. Lalu MPR dalam Pasal 115 TAP MPR No I/ MPR/1978 menyatakan MPR 
tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan atas UUD 1945. Melalui TAP 
No III/MPR/ 2000 tentang Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan 
Perundang-undangan, MPR menyatakan, UUD 1945 merupakan hukum dasar tertulis 
negara RI. 

Dengan nama itu, MPR melakukan manipulasi hukum yang merupakan hasil konspirasi 
asing bekerja sama dengan eksponen tertentu di dalam negeri. Sebenarnya UUD 
1945 amandemen lebih tepat disebut UUD 2002. 

Ketiga, persoalan utama yang ingin dikemukakan bukan untuk mendekritkan kembali 
UUD 1945 (asli), tetapi menegakkan konstitusi karena dilakukan empat kali 
perubahan, dibuat melalui prosedur yang salah, karena itu batal demi hukum. 

Dari segi substansi, "UUD 2002" bermuatan gagasan neoliberalisme yang terbukti 
menghancurkan tatanan sosial politik dan sosial ekonomi sejumlah negara 
berkembang, terutama Indonesia. Selain itu dengan amandemen, Indonesia tidak 
memiliki lagi GBHN sehingga arah dan konsep pembangunan tidak jelas. Karena itu 
kami mendukung pendapat Rektor UGM Prof Dr Sofian Effendi yang menyebut, 
andaikata Presiden SBY mau mendekrit, yang didekritkan bukan kembali ke UUD 
1945 (asli), tetapi membatalkan "UUD 2002" atau melalui referendum, sebab MPR 
sekarang bukan lagi referensi rakyat karena statusnya tidak Lembaga Tertinggi 
Negara. 

Keempat, demokrasi Indonesia berdasar UUD 1945 (asli) bertentangan dengan 
demokrasi liberal karena demokrasi Indonesia menganut sosio demokrasi, yaitu 
demokrasi politik dan demokrasi ekonomi sehingga para penganut UUD 1945 (asli) 
tidak benar jika disebut antidemokrasi. Para pendukung UUD 1945 (asli) jelas 
antidemokrasi liberal. 

Kelima, seperti dikatakan Prof Mr Soepomo, demokrasi Indonesia berbeda dengan 
demokrasi Barat. Bagi bangsa Indonesia, individu tak lepas dari masyarakat. 
Maka hak dan kewajiban yang dimiliki terkait fungsi di masyarakat. Berarti 
bertentangan dengan individualisme Demokrasi Barat, yang tidak mengenal asas 
kekeluargaan dan gotong royong demi keadilan sosial. 

Bukan lagi sementara 

Keenam, lebih dari itu, empat perubahan UUD 1945 bertentangan dengan Pembukaan, 
Batang Tubuh UUD 1945 (asli), selanjutnya dengan menghapuskan Penjelasan 
sehingga benar-benar merupakan penerapan neoliberalisme. Artinya, "UUD 2002" 
menghapus peran golongan fungsional dan utusan daerah dalam MPR, padahal 
golongan fungsional merupakan 90 persen rakyat Indonesia (petani, buruh, 
nelayan, guru, pemuda, agamawan, TNI/Polri, cendekiawan, wartawan, dan 
lainnya). Apalagi dalam pengambilan keputusan, demokrasi Indonesia menekankan 
musyawarah dan mufakat untuk mencapai keadilan sosial, sedangkan demokrasi 
Barat selalu berpegang pada voting, di mana pemilik modal dengan mudah 
mengalahkan rakyat kecil (the winners get all, the loosers get nothing). Hal 
seperti itu jelas menimbulkan kemiskinan struktural. 

Ketujuh, UUD 1945 (asli) adalah UUD sementara dan dapat diubah seperti 
dikatakan Bung Karno, 18 Agustus 1945. Namun, Bung Karno menginginkan perubahan 
melalui suara rakyat/pemilu. Bung Karno menginginkan pemilu bukan hanya untuk 
memilih anggota parlemen, tapi juga anggota konstituante yang bertugas 
menetapkan UUD. Kenyataannya Konstituante gagal menetapkan UUD sehingga untuk 
mencegah kemungkinan perpecahan antarbangsa, atas nama rakyat Indonesia, 
Presiden/ Panglima Tertinggi Angkatan Perang mendekritkan kembali ke UUD 1945, 
sekaligus dibuat Keppres No 150/1959 dan dicantumkan dalam Lembaran Negara No 
75/1959. Maka UUD 1945 tidak lagi berstatus sementara. 

Jika Dekrit 5 Juli 1959 disebut "permainan" sisa-sisa militer pendukung 
Soekarno, pantas juga ada pertanyaan, bagaimana dengan amandemen UUD 1945 
(asli) yang tergambar demi kepentingan asing? 

Kedelapan, hal itu membuktikan Bung Karno amat demokratis dan tidak otoriter 
sebagaimana dituduhkan pihak asing dan pihak-pihak tertentu di dalam negeri. 

Kesembilan, kembali ke UUD 1945 (asli) tentu tak dapat dikatakan setback karena 
sejarah UUD 1945 (asli) ditetapkan 1945 (abad ke-20), sedangkan demokrasi Barat 
bersumber paham liberalisme. Artinya, dibanding dengan konstitusi negara mana 
pun di dunia, menurut ahli hukum tata negara Prof Dr ASS Tambunan SH, UUD 1945 
(asli) adalah paling modern. 

Kesepuluh, khusus mengenai hak-hak asasi manusia (HAM) sudah dicantumkan dalam 
Pembukaan UUD 1945 (asli), tercermin dengan kalimat, "Bahwa sesungguhnya 
kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di 
atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan 
perikeadilan", yang dijabarkan rinci Pasal 27 dan 33, diperkuat sila kedua 
Pancasila sebagai dasar negara. Sementara "UUD 2002" mengutip Deklarasi HAM PBB 
yang dikeluarkan tahun 1948, berarti UUD 1945 (asli) sudah mendahului 
menetapkan HAM pada tahun 1945. 

H Amin Aryoso 
Mantan Ketua Komisi II DPR 1999-2002 yang saat sidang MPR menentang amandemen; 
Aktivis Yayasan Kepada Bangsaku; Alumnus GMNI 


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
See what's inside the new Yahoo! Groups email.
http://us.click.yahoo.com/2pRQfA/bOaOAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke