MODUS Minggu, 23/7/06 08:33 WIB
Yayasan Pemantau Hak Anak Nasib Anak pada Titik Nadir Akibat Utang Jakarta, (Modus.or.id).Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) setiap 23 Juli, telah menjadi agenda rutin tahunan yang dilaksanakan oleh berbagai kalangan, baik pemerintah, LSM, dan pihak-pihak lainnya. Namun peringatan tersebut hanya bersifat seremonial semata sehingga kesadaran kritis anak-anak terhadap permasalahan-permasalahan nyata yang dihadapi anak-anak di masa kini dan masa mendatang tidak terbangun. Salah satu permasalahan yang bersifat mendasar dan berdampak secara langsung terhadap jaminan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak di masa-masa mendatang adalah permasalahan utang negara. Namun permasalahan ini tidak pernah dikomunikasikan kepada publik termasuk anak-anak sebagai pemilik masa depan bangsa. Padahal sampai posisi bulan Januari 2006 tercatat hutang pemerintah sebesar Rp 1453,760 trilyun dan utang swasta Rp 563,220 trilyun. Akibatnya setiap tahun, pemerintah harus mengalokasikan anggaran untuk membayar utang luar negeri sekitar Rp 96 trilyun ditambah dengan utang dalam negeri sekitar Rp 60 trilyun, sehingga setidaknya setiap tahun pemerintah harus membayar utang dengan kisaran antara Rp 150 - 170 tilyun. Untuk membayar utang luar negeri, menurut perkiraan Drajat Wibowo, baru bisa dilunasi 30 - 40 tahun ke depan, dengan catatan pemerintah tidak wajib membayar bunga dan tidak menambah utang baru. Namun pada pertemuan CGI, pemerintah malah menambah utang baru yang terdiri dari utang program dan proyek sebesar US$3,9 milyar. Dengan demikian, anak-anak Indonesia harus menanggung dampak utang dengan rentang waktu yang lebih panjang. Beban utang tersebut juga kian mereduksi kewajiban utama negara guna menjamin penghargaan, perlindungan, pemenuhan, dan pemajuan hak-hak anak. Karena melalui utang, pemerintah dipaksa untuk mengurangi alokasi anggaran untuk sektor-sektor kesejahteraan sosial seperti pendidikan, kesehatan, permukiman, dan pelayanan sosial lainnya. Besaran alokasi untuk sektor pendidikan, kesehatan, dan sektor perlindungan dan jaminan sosial sebagaimana tampak di bawah ini menjadi bukti ketidakmampuan dan ketidakmauan negara dalam menunaikan kewajibannya pertama,untuk memenuhi kewajiban konstitusi menganggarkan 20% dari total APBN untuk sektor pendidikan, pemerintah sampai saat ini tidak mempunyai kehendak politik yang baik. Hal ini ditunjukkan besaran persentase alokasi anggaran untuk bidang pendidikan dibandingkan dengan total APBN 2004 hanya 6,6% (Rp 15 trilyun); APBN 2005 sebesar 9,3% (Rp 21 trilyun), dan APBN 2006 setara 12% (Rp 31 trilyun). Rencananya pencapaian alokasi anggaran pendidikan 20% ditargetkan pada tahun 2009. Kedua, untuk memenuhi derajat kesehatan yang minimal, negara menurut WHO seharusnya mengalokasikan anggaran minimal 5% dari total APBN. Namun realisasinya pemerintah pada APBN 2006 hanya mengalokasikan anggaran sebesar Rp 10,8 trilyun (2,9%). Sementara APBN 2005 dianggarkan sebesar Rp 7,7 trilyun (2,7%), sedangkan untuk APBN 2004, dianggarkan 5,1 trilyun (2,1%). Kemudian perumahan yang layak dan fasilitas umum lainnya sebagai prasyarat utama untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal pemerintah hanya sanggup menyediakan anggaran sebesar Rp 2,2 trilyun pada APBN 2005 (1,5%). Ketiga, Untuk memenuhi hak-hak anak yang berada dalam situasi khusus karena berkonflik dengan hukum dan berada dalam institusi negara, pemerintah melalui Departemen Hukum dan HAM, menetapkan alokasi anggaran Rp 1,6 trilyun (0,75%). Bandingkan pengeluaran tersebut dengan alokasi pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri yang alokasi anggarannya selalu tersedia setiap tahunnya : pada APBN 2004 sebesar Rp 111,072 trilyun; APBN-P 2005 sebesar Rp 93,954 trilyun. Pembayaran tersebut semakin meningkat pada tahun 2006, di mana dianggarkan sebesar Rp 171,6 trilyun (26,5%). Bandingkan pula dengan alokasi sektor pertahanan dan keamanan melalui Departemen Pertahanan dan Kepolisian RI dalam APBN 2005 menghabiskan Rp 37 trilyun. Untuk tahun anggaran 2009 dianggarkan sebesar Rp 36 trilyun. Dengan anggaran yang demikian besar kinerja sektor ini belum menunjukkan hasil yang maksimal. Sampai saat ini jaminan hak atas rasa aman masih belum terpenuhi. Lebih jauh, minimnya anggaran untuk memenuhi dan melindungi hak-hak anak diperparah dengan rendahnya komitmen negara dalam mengimplementasikan kewajiban internasionalnya. Pemerintah melalui regulasi dan anggaran publik yang ditetapkannya malah melakukan tindakan diskriminitif terhadap anak-anak dan melanggar hak-hak anak. Kepentingan terbaik untuk anak tidak pernah dijadikan dasar pijakan pemerintah dalam menyusun kebijakan publik. Pada akhirnya, dampak ini dirasakan anak-anak karena pihak-pihak yang seharusnya melindungi anak-anak seperti keluarga, pendidik, dan aparat hukum malah melakukan tindak kekerasan. Tindakan kekerasan ini tersistemasi melalui regulasi dan anggaran publik yang tidak berpihak tersebut. Dengan kebijakan publik tersebut di atas, maka negara berkontribusi menghilangkan dan menghambat akses bagi anak-anak untuk menikmati hak-hak asasinya. Bukti-bukti berikut menjadi fakta empirik kegagalan negara dalam menunaikan kewajibannya pertama, di Indonesia angka kematian balita memiliki perbedaan dramatis antar propinsi, dengan angka mulai dari 23/1.000 kelahiran hidup hingga 103/1000 kelahiran hidup. Sekitar separuh dari jumlah kematian bayi dan anak bisa dikaitkan akibat kekurangan gizi Kedua, kekerasan terhadap anak sejak satu tahun terakhir ini hampir setiap hari diberitakan oleh media massa dengan jenis dan bentuk kekerasan yang semakin meningkat kualitas maupun kuantitasnya. Menurut Pusdatin Komnas PA, selama 2005 dilaporkan terjadi 736 kasus kekerasan terhadap anak. Dari jumlah itu, 327 kasus perlakuan salah secara seksual, 233 kasus perlakuan salah secara fisik, 176 kasus kekerasan psikis. Sedangkan jumlah kasus penelantaran anak sebanyak 130. Demikian pula hasil Konsultasi Anak tentang Kekerasan terhadap Anak di 18 Provinsi dan Nasional baru-baru ini mengungkap bahwa penganiayaan dan kekerasan terhadap anak dan perempuan justru dilakukan oleh orang-orang terdekat anak baik di sekolah, rumah, di institusi masyarakat dan negara. Ketiga, terdapat 3 juta anak yang memiliki pekerjaan berbahaya. Setidaknya 30% dari para pekerja seks perempuan di Indonesia berusia dibawah 18 tahun. Bahkan ada yang berusia 10 tahun dipaksa terlibat dalam pelacuran. Diperkirakan terdapat 100.000 perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan setiap tahunnya, kebanyakan sebagai pekerja seks komersial di Indonesia dan luar negeri. Keempat, sekitar 4.000 hingga 5.000 anak berada di lembaga pemasyarakatan, lembaga rehabilitasi dan penjara; 84% dari anak-anak yang dihukum ini ditahan bersama para penjahat dewasa. Kemudian, sekitar 80% Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan rumah tahanan (Rutan) di Indonesia, tingkat huniannya melebihi kapasitas sehingga tingkat hunian lapas mencapai 40% sampai 30% di atas kapasitas yang tersedia. Kelima, sekitar 1,8 juta anak SD berusia 7 - 12 tahun, dan 4,8 juta anak usia 13 - 15 tahun, tidak bersekolah. 26 juta anak usia SD putus sekolah (drop out). Jumlah anak usia di atas 10 tahun yang tergolong buta huruf yang saat ini masih berjumlah 16 juta. Situasi pendidikan seperti ini diperburuk dengan kondisi ruang kelas SD yang rusak mencapai 489.573 atau hampir 60% dari total ruang kelas SD di Tanah Air sebanyak 877.772 ruang. Ini belum termasuk kerusakan bangunan di tingkat SLTP dan SLTA. Dampak lebih jauh, hingga tahun 2005, 64,7% orang Indonesia hanya berpendidikan SD dan lebih rendah dari SD. Berdasar hal-hal di atas, maka utang yang dibuat Pemerintah tersebut termasuk utang haram (odious debt) dan tidak sah (illigitimate debt). Karena selain berpotensi dikorupsi, utang tersebut dibuat tanpa persetujuan DPR, warga negara dan tidak berdampak secara signifikan terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak. Berkaitan dengan hal di atas, YPHA mendorong Pemerintah untuk melakukan segala upaya dan tindakan nyata dengan segenap sumber daya yang tersedia untuk pertama, menegosiasikan permasalahan pembayaran utang luar negeri dengan lembaga-lembaga maupun negara-negara kreditor melalui mekanisme penghapusan dan pengurangan hutang. Di samping itu pengalihan utang (debt swap) menjadi program-program yang berbasis pemenuhan hak asasi manusia merupakan alternatif yang perlu terus diupayakan secara sungguh-sungguh. Kedua, memberikan informasi secara terbuka dan melibatkan peran serta warga negara termasuk anak-anak dalam merumuskan setiap kebijakan publik yang akan diterapkan oleh Pemerintah. Ketiga, mengajukan persetujuan kepada DPR dan warga negara atas rencana pengajuan utang baru Pemerintah kepada lembaga-lembaga dan negara-negara kreditor. Keempat, meningkatkan alokasi anggaran secara progresif khususnya sektor pendidikan, sektor kesehatan sesuai dan sektor-sektor lain yang terkait dengan pemenuhan hak-hak anak yang bersifat mendasar sesuai ketentuan konstitusi dan instrumen hukum internasional hak asasi manusia. Kelima, membuat regulasi untuk memberikan sanksi tegas kepada pihak-pihak yang mengeluarkan kebijakan publik yang berpotensi melanggar hak-hak anak. Keenam, menjadikan prinsip-prinsip dan norma-norma dalam Konvensi Hak Anak serta instrumen hukum internasional hak asasi manusia lainnya sebagai rujukan bagi setiap aparat dalam menetapkan kebijakan publik.(Red [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/