http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/082006/09/0901.htm


Negeri Segudang Paket Ekonomi
Oleh H. EDDY JUSUF  


PEMERINTAH kembali menelurkan sejumlah paket kebijakan ekonomi, kali ini paket 
kebijakan pada sektor keuangan dalam bentuk surat keputusan bersama (SKB) 
antara Menko Perekonomian, Gubernur Bank Indonesia, Menteri Keuangan, dan 
Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara. Paket tersebut bertujuan untuk 
mendorong pertumbuhan ekonomi, terdiri dari 14 kebijakan, 34 program, dan 55 
tindakan yang tiada lain untuk meningkatkan koordinasi antara pemerintah dan 
Bank Indonesia sebagai otoritas fiskal dan moneter, serta memperkuat industri 
perbankan, lembaga keuangan nonbank, dan pasar modal. 

Paket ini dimaksudkan untuk melengkapi dua paket kebijakan sebelumnya yaitu 
Paket Perbaikan Iklim Investasi dan Paket Percepatan Pembangunan Infrastruktur 
yang telah diterbitkan pada awal tahun ini. 

Secara garis besar, paket ini terdiri dari lima kelompok kebijakan yakni 
stabilitas sistem keuangan, lembaga keuangan perbankan, lembaga keuangan 
nonbank, pasar modal, dan lain-lain yang berisi pembetukan komite privatisasi 
dan penyusunan blue print strategi privatitasi. 

Janji pemerintah juga akan berupaya untuk perbaikan infrastruktur pasar dan 
kelembagaan, peningkatan aksesibilitas pelaku usaha terhadap pasar modal, dan 
penyempurnaan struktur sektor keuangan yang lebih kuat, seimbang, dan 
stabilitas makroekonomi yang berkesinambungan. 

Sebelumnya pada Maret lalu, (Kamis, 2/3), pemerintah mengeluarkan Paket 
Kebijakan Investasi yang isinya mencakup berbagai langkah yang akan ditempuh 
pada tahun ini. Langkah-langkah tersebut setidaknya mencakup lima hal yakni 
umum, kepabeanan dan cukai, perpajakan, ketenagakerjaan serta UKMK. Di situ 
tertera siapa menteri yang bertanggung jawab terhadap target-target yang telah 
ditetapkan dan bertanggung jawab atas perubahan ekonomi nasional.

Untuk tindakan yang akan dilakukan pada bulan Juli ini termuat dalam kelompok 
kebijakan lembaga keuangan perbankan. Untuk lembaga keuangan perbankan, antara 
lain memperkuat lembaga keuangan perbankan melalui peningkatan kualitas biro 
kredit yang sesuai dengan standar internasional. Antara lain dengan melakukan 
kajian dan evaluasi sistem informasi dan penyusunan code of conduct operasional 
biro kredit melalui pelayanan dan implementasi produk biro kredit yang setara 
dengan standar internasional. 

Paket kebijakan ini memuat upaya peningkatan kinerja bank BUMN melalui kredit 
bermasalah bank BUMN. Seperti tindakan melakukan perubahan Peraturan Pemerintah 
No. 14/2005 tentang tata cara penghapusan piutang negara/daerah. Paket tersebut 
juga memuat mengenai tindakan melakukan perubahan Peraturan Menteri Keuangan 
No. 31/PMK.07/2005 tentang tata cara pengajuan usul, penelitian dan penetapan 
penghapusan piutang perusahaan negara/daerah dan piutang negara/daerah. 
Disebutkan pula dalam paket kebijakan sektor keuangan untuk stabilitas sistem 
keuangan sasaran yang ingin dicapai dari kebijakan dalam kelompok ini adalah 
peningkatan koordinasi antara otoritas fiskal dan moneter yang sudah semakin 
baik menyusul minikrisis yang terjadi pada kuartal keempat tahun lalu. 

Persoalannya apakah paket tersebut bermanfaat terhadap upaya peningkatan 
investasi? Apabila kita mencoba menganalisis paket-peket tersebut, ada beberapa 
hal yang mestinya dicermati terutama berkaitan dengan kredibilitas kepala 
negara, yakni pertama : Pada awalnya presiden enggan menandatangani paket 
kebijakan ekonomi dalam bentuk inpres. Tentunya bukan tanpa alasan bahwa paket 
semacam itu sama sekali tak ada manfaatnya. Yang dilematis adalah kredibilitas 
presiden di hadapan para menteri dan rakyat menjadi taruhannya. 

Presiden telah mengangkat Menko Perekonomian bertanggung jawab untuk 
mengoordinasikan berbagai hal yang bersifat lintas sektoral dan lintas menteri. 
Namun, kini seakan-akan tanggung jawab tersebut telah dilimpahkan kembali pada 
presiden. Seharusnya, paket ekonomi seperti itu merupakan komitmen atau janji 
dari Menko kepada presiden. 

Kedua, bila bercermin ke belakang, kala itu pemerintah masih di bawah 
bayang-bayang IMF, berbagai paket yang dikeluarkan melalui letter of intent 
(LoI) ternyata lebih sering tidak berguna dan bahkan menurunkan kredibilitas 
pemerintah. Sebanyak 1.200 item janji LoI ditandatangani, tetapi dari sudut 
kinerja ekonomi hampir dipastikan tidak memiliki dampak terhadap perubahan 
ekonomi yang segnifikan, di mana pertumbuhan tetap rendah, investasi tetap 
seret, pengangguran dan kemiskinan tetap tinggi. Bahkan, ketika LoI 
dipublikasikan reaksi pasar tetap saja dingin dan bahkan negatif. Berkaca dari 
hal itu, mestinya Menteri Perekonomian lebih bijaksana dalam merancang 
kebijakan. Secara realitas, reaksi sektor riil dan masyarakat butuh langkah 
nyata dari pemerintah untuk segera menuntaskan berbagai hambatan investasi. 

