BINGO!
you got his POINT dear!

emang paling susah ngmongin agama....
semuanya berpikir bahwa ADA YANG SALAH dengan agama orang lain.




--- In ppiindia@yahoogroups.com, "RM Danardono HADINOTO"
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Mas Nizami: ""Orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari
> jalan Allah, Allah menyesatkan perbuatan-perbuatan mereka...."
> 
> Lho piye to? Kafir = non Islam, jadi Kristen, Yahudi, Hindu, Hindu 
> Bali, Buddha, Konghucu, Sikh, dll. Ini semua akan disesatkan Allah? 
> 
> ??????????????????????????????????
> 
> 
> 
> 
> 
> --- In ppiindia@yahoogroups.com, carla annamarie kneefel 
> <carla_annamarie17@> wrote:
> >
> > pak Nizami,
> >    
> >   bagaimana dgn laki2 yg berpakaian ala gigolo, pake kaos ketat, 
> celana panjang ketat or celana boxer...or maybe laki2 cuman pake 
> handuk doang..klo dlihat dr generalisasi pasal2 perda tsbt..boleh 
> dunk laki2 itu di asumsikan sbg pelacur...
> >    
> >   pelacur bukan cuman perempuan aja..pak..laki2 juga banyak..., 
> tapi knp yg kena tangkap, di undang-undangin cuma perempuan aja..., 
> malah sekarang pelacur laki2 gak kalah jumlahnya drpd perempuan....
> >    
> >   pelacuran itu sama tuanya dgn peradaban manusia, baik laki2 
> maupun perempuan merupakan komoditi..., ada permintaan makanya ada 
> penjualan..., mestinya pelaku2 pelacuran tersebut di berikan 
> edukasi, and bimbingan spritual, apakah dgn diberlakukan perda akan 
> menghambat atau mematikan arus perdagangan seks tsbt...
> >   contoh aja iran..banyak praktek pelacuran terselubung, and lihat 
> aja perilaku seks orang2 arab yg pusing nahan nafsunya di negnya 
> malah hijrah ke indo utk pelampiasan nafsu bejatnya...
> >    
> >   ditambah lagi dengan adanya diskriminasi gender menunjukkan 
> penggagas atau konseptor perda2 tsbt  tidak peka dan bodoh secara 
> hukum, sehingga melahirkan perda2 yang memiskinkan harkat n martabat 
> perempuan.., perda2 tesebut adalah legitimasi patriarkhi dan 
> kepentingan politik kelompok tertentu.
> >    
> >    
> >    
> >    
> >   
> > 
> > Free Thinker <freethinker_may@> wrote:
> >           Tidak ada peraturan di Indonesia yang mendukung 
> pelacuran. Indonesia bukan Belanda yang melegalkan pelacuran.
> > Tapi kalau ada peraturan yang bersikap diskriminatif terhadap 
> perempuan dan memberi peluang bagi aparat yang tak becus menuduh 
> perempuan yang bekerja malam sebagai pelacur, tentu saja harus 
> ditinjau ulang. 
> > 
> > Anda jangan menyesatkan: "Menentang perda = mendukung pelacuran", 
> padahal bukan begitu esensinya. Kesimpulan Anda dungu. 
> > 
> > Itu kan sama saja dalil Anda (dan banyak orang yang tak mengerti 
> esensi perundangan) menuduh orang yang "Menolak RUU APP = mendukung 
> pornografi", padahal jelas bukan begitu maksudnya. Ini juga 
> kesimpulan yang tak kalah dungunya. 
> > 
> > Hapuskan Perda2 diskriminatif, karena perempuan dan laki-laki sama 
> hak dan kedudukannya di mata hukum.
> > 
> > A Nizami <nizaminz@> wrote:
> > Saya menyayangkan jika ada orang yang berusaha
> > menghalang-halangi kebenaran dan mendukung kesesatan,
> > kemaksiatan, atau kejahatan seperti
> > pelacuran/perzinahan.
> > 
> > "Orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari
> > jalan Allah, Allah menyesatkan perbuatan-perbuatan
> > mereka.
> > Dan orang-orang mukmin dan beramal soleh serta beriman
> > kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah
> > yang haq dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan
> > kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan
> > mereka.
> > Yang demikian adalah karena sesungguhnya orang-orang
> > kafir mengikuti yang bathil dan sesungguhnya
> > orang-orang mukmin mengikuti yang haq dari Tuhan
> > mereka. Demikianlah Allah membuat untuk manusia
> > perbandingan-perbandingan bagi mereka." [Muhammad:1-3]
> > 
> > Jika ada aturan yang kurang sempurna misalnya
> > pelarangan pelacuran hanya menunjuk pada pelaku wanita
> > saja, seharusnya diperbaiki dengan melarang pelacuran
> > dilakukan oleh siapa pun baik pria atau wanita. Bukan
> > justru mendukung pelacuran itu sendiri. Dalam Islam
> > pelacuran baik oleh wanita mau pun pria itu dilarang.
> > 
> > Realita juga menunjukkan pelacuran itu merupakan satu
> > bentuk perselingkuhan, penyebaran penyakit kelamin
> > seperti herpes, AIDS, rajasinga, dsb serta menimbulkan
> > lahirnya anak di luar nikah yang sering diikuti dengan
> > pengguguran atau aborsi.
> > 
> > Oleh karena itu gerakan mendukung pelacuran atau
> > menentang pelaksanaan syariah Islam di mana mayoritas
> > wakil rakyat telah menyetujui adalah satu bentuk
> > tirani minoritas yang tidak demokratis.
> > 
> > --- "Amir S. Dewana" <Amir.Dewana@>
> > wrote:
> > 
> > > 
> > > ----- Original Message ----- 
> > > From: R. Husna Mulya 
> > > To: [EMAIL PROTECTED] 
> > > Sent: Monday, August 14, 2006 10:02 PM
> > > Subject: [hrwg] *Perda2 Diskriminatif, Tulisan 2*
> > > (sebarluaskan)
> > > 
> > > 
> > > Kebijakan Daerah Diskriminatif
> > > (Suatu Langkah Mundur dalam Upaya Perlindungan
> > > Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia)
> > > 
> > > 
> > > Pengantar
> > > 
> > > Fenomena maraknya penerapan berbagai kebijakan
> > > daerah yang meresahkan masyarakat karena mengandung
> > > rumusan yang diskriminatif dan berpotensi pada
> > > munculnya ketidak pastian hukum, setidaknya dapat
> > > menjadi gambaran akan adanya ancaman serius terhadap
> > > integritas hukum nasional. Pasca penerapan otonomi
> > > daerah, otoritas derah mengalami euphoria untuk
> > > dapat mengelola pemerintahan daerahnya sesuai dengan
> > > ciri khas kedaerahan dan kondisi wilayahnya
> > > masing-masing, setelah sekian puluh tahun terikat
> > > pada sistem pemerintahan yang terpusat
> > > (sentralistik). Sayangnya, semangat yang
> > > sesungguhnya positif menjadi berbeda dalam tataran
> > > pelaksanaannya karena adanya kepentingan-kepentingan
> > > politik kelompok tertentu ataupun individual yang
> > > memanfaatkan momentum ini demi kepentingan diri
> > > ataupun kelompoknya.
> > > 
> > > Munculnya berbagai kebijakan daerah yang mengatur
> > > cara berpakaian sesuai dengan aturan kelompok
> > > tertentu misalnya; merupakan suatu bentuk
> > > pelanggaran atas hak seseorang untuk mempunyai
> > > pemikiran berdasarkan nilai-nilai yang mereka anut,
> > > dan mengekpresikannya lewat cara berpakaian. Dalam
> > > hal ini, kebijakan tentang cara berpakaian tidak
> > > menghargai keaneka aragaman budaya dan nilai-nilai
> > > yang dianut masyarakat Indonesia. Tidak sedikit pula
> > > kebijakan daerah yang masih diskriminatif terhadap
> > > perempuan, misalnya kebijakan yang melarang
> > > perempuan untuk keluar malam (pada jam-jam tertentu)
> > > (Perda Gorontalo No. 10/2003 tentang Pencegahan
> > > Maksiat) , atau yang melekatkan perempuan pada
> > > status tertentu sebagai pelanggar suatu bentuk
> > > pidana. Misalnya pelacur adalah berjenis kelamin
> > > perempuan, sebagaimana yang tertera dalam Perda
> > > Indramayu No. 7 /1999 tentang Prostitusi " Pelacuran
> > > adalah suatu perbuatan dimana seorang perempuan
> > > menyerahkan dirinya untuk berhubungan kelamin dengan
> > > lawan jenisnya dan menerima pembayaran baik berupa
> > > uang maupun bentuk lain". 
> > > 
> > > Rumusan Kebijakan Daerah yang Bertentangan dengan
> > > Prinsip-Prinsip Hukum Umum
> > > 
> > > Berdasarkan analisis terhadap 17 (tujuh belas)
> > > kebijakan daerah, berikut ini adalah bentuk-bentuk
> > > pelanggaran atas prinsip-prinsip hukum umum yang
> > > dilanggar dalam beberapa Kebijakan Daerah :
> > > 
> > > 1. Azas Praduga Tak Bersalah (Presumption of
> > > Innocence)/ Obyektifitas Hukum;
> > > Azas ini merupakan azas universal dalam proses
> > > penegakan hukum. Bahwa tidak ada seorang pun dapat
> > > dinyatakan bersalah (melanggar suatu aturan hukum)
> > > sebelum dibuktikan di hadapan pengadilan yang
> > > berwenang. Azas ini juga menjadi dasar dalam
> > > perumusan suatu delik, bahwa dalam merumuskan suatu
> > > perbuatan yang akan dikualifikasi sebagai suatu
> > > tindak pelanggaran hukum (pidana), rumusan tersebut
> > > harus jelas dapat menunjukkan antara lain adanya;
> > > (i) kesengajaan/opzet; atau (ii)dengan
> > > maksud/oogmerk; atau (iii) kelalaian/culpa dan atau
> > > menunjukkan adanya sifat (i)melawan hukum; (ii)
> > > tanpa memiliki kewenangan untuk itu; (iii) tanpa
> > > ijin; dan (iv) dengan melampauai batas
> > > kewenangan.[1] 
> > > 
> > > Pelanggaran atas prinsip tersebut baik dalam rumusan
> > > peraturan maupun dalam penegakan hukum acaranya
> > > berpotensi menimbulkan ketidak pastian hukum, karena
> > > ketiadaan acuan obyektif dalam penegakannya. Pada
> > > beberapa kebijakan daerah, telah teridentifikasi
> > > adanya pelanggaran terhadap prinsip ini baik dalam
> > > rumusan maupun dalam tataran penegakannya sebagai
> > > contoh adalah rumusan delik berikut :
> > > 
> > > " Setiap orang yang sikap atau perilakunya
> > > mencurigakan sehingga menimbulkan suatu anggapan
> > > bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di
> > > jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah
> > > penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah
> > > penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat
> > > hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut
> > > jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat
> > > lain di daerah "
> > > (Ps. 4, Perda Tangerang No.
> > > 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran)
> > > 
> > > Pertanyaan yang patut diajukan dalam
> > > rumusan ini adalah : Sikap, atau perilaku yang
> > > seperti apa yang dapat, atau sepatutnya dapat
> > > menimbulkan suatu anggapan bahwa seseorang itu
> > > pelacur, dalam rumusan delik ini ?. Jawabannya tidak
> > > jelas, karena rumusan tersebut tidak menguraikan
> > > sikap tindak yang dapat dianggap sebagai perbuatan
> > > pelacur dimaksud. 
> > > 
> > > Dengan demikian, peraturan ini tidak memberikan
> > > acuan yang jelas tentang perbuatan apa yang dapat
> > > dikualifikasi sebagai perbuatan pelacur. Dalam
> > > penegakannya, ketiadaan acuan akan memicu sikap
> > > subyektif dari aparat penegak hukum yang pada
> > > akhirnya dapat berakibat kesalahan dalam proses
> > > penegakan. Contoh yang paling mutakhir adalah kasus
> > > salah tangkap yang terjadi pada beberapa orang
> > > perempuan di Kabupaten Tangerang, pada saat aparat
> > > melakukan razia dalam rangka pelaksanaan Perda
> > > Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan
> > > Pelacuran. Dalam hal ini fakta telah menunjukkan
> > > potensi pelanggaran atas asas praduga tak bersalah
> > > yang diakibatkan rumusan perda yang tidak memenuhi
> > > prinsip-prinsip hukum umum.
> > > 
> > > Rumusan serupa dengan Perda Tangerang No. 8 Tahun
> > > 2005 tentang Pelarangan Pelacuran, terdapat pada
> > > beberapa perda berikut :
> > > 
> > > Ù "Siapapun yang kelakuannya/tingkah lakunya
> > > dapat menimbulkan dugaan bahwa ia pelacur dilarang
> > > ada di jalan-jalan umum, lapangan-lapangan, dirumah
> > > penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk,
> > > kontrakan, warung-warung minum, tempat hiburan,
> > > digedung tempat tontonan, disudut-sudut jalan atau
> > > lorong-lorong, berhenti, atau berjalan kaki
> > > berkendaraan bergerakkian kemari "(Ps. 6 Peraturan
> > > Daerah Kabupaten Indramayu No. 4 Tahun 2001 tentang
> > > Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kabupaten Daerah
> > > Tingkat II Indramayu Nomor 7 Tahun 1999 tentang
> > > Prostitusi)
> > > 
> > > Ù "Siapapun yang karena tingkah lakunya
> > > menimbulkan anggapan bahwa ia itu pelacur, tidak
> > > diperbolehkan berhenti atau mondar-mandir, baik
> > > mempergunakan kendaraan umum maupun tidak, dimuka
> > > atau didekat rumah penginapan, pesanggrahan, rumah
> > > makan, asrama...dan tempat-tempat umum lainnya"
> > > (Rancangan Peraturan Daerah Kota Mataram
> > > Nomor.Tahun. tentang Pencegahan Maksiat)
> > > 
> > > Ù "Setiap orang ..dilarang:
> > > a. melakukan segala sesuatu yang
> > > mengarah para perbuatan maksiat.
> > > b. Melakukan perbuatan yang dapat
> > > merangsang orang lain ikut serta dalam perbuatan
> > > maksiat " (Peraturan daerah Propinsi Sumatra Selatan
> > > Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Maksiat di
> > > Propinsi Sumatra Selatan).
> > > 
> > > 2. Suatu aturan hukum haruslah mengemban
> > > amanat "kedudukan yang sama dalam hukum" (equality
> > > before the law) hal ini tidak hanya sekedar berlaku
> > > pada saat proses penegakan hukum melainkan juga
> > > dalam setiap rumusan peraturan, sehingga dapat
> > > dihindarkan timbulnya perilaku yang diskriminatif 
> > > dalam bentuk pembedaan apapun seperti warna kulit,
> > > jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau
> > > pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial,
> > > kepemilikan, keturunan atau status
> > > lainnya[2].Apabila prinsip ini dilanggar, hukum
> > > tidak akan dapat mencapai cita-citanya untuk
> > > menegakkan keadilan. 
> > > 
> > > Pada beberapa perda terdapat rumusan yang secara
> > > nyata diskriminatif khususnya terhadap perempuan
> > > yang dapat terlihat dalam rumusan beberapa perda
> > > sebagai berikut:
> > > 
> > > Ù "Pelacuran adalah suatu perbuatan
> > > dimana seorang perempuan menyerahkan dirinya untuk
> > > berhubungan kelamin dengan lawan jenisnya dan
> > > menerima bayaran baik berupa uang maupun bentuk lain
> > > " (Ps. 6 Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu No. 4
> > > Tahun 2001 tentang Perubahan Pertama Peraturan
> > > Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu Nomor 7
> > > Tahun 1999 tentang Prostitusi)
> > > 
> > > Ù "Setiap perempuan dilarang berjalan
> > > sendirian atau berada di luar rumah tanpa ditemani
> > > muhrimnya pada selang waktu pukul 24.00 sampai
> > > dengan pukul 04.00, kecuali dengan alasan yang
> > > dapat dipertanggung jawabkan"(Perda Gorontalo Nomor
> > > 10 Tahun 2003 tentang Pencegahan Maksiat)
> > > 
> > > Ù "Setiap orang .dilarang :
> > > h. bagi wanita berpakaian minim terbuka pada bagian
> > > tubuh mulai dari dada sampai lutut dan berpakaian
> > > transparan sehingga terlihat jelas bagian-bagian
> > > tubuh dari luar pakaian itu ditempat umum (Peraturan
> > > daerah Propinsi Sumatra Selatan Nomor 13 Tahun 2002
> > > tentang Pemberantasan Maksiat di Propinsi Sumatra
> > > Selatan)
> > > 
> > > Perempuan, dalam contoh perda pertama, perempuan
> > > ditempatkan dalam asumsi negatif sosial budaya
> > > berkaitan dengan seksualitasnya yang selama ini
> > > dipandang sebagai obyek. Sehingga dengan mudahnya
> > > perda ini melekatkan identitas pelacur dengan jenis
> > > kelamin perempuan. Dalam contoh perda yang kedua,
> > > perempuan berada dalam suatu bentuk diskriminasi
> > > berupa pembatasan yang berhubungan dengan hak dan
> > > kebebasan perempuan, yang selama ini mewujud dalam
> > > berbagai tindakan seperti pembatasan jam kerja,
> > > pembatasan mobilitas, pembatasan cara berpakaian dan
> > > penampilan penempatan kerja atau pemindahan kerja
> > > yang dikaitkan dengan ijin suami atau wali[3], dll.
> > > 
> > > Pembiaran atas keberadaan kebijakan-kebijakan daerah
> > > yang diskriminatif terhadap perempuan ini,
> > > berpotensi melanggengkan diskriminasi terhadap
> > > perempuan yang selama ini terjadi dan tengah
> > > diperjuangkan untuk dihapuskan keberadaannya.
> > > Kondisi ini berarti juga suatu pelanggaran terhadap
> > > keberlakuan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang
> > > Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
> > > Perempuan (CEDAW).
> > > 
> > > Selain diskriminasi terhadap perempuan, beberapa
> > > perda juga menunjukkan sikap diskriminatif terhadap
> > > kelompok preferensi seksual (homoseksual, lesbian,
> > > gay) dengan menempatkan kelompok tersebut sebagai
> > > suatu bentuk pelanggaran hukum, tanpa dasar
> > > kualifikasi pemidanaan. Dengan kata lain preferensi
> > > seksual tersebut sudah dianggap sebagai suatu
> > > pelanggaran hukum tanpa adanya perbuatan nyata
> > > sebagai pelanggaran hukum yang mendasarinya, dengan
> > > contoh berikut :
> > > 
> > > Ù "Termasuk dalam perbuatan
> > > pelacuran adalah :
> > > a. homoseks
> > > b. lesbian..."
> > > (Perda Kota Palembang No. 2
> > > Tahun 2004 tentang Pemberantasan Pelacuran)
> > > 
> > > Ù "Setiap orang atau badan dilarang
> > > membentuk dan atau mengadakan perkumpulan yang
> > > mengarah kepada perbuatan asusial dan secara
> > > normatif tidak bisa diterima oleh budaya masyarakat.
> > > Penjelasan : Perkumpulan dimaksud dalam ayat ini
> > > misalnya perkumpulan atau organisasi kaum lesbian,
> > > homoseks (gay) dan sejenisnya"
> > > (Perda kota Batam no. 6 Tahun 2002 tentang
> > > Ketertiban Sosial di Kota Batam)
> > > 
> > > Ù "Termasuk perbuatan maksiat,
> > > segala perbuatan yang dapat merusak sendi-sendi
> > > kehidupan bermasyarakat... Seperti :
> > > c. homoseks
> > > d. lesbian....
> > > (Perda Propinsi Sumatra Selatan No. 13 Tahun 2002
> > > tentang Pemberantasan Maksiat di Propinsi Sumatara
> > > Selatan)
> > > 
> > > Persoalan di seputar keberadaan kelompok homoseks
> > > dan sejenisnya ini memang masih menjadi masalah yang
> > > kontroversial tidak hanya di Indonesia namun juga di
> > > berbagai banyak negara lain. Namun dalam memandang
> > > preferensi seksual kaitannya dengan penegakan
> > > keamanan dan ketertiban, harus dipertimbangkan
> > > secara sungguh-sungguh apakah pilihan seksualitas
> > > seseorang cukup membuatnya dikatakan sebagai
> > > pelanggar aturan (pembuat onar, pembuat suasana
> > > tidak tertib) ataukan sebenarnya perbuatan-perbuatan
> > > yang mewujud sebagai perbuatan homoseksual yang
> > > dilakukan secara melawan hukumlah (dengan kekerasan,
> > > dengan orang dibawah umur, di hadapan umum, sebagai
> > > mata pencaharian/prostitusi) yang pantas dihukum.
> > > 
> > > Mengingat tujuan hukum bukan hanya sekedar keamanan
> > > dan ketertiban melainkan juga keadilan, ada baiknya
> > > menyimak pendapat seorang ahli hukum Jeshneck "
> > > tidak semua yang dilakukan dengan maksud-tujuan
> > > jelas, pasti memenuhi rasa keadilan" [4]. Jangan
> > > sampai kita berada dalam kondisi "more laws but less
> > > justice". Semakin banyak hukum tetapi semakin
> > > berkurang keadilan.
> > > 
> > > Bila mencermati rumusan pasal-pasal dalam beberapa
> > > perda sebagai contoh di atas, perda tersebut dibuat
> > > dengan maksud sebagai norma atau kaidah perintah dan
> > > larangan yang disertai sanksi. Dengan demikian dapat
> > > disimpulkan berdasarkan teori imperatif dalam
> > > dogmatika hukum pidana, perda tersebut berlaku
> > > sebagai hukum pidana yang berlaku secara lokal. 
> > > 
> > > Namun demikian, dalam pembentukan suatu hukum
> > > pidana, selain pemenuhan prinsip-prinsip hukum umum,
> > > ada begitu banyak hal yang harus dipertimbangkan
> > > oleh penguasa sebagai pembentuk hukum, apa yang
> > > harus dipertimbangkan dalam penerapan suatu kaidah
> > > hukum pidana. Antara lain pernyataan Merkel, seorang
> > > yuris Jerman (abad ke 19), mengatakan bahwa "tempat
> > > hukum pidana adalah selalu subsider terhadap upaya
> > > hukum lain. Pidana adalah dan akan tetap harus
> > > dipandang sebagai ultimum remedium. 
> > > 
> > > Pidana berlaku bagi ketidakadilan yang terjadi yang
> > > tidak lagi dapat ditanggulangi secara memadai oleh
> > > sarana-sarana (hukum) lain. Penguasa harus sadar dan
> > > waspada bahwa hukum pidana hanya dapat didayagunakan
> > > apabila sarana yang ada tidak lebih buruk
> > > dibandingkan dengan penyimpangan perilaku yang
> > > hendak ditanggulanginya[5]. Apalah artinya upaya
> > > untuk menghalangi suatu pelanggaran hukum bila upaya
> > > itu sendiri adalah suatu bentuk pelanggaran hukum.
> > > Hal ini mengingat, bahwa perbuatan yang
> > > dikategorikan sebagai kejahatan (tindak pidana)
> > > diberi reaksi pengenaan secara sengaja tindakan
> > > (balasan) yang dimaksudkan sebagai penjatuhan derita
> > > (terhadap pelaku) sekalipun (hal itu merupakan
> > > konsekuensi dari apa yang disebut sebelumnya)[6].
> > > Tindakan balasan oleh penguasa daerah dalam
> > > perda-perda mewujud dalam sanksi yaitu hukuman
> > > kurungan maksimal enam bulan hingga denda maksimal
> > > 15 juta rupiah.
> > > 
> > > Berkaitan dengan pemberlakuan suatu kaedah hukum,
> > > secara filosofis harus berlandasakan kepada 3 (tiga)
> > > hal sebagai berikut[7]:
> > > 
> > > 1. Hal berlakunya secara yuridis, yaitu:
> > > a) Kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis,
> > > apabila penentuannya didasarkan pada kaedah yang
> > > lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen);
> > > b) Kaedah hukum mempunyai kekuatan yuridis,
> > > jikalau kaedah tersebut terbentuk menurut cara yang
> > > telah ditetapkan (W. Zevenbergen)
> > > c) Kaedah hukum mengikat secara yuridis,
> > > apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu
> > > kondisi dengan akibatnya (J.H.A. Logemann)
> > > 2. Hal berlakunya secara sosiologis yang
> > > intinya adalah efektivitas hukum dalam masyarakat,
> > > yang dasarnya adalah kekuasaan dan pengakuan.
> > > 3. Hal berlakunya secara filosofis; artinya,
> > > kaedah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum
> > > sebagai nilai positif tertinggi.
> > > 
> > > Ketiga landasan tersebut dapat digunakan sebagai
> > > alat acuan untuk melihat apakah kebijakan daerah
> > > tersebut dapat berlaku secara hukum atau tidak, maka
> > > berdasarkan paparan di atas, secara mudah kita dapat
> > > menyimpulkan bahwa kebijkan-kebijakan yang diangkat
> > > sebagai contoh kasus dari hasil analisi di atas
> > > tidak memenuhi syarat keberlakuan sebagai kaidah
> > > hukum baik secara yuridis, sosiologis maupun
> > > filosofis.
> > > 
> > > 
> > > Kebijkan Daerah Non-Yuridis
> > > 
> > > Tidak semua kebijakan daerah yang dianalisis
> > > berbentuk norma hukum khususnya pidana, beberapa
> > > kebijakan yang dianalisis, berbentuk pedoman,
> > > himbauan dan anjuran, namun ada pula kebijakan yang
> > > berupa aturan perintah, namun tidak disertai sanksi,
> > > biasanya berbentuk surat keputusan bupati atau
> > > sejenisnya. Secara yuridis, sudah pasti kebijakan
> > > ini tidak memiliki kekuatan mengikat namun, secara
> > > antropologis, situasi pergaulan sosial daerah
> > > tersebut yang akrab dengan nilai-nilai yang dimuat
> > > dalam kebijakan, akan mengikat masyarakat secara
> > > positif dengan bentuk kepatuhan murni tetapi bisa
> > > juga muncul secara negatif dalam bentuk kepatuhan
> > > yang terpaksa. Sebagai contoh, pegawai pemda memakai
> > > busana muslim/muslimat karena khawatir mengalami
> > > diskriminasi dalam kepegawaian, meski anjuran
> > > pemakaian busana muslim tersebut tidak disertai
> > > sanksi. Sayangnya, atas kebijakan seperti ini, tidak
> > > dapat dilakukan pengujian secara yuridis karena
> > > bukan berbenruk peraturan. Sehingga tidak mudah
> > > untuk melakukan tindakan hukum terhadap
> > > kebijakan-kebijakan seperti ini.
> > > 
> > > Selain daripada pelanggaran atas prinsip-prinsip
> > > hukum umum, rumusan yang terdapat dalam beberapa
> > > kebijakan daerah akan berdampak kepada munculnya
> > > kesewenang-wenangan, meluasnya diskriminasi dan
> > > penyalahgunaan kekuasaan, premanisme dll. Situasi
> > > ini bukan sekedar hanya sekedar angan-angan, tetapi
> > > sudah terjadi di beberapa daerah yang menerapkan
> > > perda sebagaimana tersebut di atas. "Polisi-polisi
> > > moral" bermunculan yang secara sewenang-wenang
> > > melakukan tindakan razia, penggerebekan, perusakan,
> > > pengancaman, pemerasan dengan dalih penegakan
> > > perda/kebijakan daerah lainnya sebagaimana contoh
> > > berikut:
> > > 
> > > Ä Kasus salah tangkap kepada beberapa orang
> > > perempuan di Tangerang setelah pemberlakuan Perda
> > > No. 8 / 2005 tentang Pelarangan Pelacuran;
> > > Ä Kasus seorang gadis non muslim yang dipaksa
> > > memakai jilbab ketika sedang berjalan-jalan di
> > > sebuah desa di daerah Bulukumba, sejak
> > > diberlakukannya Perda No. 5/2003 tentang berpakaian
> > > Muslim dan Muslimah di Kabupaten Bulukumba; dll
> > > 
> > > Tidak hanya "polisi moral" yang tidak memiliki
> > > kewenangan, aparatur penegak hukum sendiri, dengan
> > > hanya berlandaskan kepada perda yang "cacat hukum"
> > > telah dan berpotensi melakukan pelanggaran hukum
> > > pada anggota masyarakat yang tidak bersalah yang
> > > menjadi korban tindakan yang didasarkan alas hak
> > > yang tidak sah.
> > > 
> > > 
> > > 
> > > 
> > > 
> > > 
> > > 
> > > 
> > > 
> > > 
> > > 
> > > 
> > > 
> > > 
> > > 
> > > 
> > >
> > ----------------------------------------------------------
> > > 
> > > [1] Jan Remmellink, Hukum Pidana Komentar atas
> > > Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang
> > > Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam KUHP
> > > Indonesia. Hal 95-96
> > > [2] Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun
> > > 2005 tentang Pengesahan International Covenant on
> > > Civil and Political Rights (Kovenan Internasional
> > > tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Ps. 2
> > > [3] Partnership for Law in Development United
> > > Nations Development Fund for Women, CEDAW Restoring
> > > Rights to Women. Hal 28
> > > [4] Jan Remmellink, Hukum Pidana Komentar atas
> > > Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang
> > > Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam KUHP
> > > Indonesia. Hal 29.
> > > [5] Ibid hal 28
> > > [6] Ibid hal 30
> > > [7] Prof. Dr. Soerjono Soekanto & Prof. Dr. Purnadi
> > > Purbacaraka, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata
> > > Hukum,hal 11
> > > 
> > > 
> > >
> > ----------------------------------------------------------
> > > 
> > > 
> > > 
> > > [Non-text portions of this message have been
> > > removed]
> > > 
> > > 
> > 
> > ===
> > Ingin belajar Islam sesuai Al Qur'an dan Hadits?
> > Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]
> > http://www.media-islam.or.id
> > 
> > __________________________________________________
> > Do You Yahoo!?
> > Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around 
> > http://mail.yahoo.com 
> > 
> > __________________________________________________
> > Do You Yahoo!?
> > Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around 
> > http://mail.yahoo.com 
> > 
> > [Non-text portions of this message have been removed]
> > 
> > 
> > 
> >          
> > 
> >             
> > ---------------------------------
> > Do you Yahoo!?
> >  Next-gen email? Have it all with the  all-new Yahoo! Mail Beta.
> > 
> > [Non-text portions of this message have been removed]
> >
>







***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke