Surat Kembang Gunung Purei:
BEBERAPA KEJADIAN DI LANGLANG BUANAKU 2. Kedahsyatan rangkaian nilai yang sudah menjadi kekuatan material inilah yang dalam "Surat Kembang Gunung Purei" ini akan kuangkat beberapa secara kongkret sebagai contoh. Contoh yang kudapatkan dari langlangbuana meniti busur bumi. Nilai yang kumaksudkan di sini, terutama serangkaian nilai yang terkandung pada kata-kata Republik Indonesia. Dua kata yang karena tak terpisahkan maka kupandang sebagai kata jadian dan atau kata majemuk tak obah bagai "matahari". Dalam kata "republik" termuat wacana "kemerdekaan, kesetaraan dan persaudaraan" [liberté, égalité, et fraternité]. Serangkaian konsep, sederetan mimpi, dan cinta universal yang ingin diejawantahkan bermula dari kawasan geografis yang kita namakan Indonesia sebagai titik pijak darimana kita memanusiawikan bumi dan kehidupan sebagaimana juga tertuang dalam konsep manusia Dayak: "rengan tingang nyanak jata" [anak enggang putera-puteri naga]. Sedangkan di pihak lain, kata Indonesia itu sendiri, juga merupakan suatu rangkaian ide dengan titik berat pada kebhinnekaan, saling hormat di antara yang beragam-ragam itu . Saling bantu dan susup-menyusup, pengaruh-mempengaruhi, saling memberi dan menerima, saling dialog atas dasar keragaman itu untuk menjadikan diri masing-masing yang baru sesuai dengan keadaan lokal di alur semangat serta ide Sumpah Pemuda 1928 [Kongres Pemuda 1928 disertai juga oleh beberapa orang perwakilan pemuda dari etnik Dayak, terutama dari Kalteng]. Ide kebhinnekaan dalam artian demikianlah yang dijabarkan pada kata "Indonesia" [tanpa mempersoalkan asal-muasal kata ini, seperti halnya sejak 1991, orang Dayak tidak mengindahkan lagi dari kata Dayak itu bermula!]. Kebhninekaan menolak dominasi, apalagi pemaksaan oleh mayoritas, tanpa mengabaikan peran mayoritas. Menganggap NKRI yang sentralistis sebagai arti RI, kukira, sama dengan keangkuhan mayoritas, mengkhianati RI itu sendiri sebagai rangkaian nilai. Mayoritas yang angkuh, kukira, tidak akan ada, atau kalau pun ada, keangkuhan egoistiknya akan ditawar oleh nilai-nilai republiken dan berkindonesiaan. Republik Indonesia, kukira, merupakan pilihan dan program politik yang senicayanya diterapkan oleh siapa pun yang berada kekuasaan atau yang bertanggungjawab mengambil keputusan. Republik Indonesia sebagai rangkaian nilai yang punya dasar kenyataan dan budaya, tanggap dan aspiratif sampai sekarang, dalam pemahamanku, merupakan konsep indah dan agung dan masih tidak kadaluwarsa. Pengkhayatan, peresapan dan pengejawantahan wawasan ini oleh seluruh warganegara tentu bukan berlangsung dengan sendirinya. Barangkali di sinilah pendidikan di sekolah, di keluarga sebagai entitas [entity] terkecil masyarakat dan organisasi-organisasi masyarakat akan memainkan peranan menentukan. "Pendidikan di sekolah" alias pendidikan formal banyak ditentukan oleh politik pendidikan. Politik pendidikan banyak ditentukan oleh menteri pendidikan. Menteri pendidikan artinya pemegang kekuasaan politik dan atau pengambil keputusan. Yang terakhir ini, sebagai bagian dari "bangunan atas" [super structure] akan bersifat menentukan. Peran menentukan ini antara lain bisa kita lihat dari perbedaan dampak politik pendidikan pada anak didik pada masa pemerintahan Soekarno dengan "national character building" [pembinaan watak bangsa]-nya dan Soeharto dengan militerisme-nya [Aku selalu membedakan antara orang militer dengan militerisme. Tidak serta-merta orang militer adalah penganut militerisme!]. Dengan kebijakan "national character building" ini, pemerintahan Soekarno sebenarnya mencoba menjawab pertanyaan "apakah arti ber-republik dan berkindonesiaan? Apa arti menjadi warganegara RI". Dengan menggarisbawahi soal ini, Soekarno yang selain politisi, juga seorang penulis drama, pencinta sastra-seni dan penulis esai, agaknya memandang penting arti pembinaan manusia terhadap timbul tenggelamnya kemanusiaan, usaha pemanusiawian manusia, bangsa dan negeri [tanpa memasukkan negara]. Orang-orang yang lahir dan dewasa pada periode pemerintahan Soekarno, singkatnya , kunamakan "Manusia Indonesia Zaman Soekarno" [MIZS] . MIZS sadar benar akan harga diri, tahu arti martabat diri baik sebagai indvidu, sebagai anak manusia mau pun sebagai anak bangsa. Tak pernah terdengar dan terucap kata-kata "aku malu menjadi Indonesia". Aku sendiri, dalam perjalanan kapal ke Medan, bersama teman-teman dari berbagai asal etnik, merasakan kebanggaan menjadi Indonesia. Merasakan perbedaan asal etnik dan warna budaya sebagai suatu kekayaan. Teman-teman memanggilku tidak dengan nama pemberian orangtua tapi dengan kata "Dayak" sedangkan penyair Putu Oka Sukanta, kami panggil "Bali", Z.Afif alm. kami panggil "Keling", sedangkan adikku yang sekarang tinggal di Kanton, dipanggil "Cino". Mangunsong dipanggil "Batak", yang berdarah Arab kita panggil "Arab", dan sebagainya, dan sebagainya.... Panggilan-panggilan penuh keakraban, rasa sayang dan kebanggaan. Keragaman justru mengeratkan persatuan keindonesiaan di antara kami. Bukan sebagai pemecahbelah. Sedangkan keindonesiaan hanyalah salah satu warna dari keragaman anak bumi. Sejak itu aku mulai menafsirkan apa itu Dayak, Tionghoa, Jawa, etnik dan bangsa. Merenungnya aku sampai pada kesimpulan bahwa etnik dan bangsa hanyalah perbatasan semu bagi kemanusiaan. Jabaran yang dilahirkan oleh kondisi dan sejarah tertentu serta diperhitungkan benar. Terakhir aku bertemu dengan rumusan Paul Ricoeur, filosof Perancis, bahwa "kemanusiaan itu tunggal". Universalisme, apakah bukannya tunggalnya kemanusiaan sementara keragaman budaya yang di mana pun terdapat adalah alami. Menyeragamkan kebhinnekaan ini sama dengan meletakkan tubuh di rel kereta-api sejarah yang sedang melaju. Apakah di Indonesia kita sekarang tidak ada kecenderungan bunuhdiri begini? Kepongahan pun adalah bentuk bunuh diri juga atau serupa tokoh Ah Q dalam cerita Lu Sin yang meredam kepahitan kegagalan, kekalahan serta ketidakberdayaannya dengan merasa diri selalu sebagai pemenang dan jagoan. Padahal ia hanyalah seekor cacing di periuk berisikan air panas kehidupan yang mendidih menggelegak. Lu Sin yang meninggalkan fakultas kedokteran dan pertambangan untuk menjadi penulis karena melihat permasalahan Tiongkok pada zamannya [1930an] adalah masalah pola pikir dan mentalitas yang sakit parah. Penyakit Indonesia hari ini pun, kukira sama dengan penyakit Tiongkok di zaman Lu Sin yang di Tiongkok pada masa Revolusi Besar Kebudayaan Proletar [1966an] digelari "panglima budaya Tiongkok". Tapi apakah benar, bahwa Indonesia kita sekarang, Indonesia di tahun 2006, masih berada pada zaman Ah Q , 76 tahun lalu atau sedang didorong ke Abad Tengah tapi dalam pakaian baru seraya memerosotkan Tuhan menjadi babu dan jongos kekinian, perisai dari segala ulah, menjelma sebagai tokoh tragedi komik lebih di bawah dari peran Petruk dan Gareng di adegan goro-goro ? Cesar yang dikhianati Brutus, dan Indonesia adalah salah satu arena terbuka di mana pertunjukkan berdarah Brutus digelarkan? Barangkali, kita, bangsa kita, angkatan hari ini, memang angkatan Malinkundang secara totalitas. Malin Kundang anak globalisasi kapitalis, "anak durhaka", budak "uang sang raja". Malin Kundang bukan pencari nilai dan pemburu makna serta hakekat, tapi adalah tokoh yang sanggup membudak "banda"--[ bahasa Jawa] di mana harga diri dan martabat ditakar oleh "banda" buruan itu. Tak kebetulan jika Grup Gumarang mengatatakan: "Malin Kundang anak durhaka". Dalam kaitan ini barangkali, kita adalah Malin Kundang terhadap RI sehingga RI " seperti telur berada di ujung tanduk". Dan karenanya RI menjadi negara si Malin Kundang -- tokoh tipikal yang dilahirkan oleh lingkungan sistem nilai ekonomi dagang primer setingkat pada masa Negeri Belanda jadi negara maritim pertama di dunia. Bahkan merkantilisme. Jangankan manusia secara umum, dengan pola pikir dan mentalitas Malin Kundang, bahkan ibu kandung sendiri, jadi tak punya arti dibandingkan dengan uang [banda] bagi si Malin Kundang. Bagi Malin Kundang uang [banda] adalah nomor pertama, manusia berada di deretan penghabisan. Demi "banda" segalanya sah dan benar. "Banda" adalah gantang penakar nilai dan keberhasilan manusia, ini pun jika dengan gantang penakar nilain begini, manusia masih bisa disebut manusia. Sepadan dengan jalan pintas "banda-isme" ini yang mengungkapkan dalam bentuk KKN, kekerasan, ketidaktoleransi, pemaksaan, paternalisme, eksploatasi erotisme dan atau seks dalam sastra atas nama kesetaraan lelaki-perempuan, atas nama pemberontakan terhadap penindasan perempuan [yang di Perancis baru disebut sampai pada tingkat "the second sex" belum melangkah ke, apalagi tiba di "the third sex"]. Bukan tidak terjadi bahwa yang menyebut dan menganggap diri sebagai feminis, dilihat secara hakekat dan kenyataan berada jauh dari tujuan feminisme secara tidak sadar. Malin Kundang tokoh dominan zaman kita. Apakah keadaan Indonesia sekarang yang dilanda krisis majemuk beruntun, bukannya karena khianat dan nilai anutan Malin Kundang, yang bukan tokoh kelas menengah, disanjung di negeri kita, sebagai agen demokratisasi tapi sebenarnya lebih dekat kepada sikap opotunis, penjual segala termasuk diri sendiri. Malin Kundang bukan tokoh model Kraeng Galesong, pemimpi berdarah laut, yang kalah di darat melanjutkan pertempuran di laut demi harga diri, martabat dan kemerdekaan. Kraeng Galesong dan Malin Kundang, dua tokoh berbeda jiwa, pola pikir dan mentalitas. Jika sekarang Indonesia didominasi Malin Kundang, tidak kukatakan Kraeng Galesong adalah busa sungai dan buih ombak hilang di pantai. Kraeng Galesong adalah bunga mei musim dingin, adalah cemara dan bambu tak tergertak musim. Kraeng Galesong pun adalah ombak yang tak henti berdebur, angin yang tak punya istirah. Nilai Yesus tak berakhir di salib. Nilaimanusiawi tak tersungkur di batu nisan di bawah epitaf. Aku melihat RI, sebagai rangkaian nilai ada pada Kraeng Galesong dan tidak pada Malin Kundang, "anak durhaka" yang silau "banda" tega khianati bunda. Durhaka memang lebih gampang daripada setia makna manusiawi. Malin Kundang berjalan di satu alur dengan Tunggul Ametung dan Ken Arok serta Soeharto. Wajah dominan jiwa Indonesia kekinian yang tak segan mendurhakai ibu kandungnya, apalagi sanak saudara dan teman akrab. Tunggul Ametung, Ken Arok dan Soeharto adalah Brutus Indonesia. RI adalah pergulatan antara kelompok Kraeng Galesong dan temannya Troenajaya melawan kelompok Ken Arok dan Soeharto. Sebelum sampai kepada apa yang sesungguhnya ingin kukatakan melalui "Surat Kembang Gunung Purei " kali ini, aku masih memberi komentar pada hasil penelitian Tri Nuke Pujiastuti MA , peneliti Politik LIPI, yang "menilai, nasionalisme bangsa Indonesia semakin menurun dengan makin tingginya eufaria kedaerahan, kelompok, dan keagamaan" [lihat: Lampiran]. Komentar akan kuberikan karena masih terkait dengan apa yang sebenarnya jadi soal inti ingin kusampaikan. Apalagi pendapat Tri Nuke Pujiastuti MA, sekali pun atas nama "hasil penelitian" LIPI, yang pernah mau dijatuhi hukuman adat oleh Masyarakat Adat Dayak Kalimantan Tengah karena hasil "penelitian ilmiah"nya, bukan pula pendapat baru, dan masih ada tautannya dengan inti yang ingin kusampaikan. Paris, Agustus 2006. JJ. Kusni Lampiran: Sumber: Gatra Jakarta, 8 Agustus 2006 10:44 Peneliti Politik LIPI Tri Nuke Pujiastuti MA menilai, nasionalisme bangsa Indonesia semakin menurun dengan makin tingginya euforia kedaerahan, kelompok, dan keagamaan. "Ini kemerosotan kebangsaan, padahal kita hidup dalam negara pluralis yang berbeda suku, budaya, bahasa, beda agama, dan perbedaan lainnya," katanya di Jakarta, Senin. Menjelang hari ulang tahun ke-61 Republik Indonesia pada 17 Agustus ini, ujarnya, bangsa ini seharusnya merenungkan diri untuk memperkuat wawasan kebangsaan daripada kepentingan daerah atau kelompok. Untuk memperjuangkan kepentingan bangsa pun, lanjut dia, adalah sangat lemah jika berpijak pada kepentingan kelompok, dan jauh lebih kuat kalau berpijak pada kepentingan bangsa. "Misalnya ketika mengutuk Israel, akan lebih kuat jika yang diperjuangkan adalah nilai-nilai universal seperti pelanggaran Hak Asasi Manusia yang memang sudah menjadi nilai-nilai bangsa ini dan telah tercantum pada UUD 1945 misalnya," katanya. Di era globalisasi, urainya, nasionalisme juga jangan diartikan sempit dengan hanya berupaya menjaga bangsanya dari pengaruh asing secara berlebihan, karena masuknya pengaruh asing tak akan bisa dicegah. "Tidak bisa kita menolak mentah-mentah semua yang dari luar, tetapi yang penting adalah bagaimana kita menyaring apa yang baik-baik saja dan membuang yang buruk-buruk," katanya. Menurut dia, soal nasionalisme esensinya bukan dikotomi antara sesuatu yang dari luar atau sesuatu dari dalam sendiri, tetapi apakah sesuatu itu bermanfaat atau tidak bagi bangsa, kalau tidak mensejahterakan atau malahan membuat bangsa ini makin terpuruk, seharusnya ditolak saja. *[TMA, Ant]* [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/