Ketiga, secara substansi paket yang muncul tersebut tidak mengandung hal-hal 
baru yang dapat dijadikan solusi reformasi ekonomi. Bila dicermati gagasan dan 
isinya hanyalah merupakan daftar kegiatan yang sebelumnya pernah dirilis sejak 
pemerintahan baru terbentuk. Artinya, kita hanya mendapatkan berbagai utang 
pekerjaan yang tertunda tanpa ada inisiatif mencari terobosan baru terhadap 
perubahan ekonomi. 

Keempat, selain itu pula terdapat butir-butir kebijakan yang secara historis 
telah gagal dilaksanakan pada pemerintahan sebelumnya. Coba lihat, adanya skema 
pengembangan kawasan industri untuk UKMK. Pada rezim Orba, skema pengembangan 
kawasan industri kecil itu banyak yang gagal. Sama halnya dengan skema kredit 
UKMK yang berujung pada kredit macet. Yang jadi pertanyaan, mengapa pemerintah 
tidak membicarakan hal-hal yang rasional untuk kebutuhan nyata dan dapat 
dirasakan langsung oleh rakyat? Dengan demikian, langkah apa yang diambil oleh 
para menteri merupakan ulasan kegagalan yang terulang pada pemerintahan saat 
ini. Rakyat kini butuh action yang nyata ketimbang laporan matriks kegiatan 
yang belum jelas keberhasilannya.

Kelima, kini permasalahan terus menggelembung sebab pemecahan dan solusinya 
banyak mengandalkan pada perubahan dalam peraturan dan pengaturan tanpa 
menyentuh masalah substansi. Misalnya, pada butir-butir mengenai kepabeanan. 
Masalah utamanya adalah bagaimana menegakkan peraturan (law enforcement) bukan 
menyesuaikan peraturan. Banyak barang yang seharusnya masuk jalur merah 
ternyata lolos begitu saja. 

Keenam, ada butir-butir kebijakan yang mengundang perburuan rente. Disebutkan 
bahwa akan ditetapkan barang-barang yang bebas PPN. Hal ini sangat mudah 
ditebak, kira-kira barang apa dan siapa yang memproduksi barang tersebut. 
Begitu juga penetapan jalur merah dan hijau dalam impor yang rawan akan lobi 
sekelempok pengusaha yang nakal dan memanfaatkan kelemahan tersebut.

Jika saja dapat turut mempertimbangkan semua itu, alangkah baiknya tim ekonomi 
pemerintah memberikan fokus pada kebijaksanaan tertentu dan projek utama 
tertentu yang dapat diselesaikan dalam waktu tertentu. Tentunya dengan 
menyadari keterbatasan sumber daya dan kemampuan birokrasi untuk 
melaksanakannya. Fokus seperti itu memang kelihatannya tidak komprehenshif, 
namun membuat perhatian tertuju pada kebijaksanaan tertentu. Sedangkan 
pendekatan projek banyak kelemahannya karena fokus perhatiannya adalah pada 
projek yang bersangkutan. Namun dengan berbagai keterbatasan, pendekatan projek 
menekankan pada aspek pelaksanaan dengan hasilnya (delivery) yang ukurannya 
bukanlah sekadar di atas kertas, namun hasil nyata.

Kebutuhan akan dukungan peraturan dilakukan sesuai dengan kebutuhan proyek yang 
bersangkutan sehingga cakupannya tidak terlalu luas. Penanggung jawab juga 
jelas dengan target dan jadwal waktunya. Jika pendekatan projek ini dapat 
berhasil dalam projek-projek penting, pengembangan kebijaksanaan yang lebih 
luas dapat dilakukan. Bukan seperti sekarang ini, pemerintah terlalu ambisius 
untuk menyiapkan seluruh perangkat kebijaksanaan baru kegiatan investasi dan 
pengembangan infrastruktur dapat berjalan, namun kemungkinan implementasinya 
sangat minim. 

Jika ini yang terjadi maka kekecewaan pelaku ekonomi dan masyarakat pada 
umumnya akan meningkat. Dengan kata lain pemerintah dapat saja membuat 
kebijaksanaan dan program yang luas, tetapi jika minim dalam pelaksanaannya, 
hanya akan mengecewakan banyak pihak. Sebenarnya ini yang tidak dikehendaki 
rakyat, dimana pemerintah banyak kerja, namun tanpa membuahkan hasil yang 
berarti buat kesejahteraan rakyat secara umum. 

Lebih menyesakkan lagi apabila kebijakan perekonomian nasional itu dilakukan 
oleh para pengambil keputusan tetap meletakkan ekonomi rakyat di pinggiran dan 
pada tataran retorika semata. Dan dipersepsikan bahwa hubungan pertumbuhan dan 
pemerataan sebagai trade off. Dengan demikian, berpihak pada ekonomi rakyat 
diartikan hanya menekankan pemerataan dan mengabaikan pertumbuhan. Persepsi ini 
harus dikritisi sehingga tidak muncul alur kesenjangan yang terus menganga 
antara kepentingan dan keberpihakan terhadap rakyat.***

Penulis, Pembantu Rektor I Unpas, Wakil Ketua LP3E Kadin Jabar.


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke