Surat Jembatan Sembilan:

MENGANGKAT KEMBALI SASTRA-SENI LOKAL 


Hari ini, Donny Anggoro dari  Jakarta mengirimkan berita yang lengkapnya 
sebagai berikut:

"Cerocos Firman Muntaco Ihwal Jakarte Punye Cerite"

Penerbit Masup Jakarta, Betawi Foundation dan Pusat Dokumentasi Sastra HB 
Jassin.undang Anda untuk hadir pada acara:
 
"Cerocos Firman Muntaco Ihwal Jakarte Punye Cerite"
(Diskusi buku "Gambang" Jakarte karya Firman Muntaco)
 
Hari/Tanggal   : Saptu, 5 Agustus 2006
Jam            : 16.00 - 18.00
Tempat         : PDS HB Jassin, Kompleks TIM Jakarta Jl. Cikini Raya 73
                 Jakarta Pusat Telp./Fax (021) 31936641
Pembahas       : SM Ardan (penulis cerita Betawi dan pengamat film) dan  Nur 
Zain Hae (cerpenis muda Betawi dan anggota Komite Sastra Dewan Kesenian 
Jakarta).
Pembaca cerpen : Yahya A Saputra (Anggota Teater Tetas dan ketua Dept.Seni 
Pertunjukan Lembaga Kebudayaan Betawi)
 
Firman Muntaco (1935-1993) adalah salah satu sastrawan Indonesia yang sangat 
konsisten menggunakan dialek bahasa Betawi dalam karya-karyanya.  Tidak seperti 
penulis Indonesia lainnya seperti Aman Dt. Madjoindo (Si Doel, 1936) dan 
Pramoedya A. Toer (Cerita dari Jakarta, 1957) yang
hanya menggunakan "aroma Betawi" sebagai latar atau dialog, cerita-cerita 
Firman telah diakui banyak pengamat sastra lebih meresap ke dalam geliat 
kehidupan masyarakat Betawi.
 
Pada tahun 2006 kita akan berkesempatan menikmati kembali khasanah budaya 
Betawi asli dalam buku kumpulan cerpennya "Gambang Jakarte". Buku yang 
diterbitkan penerbit Masup Jakarta ini menghimpun 49 cerita pendeknya yang 
sebagian besar pernah dipublikasikan dalam koran Berita Minggu (BM), Koran 
pertama Indonesia awal 1950-an yang berani terbit di hari Minggu. Dipilih oleh 
editor SM Ardan dengan kata pengantar JJ Rizal, kolomnis sejarah 
Batavia-Jakarta Tempo Doeloe di Moesson Het Indisch Maandblad, Belanda, 
"Gambang Jakarte" hadir kembali untuk menyapa masyarakat Betawi dalam 
cerita-ceritanya yang segar dan menggelitik. ****

[Sumber "doro2121" <[EMAIL PROTECTED]>, "Cerocos Firman Muntaco Ihwal Jakarte 
Punye Cerite",  <[EMAIL PROTECTED]>,  Wednesday, August 02, 2006 8:02 AM.]


Membaca berita ini, yang langsung menyusup ke pikiranku adalah sastra daerah 
berbahasa lokal. Sampai sekarang aku masih berpegang pada pendapat bahwa yang 
disebut sastra Indonesia itu terdiri dari dua unsur yaitu sastra dalam bahasa 
Indonesia dan sastra yang ditulis dalam bahasa lokal atau daerah.  Dengan 
pandangan ini, maka karya-karya sastra misalnya yang  berbahasa Jawa, Sunda, 
Betawi, sastra lisan Dayak,  bahkan dalam bahasa Mandarin yang ditulis oleh 
para warga dari etnik Tionghoa, termasuk ke dalam  sastra Indonesia. Juga semua 
karya yang dihasilkan oleh orang-orang Indonesia di luar kawasan teritorial 
negara Republik Indonesia, kumasukkan ke dalam kategori sastra-seni Indonesia. 
Sedangkan perumusan UUD 1945 yang mengatakan bahwa yang disebut kebudayaan 
Indonesia hanyalah "puncak-puncak kebudayaan daerah", kukhawatirkan menimbulkan 
masalah dan polemik. Bisa-bisa perulusan begini membuka lebar pintu dominasi 
etnik-etnik dan kelompok-kelompok   besar saja. 


Sastra-seni lokal dalam bahasa dan bentuk-bentuk lokal, jauh lebih akrab, lebih 
komunikatif, lebih tanggap dan berbicara di kalangan pemakainya,  daripada 
sastra berbahasa Indonesia dan yang disebut berbentuk kontemporer. Jika antara 
keduanya terjadi saling susup dan pengaruh, aku kira hal begini merupakan suatu 
kewajaran. Alami. Dan proses saling mendekat, saling susup-menyusup, saling 
mempengaruhi dan saling isi, akan berlangsung secara sehat dan dengan 
sendirinya tanpa menggunakan semacam tekanan berbentuk "Jawanisasi", 
"Islamisasi", "Kristenisasi",  dan usaha-usaha sejenisnya seperti Subud yang 
"mengiblis-ibliskan" manusia dan budaya Dayak. Gambus, instrumen musik yang ada 
di daerah sungai Katingan, adalah hasil pertemuan antara unsur Islam dengan 
kebudayaan lokal dan dipandang oleh orang Katingan sebagai milik mereka 
sendiri, tanpa ditekan-tekan apalagi paksaan. Demikian juga seni mamanda di 
Kalimantan Selatan. Atau seperti halnya dengan cerita-cerita  wayang di Jawa 
Tengah pun, kukira tidak bisa disebut murni Jawa. 


Dari tiga contoh kecil ini saja, aku melihat bahwa sastra-seni, lokal atau 
nasional, pada galibnya tidak lain dari yang di Perancis disebut sebagai  
"kebudayaan metissage" [kebudayaan campuran]. Kebudayaan suatu bangsa atau 
etnik mana pun, agaknya hampir tidak ada yang disebut murni 100%. Semuanya 
adalah buah campuran padu dari berbagai unsur dalam dan luar.  Halnya berbeda 
dengan penggunaan bahasa Indonesia yang kosakatanya digadokan dengan 40-50% 
bahasa asing, terutama bahasa Inggris, karena dunia pendidikan kita lebih 
American oriented [berorientasi ke Amerika].  Bedanya bahasa Indonesia 
gado-gado begini bukanlah campuran yang padu.


Berkembangnya sastra-seni daerah akan memberi masukan-masukan baru kepada 
sastra-seni berbahasa Indonesia dan yang seni yang "kontemporer".  Jangan untuk 
tingkat nasional Indonesia, untuk tingkat internasional, hal ini pun berlaku. 
Misalnya Antonin Artaud, tokoh teater Perancis, mendapat ilham dari seni drama 
Bali. Picasso mendapat inspirasi dari seni-lukis Papua, ketika di Paris 
diselenggarakan pameran seni lukis Papua.


Untuk bahasa Indonesia sendiri, berkembangnya bahasa lokal, paling tidak akan 
memperkaya kosakata bahasa nasional seperti yang sudah berlangsung. Misalnya: 
"interview" di bahasa-indonesiakan menjadi "wawancara", dan banyak contoh 
lainnya. Mengapa pertama-tama, jauh-jauh mencari kosakata bahasa asing Barat 
untuk mengungkapkan hal-hal yang sudah tersedia di wilayah negeri kita? Apakah 
merasa kurang mengangkat derajad diri? Jika demikian, apa nama pandangan begini 
jika bukan mengandung rasa rendah diri sebagai manusia Indonesia? Sungguh 
menggelikan di kalangan lapisan menengah kita, terutama,  mendengar kata 
"anda", "saudara", "kau", diganti dengan "you". Saban mendengar dan berada di 
lingkungan begini, bulu kudukku  merinding sekaligus malu. Betapa kita tidak 
bisa menghormati martabat dan harga diri sendiri. Merasa mentereng dan naik 
prestisenya jika sudah bisa nrocos dalam bahasa asing. Menguasa bahasa-bahasa 
asing memang diperlukan tapi bukan menjadikan diri kehilangan martabat , harga 
diri dan menjadi rendah diri. Barangkali di sini mantan PM Singapura, Lee  
Kwanyu benar ketika mengatakan bahwa "tidak ada yang memalukan menjadi 
Tionghoa".  Apa yang memalukan menjadi Indonesia? Persoalan yang dihadapi orang 
Indonesia, keadaan Indonesia yang berada di ujung tanduk sekali pun, 
seniscayanya membuat manusia Indonesia lebih bertekad menjadi Indonesia dengan 
kesanggupan mengatasi persoalan-persoalannya secara aspiratif dan tanggap zaman 
sehingga sembuh dari "orang sakit Asia Tenggara". Nilai keindonesiaan dan 
kemanusiaan, justru terletak pada kemampuan mengatasi masalah .


Berkembangnya sastra-seni lokal, justru sesuai dengan konsep "bhinneka tunggal 
ika", republik dan Indonesia.  Konsep-konsep "bhinneka tunggal ika", "republik 
dan "Indonesia", kukira padan atau rasuk dengan konsep sastra-seni kepulauan. 
Terwujudnya sastra-seni kepulauan bisa diharapkan akan memberi landasan budaya 
bagi kehidupan berbangsa, bernegeri dan bernegara. Malangnya konsep-konsep 
begini, agaknya terpinggir sejalan dengan berlakunya untuk sekian lama konsep 
NKRI yang dipadankan dengan negara sentralistis.


Membaca  berita yang dikirimkan oleh Donny Anggoro di atas, aku hanya berharap 
bahwa kegiatan memperingati Firman Muntaco kali ini, merupakan awal dari usaha 
sadar mengangkat kembali serta mengembangkan sastra-seni lokal sesuai konsep 
republik, berkindonesiaan dan bhinneka tunggal ika. Peringatan ini menjadi 
lebih penting lagi, pada saat ada usaha mengsyariat-islamkan Indonesia dan 
Republik. Benarkah konsep Republik dan Indonesia, bhinneka tunggal ika sudah 
tidak aspiratif, tidak tanggap dan kadaluwarsa ataukah mereka sudah tidak kita 
gubris saja dan sudah kita lupakan karena kepongahan kepentingan "mayoritas" 
yang lupa diri dan tidak mengindahkan kehadiran  minoritas serta orang lain? 
"Tuhan tidak perlu pembelaan", ujar Gus Dur. Tapi sungguh "Kasihan Tuhan 
diperalat", termasuk diperalat untuk menghancurkan Republik dan Indonesia. 


Barangkali dalam keadaan begini, daerah-daerah bisa digantungkan harapan untuk 
menyelamatkannya, hingga Republik dan Indonesia masih merupakan nama bagi esok 
kita. Kita! Bukan Aku!


"...  jangan tentang lagi aku " ujar Chairil Anwar dalam puisinya "Kepada 
Peminta-Minta".*** 



Paris, Agustus 2006.
---------------------------
JJ. Kusni







[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke