Surat Kembang Gunung Purei:

"SUATU JALAN KELUAR DAN CARA  HIDUP MENGALAHKAN AJAL".


Kata-kata yang kujadikan judul suratku kali ini, berasal dari ucapan Betool 
Khedairi, seorang penulis perempuan Irak yang buku pertamanya baru saja 
diterbitkan dan sekarang sedang beredar di Paris. Roman pertama Pembaca 
Perancis bisa menikmati karya pertama Betool Khedairi berjudul "Sebuah Langit 
Yang Begitu Dekat" [Kam Badat As-Sama'Qariba], berkat jasa Gilles Authier yang 
menerterjemahkannya langsung dari bahasa Arab, dan penerbit Gallimard, dalam 
serie "Seluruh Dunia" [Le Monde entier]. Gallimard adalah salah satu penerbit 
terpenting dan besar di Paris, yang juga telah menerbitkan novel Pramoedya 
A.Toer "Gadis Pantai" tahun 2004, tepat ketika berlangsungnya "Hari Sastra 
Indonesia" di Paris [Lihat: Laporan JJ. Kusni mengenai hal ini di berbagai 
milis].Melalui Serie "Le Monde Entier" inilah Gallimard memperkenalkan 
karya-karya sastra pengarang dari seluruh penjuru dunia ke kalangan pembaca 
Perancis, di samping penerbit Actes Sud yang mengkhususkan diri dalam bidang 
penterjemahan dan memperkenalkan karya-karya sastra dunia.


Terbitnya roman pertama bersifat otobiografis Betool Khedairi ini di Paris, 
walau pun tentu saja tak padan, tapi terasa seakan berusaha mengimbangi 
berita-berita bau darah dan kekerasan yang mengalir saban hari ke seluruh dunia 
dari Eufrat dan Tigris, lebih-lebih setelah pendudukan Amerika Serikat atas 
Irak.Seakan memperlihatkan bahwa kebudayaan dan kemanusiaan tidak terbinasakan 
oleh perang dan kekerasan yang lapar nyawa.Sekali pun, kebudayaan dan 
kemanusiaan itu mungkin berdiri sempoyongan dan berjalan terseok-seok. Perang 
dan kekerasan tak kenal belas kasihan inilah memang yang melatarbelakangi roman 
otobiografis Betool Khedairi yang dilahirkan di Bagdad pada tahun 1965 di 
sebuah rumah mewah dan oleh para tetangga disebut sebagai "rumah orang asing" 
[la maison de l'étrangère].Betool lahir dan besar di tengah perang dan 
kekerasan dari seorang ayah yang pedagang besar Irak dan ibu asal Skotlandia. 
Bukan hanya perang antar negara, tetapi juga "perang" antara ayah dan ibunya. 
Sang ibu menginginkan puterinya belajar bahasa Inggris, menari dan bertatacara 
yang elite, sedangkan ayah mau anaknya menterapkan kehidupan kampung  -- asal 
usul sang ayah. Barangkali sang ayah, ingin agar anaknya tidak melupakan asal 
dan akar ayahnya. Tidak tercerabut dari orang kampung Irak. "Perang" intern 
antar suami-istri, orangtua Betool, berakhir dengan permintaan cerai dari sang 
ibu. Menjawab permintaan ini sang ayah yang sebagai pedagang banyak bepergian 
dan jarang di rumah berkata:"Kalau itu yang kau inginkan, perempuanku, 
kuterima. [...]. Tapi dia [baca:Betool -- JJK] adalah anakku. Dia aku pasti 
anak gadis kita akan tinggal bersamaku. Hukum memihakku".


Alkisah perang Iran-Irak meletus. Ayah Betool meninggal dalam suatu kecelakaan 
mobil.Yang selalu terkenang di benak dan melekat dalam di lubuk jiwa Betool 
adalah kelembutan dan kasihsayang ayah kepada dirinya. Waktu itu Betool sudah 
berusia 23 tahun dan sudah mulai menuliskan roman yang sekarang 
diterbitkan."Yang mengagetkan aku bahwa aku mempunyai keberanian menulis 
tentang hidup ayah setelah ia meninggal" tutur Betool kepada para wartawan 
Perancis yang mewawancarainya pada saat peluncuran roman pertamanya ini. 
"Setelah ayah meninggal, aku bekerja sebagai pengelola keuangan perusahaan yang 
ia tinggalkan. Baru setelah pekerjaan ini selesai, dengan menggunakan satu jam 
saban malam, aku melanjutkan penulisan", tambah Betool Khedairi. Dengan cara 
begini, Betool baru bisa merampungkan 
roman pertamanya setelah bekerja 10 tahun saban malam.


Betool heran sendiri mengapa ia berani menulis seadanya tentang sang ayah. 
Keheranan yang membuatnya "merasa seperti batu" dingin tanpa perasaan, jika 
menggunakan istilahnya sendiri. Apakah ini bukan suatu kesimpulan jujur yang 
diambilnya dari menghidupi "perang intern"antara ayah dan ibu sampai ia menjadi 
bujang. Lalu atas dasar kesimpulan itu  mengambil keputusan sebagai jalannya 
sendiri? Ditambah lagi oleh apa yang pelajari di universitas-universitas di 
Amerika Serikat, Timur Tengah dan negeri-negeri Maghreb. Sehingga Betool 
Khedairi tidak memenuhi baik yang diharapkan oleh ibu atau ayahnya. 


Di jalan pilihan sendiri ini, betul nampak santai dan bebas dalam pakaian 
celana dan jaket jean kesukaannya. Melalui sorot sepasang matanya dan bibir 
keras terkatup, tergambar ketetapan hati romansir muda Irak ini.Juga tertuang 
dalam sebuah tulisannya di The Jordan Times tahun 2004:


"Kalau sayap-sayap perkawinanmu patah, tunggu apa lagi. Cerailah! Kalau karirmu 
tidak memuaskan kau, gantilah haluan. Kalau kau tidak bisa mempunyai anak, 
jangan ragu untuk mengadopsi anak". 


Dengan prinsip ini, Betool sendiri akhirnya meminta cerai dari suaminya. 
Ujarnya sambil tertawa lebar, tentang perceraian ini:


"Aku tidak ingin seperti ibuku yang menunggu dan menunggu ayah yang selalu 
bepergian. Lalu menunggu, menunggu, tetapi menunggu untuk apa? Godot yang 
ditunggu tidak pernah datang".  

"Apakah Anda seorang feminis?" tanya para wartawan. 

"O, aku masih takut dengan istilah ini. Tapi yang aku anjurkan adalah bagaimana 
para perempuan mengambil nasib mereka ke tangan mereka sendiri". 


Barangkali yang ditakuti oleh Betool adalah istilah yang mungkin masih ia 
pertanyakan ketepatannya, tapi dalam tindakan dan memilih jalannya sendiri, 
Betool nampak tidak ada ketakutan sedikit pun. Ia tidak ragu sedikit pun 
meminta cerai.Tidak ragu untuk tidak mengenakan jilbab. Menggunakan jean  dan 
berpenampilan santai, seakan mau mengucapkan bahwa tubuh ini adalah tubuhku. Ia 
pun mengkritik penggunaan pil anti hamil sehingga mengakibatkan pertumbuhan 
demografis menjadi tidak terkendalikan. Dan akhirnya orang-orang ini hanya 
dijadikan umpan perang tak menentu atas nama "pertempuran mulia". 


Istilah kadang kurang padan untuk mengungkapkan tindakan dan totalitas 
ide.Karena itu Betool menolak menyebut dirinya sebagai seorang "feminis".  


Absurditas perang dilukiskan oleh Betool Khedairi sebagai"orang-orang yang 
sama-sama mengenakan seragam kain kaki saling hantam, saling bunuh, saling 
hadap-hadap dan saling meledakkan". Apa yang mereka dapatkan untuk diri, 
keluarga, bangsa dan kemanusiaan? 


Berbicara tentang tentangannya terhadap perang, kekerasan, dan kediktaturan, 
Betool nampak seperti gelombang menggulang tak henti memburu pantai, seperti 
arus tak jeda mengalir memburu muara.


" Selama perang Iran-Irak, hari-hari kami dihantui oleh dua pertanyaan: Untuk 
apa dan hingga kapan? Bayangkan saja: Tiga puluh lima tahun kediktaturan 
berkuasa, tiga perang selama dua puluh tiga tahun.Di sekitar kita, orang-orang 
bermatian. Dari detik ke detik yang kita bicarakan dan dengar tidak lain dari 
yang itu-itu juga. Aku merasa bosan dan cukup sudah keadaan begini.Karena itu 
aku ingin berbicara tentang konsekwensi perang terhadap kami". Dan tema inilah 
yang Betool tulis dalam roman keduanya berjudul Ghayeb. 


Keadaan beginilah yang oleh Betool dilambangkan sebagai "langit" [le ciel]. Dan 
"langit" ini dirasakan benar oleh Betool Khedairi begitu dekat dengan kehidupan 
pribadinya dan seluruh orang Irak. Karena itu roman pertamanya ia juduli dengan 
"Un Ciel Si Proche" [Sebuah Langit Yang Begitu Dekat]. Langit Irak, negeri 
kelahirannya. Langit yang ia rasakan telah meremuk dan meluluhlantakkan sekian 
mimpinya.


Betool Khedairi sekarang tinggal di Jordania. Sedangkan waktu Perang Teluk, ia 
lari ke London.   "Aku tak mau kembali ke Irak, sebelum kekuasaan tidak lagi 
menakutkan kehidupanku"."Sekarang ini, aku merasa hidupku lebih berguna di luar 
negeri daripada di dalam negeri", ujarnya. Dalam hal ini aku tentu saja berbeda 
dengan Betool. Aku lebih cenderung pada nasehat dan kesimpulan orang Tionghoa 
Kuno yang berkata: "Tangkap harimau di sarangnya".yang dalam istilah militer 
Viêt Nam dinamakan sebagai "konsep kembang teratai".


Apakah roman Betool yang segera akan difilemkan ini, merupakan sebuah roman 
atau karya politik? Kukira tidak! Roman ini lebih berifat pribadi dan bertutur 
tentang kehidupan pribadi yang tidak bisa mengelak dari keadaan dan 
perkembangan politik.Di Indonesia korban keadaan dan perkembangan politik 
begini sering disebut sebagai "kesalahanpahaman sejarah" atau "korban 
sejarah".Disebut korban dari "kesalahpahaman sejarah" dan "korban sejarah", 
karena para korban sesungguhnya tidak bersalah.Dan tidak pernah dibuktikan dan 
tidak terbukti kesalahan mereka.


Pengalaman Betool Khedairi menunjukkan bahwa agaknya tidak mungkin kita 
mengelak dan tidak mengindahkan keadaan politik dan perkembangan politik. Suka 
atau tidak suka, kita hidup di tengahnya dan dikepung olehnya. Tanpa memahami 
keadaan demikian, tanpa usah menjadi partisan kita akan jadi "gasing mainan" 
pemegang kekuasaan politik dan para politis,jika menggunakan istilah Lan Fang 
dalam cerpennya "Toast". Dan serasa pasti, Betool Khedairi tidak mungkin 
menulis roman pertama dan keduanya, tanpa paham politik. Hampir tidak ada 
penulis besar negeri mana pun yang buta aksara politik.


Bahwa Betool tahu politik, nampak dari kata-katanya:


"Aku berusaha melalui tulisan dengan bahasaku sendiri guna mengurangi jarak 
antara Timur dan Barat serta melakukan pendekatan antar budaya hingga 
rakyat-rakyat bisa lebih baik saling mengerti".


Perang, kekerasan dan kediktaturian telah menumbuhsuburkan hasrat dan mimpi 
damai dan persahabatan antar rakyat di dunia pada diri Betool. Dengan memahami 
keadaan dan perkembangan politik, mengkhayati kehidupan, akhirnya Betool, jika 
menggunakan kosakata filosof Perancis Lacroix, menjadi "saksi sejarah dan 
zaman"nya."Saksi sejarah dan zaman" suatu kurun waktu Irak, tanahair dan negeri 
kelahiran penulis. Kecuali itu dengan menulis, Betool merasa telah mendapatkan 
jalan keluar bagi dirinya. Karena bagi Betool menulis adalah suatu cara  
mendapatkan "jalan keluar" dan sekaligus "cara hidup mengalahkan ajal". Dalam 
kata-kata penulis Spanyol, Jorge Semprun, untuk:"membangun kehidupan. 
Memperpanjangnya."


Dari dua romannya  "Un Ciel Si Proche" dan "Ghayeb", kukira Betool memelihara 
posisinya sebagai pemikir bebas, ciri penting dari warga republik sastra-seni 
yang berdaulat. Betool Khedairi tidak hanyut di arus, tapi sebaliknya, ia tidak 
takut melawan arus. Paling tidak secara ide, bukan secara fisik. Ciri yang juga 
kudapatkan pada penulis Singapura, kelahiran Jakarta, May Swan dalam 
kucerpennya "Matahari DiTengah Malam" [Doea_Lentera, Jakarta, Mei 2006]. 


Dalam hal ini aku jadi sampai pada masalah studi banding dalam dunia sastra. 
Studi banding terhadap para penulis perempuan berbagai negeri, barangkali 
diperlukan. Di samping membandingkan pendekatan dalam karya-karya, yang 
digunakan oleh penulis-penulis perempuan dengan penulis lelaki.  Studi banding, 
barangkali, bisa memperdalam pemahaman dan apresiasi.


Terakhir, dengan menggunakan kesempatan ini, sambil menyampaikan salam kepada 
Mas Boedi Darma, dan Mas Sapardi Djoko Damono, yang menangani secara akademi 
masalah sastra Indonesia, soal studi banding ini kuketengahkan sebagai 
pertanyaan. Seberapa banyak sudah studi banding ini sudah ditulis sebagai 
skripsi dan tesis? Bagaimana Mas berdua mengarahkan para mahasiswa dalam 
penulisan skripsi, Memoire dan tesis sehingga lebih menjawab dan mendorong 
perkembangan dunia sastra negeri kita? Seberapa jauh soal studi banding ini 
mendapat perhatian Fakultas Sastra kita? Sebagai berita ingin kukatakan bahwa 
dalam "Hari Sastra Indonesia" di Paris, 2004, perbandingan ini dilakukan oleh 
beberapa sarjana berbagai negeri ketika berbicara tentang Pram. Juga terhadap 
André Malraux dan E.du Perron dalam sebuah seminar di Sorbonne. 


Maaf, jauh menyimpang dari topik, tapi ketika membicarakan Betool Kheidairi, 
aku jadi teringat pada karya-karya Lan Fang dan May Swan, yang kemudian 
membawaku ke masalah studi banding. 


Dalam hubungan ini, maka kalau kita berbicara tentang Chicago School dan atau 
Frankfurt School [dalam bidang sosiologi],Amsterdam School dan Leiden School 
[jika informasi yang kudapat akurat],, mengapa tidak mungkin hal demikian 
terjadi di Indonesia kita di bidang sastra? 


Aku membayangkan dan selalu memimpikan terujudnya keadaan di dunia sastra kita: 
"Biar bunga mekar bersama seribu aliran bersaing suara". Kemajemukan itu suatu 
kekayaan dan keindahan, sedangkan penyeragaman mengandung petaka. Pertanyaan 
sentral akhirnya, barangkali: Kita mau apa dan ke mana dengan fakultas sastra 
kita? Sama halnya dengan menulis dan menulis. Menulis untuk apa dan mau ke 
mana? Pertanyaan ini agaknya, melalui pengalaman dan perenungannya serta bekal 
pendidikan serta pengetahuannya, telah dijawab oleh Betool Khedairi untuk 
dirinya sendirinya. Tentu!***


Paris, Juli 2006.
---------------
JJ. Kusni


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Reply via email to