BINGO! you got his POINT dear! emang paling susah ngmongin agama.... semuanya berpikir bahwa ADA YANG SALAH dengan agama orang lain.
--- In ppiindia@yahoogroups.com, "RM Danardono HADINOTO" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Mas Nizami: ""Orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari > jalan Allah, Allah menyesatkan perbuatan-perbuatan mereka...." > > Lho piye to? Kafir = non Islam, jadi Kristen, Yahudi, Hindu, Hindu > Bali, Buddha, Konghucu, Sikh, dll. Ini semua akan disesatkan Allah? > > ?????????????????????????????????? > > > > > > --- In ppiindia@yahoogroups.com, carla annamarie kneefel > <carla_annamarie17@> wrote: > > > > pak Nizami, > > > > bagaimana dgn laki2 yg berpakaian ala gigolo, pake kaos ketat, > celana panjang ketat or celana boxer...or maybe laki2 cuman pake > handuk doang..klo dlihat dr generalisasi pasal2 perda tsbt..boleh > dunk laki2 itu di asumsikan sbg pelacur... > > > > pelacur bukan cuman perempuan aja..pak..laki2 juga banyak..., > tapi knp yg kena tangkap, di undang-undangin cuma perempuan aja..., > malah sekarang pelacur laki2 gak kalah jumlahnya drpd perempuan.... > > > > pelacuran itu sama tuanya dgn peradaban manusia, baik laki2 > maupun perempuan merupakan komoditi..., ada permintaan makanya ada > penjualan..., mestinya pelaku2 pelacuran tersebut di berikan > edukasi, and bimbingan spritual, apakah dgn diberlakukan perda akan > menghambat atau mematikan arus perdagangan seks tsbt... > > contoh aja iran..banyak praktek pelacuran terselubung, and lihat > aja perilaku seks orang2 arab yg pusing nahan nafsunya di negnya > malah hijrah ke indo utk pelampiasan nafsu bejatnya... > > > > ditambah lagi dengan adanya diskriminasi gender menunjukkan > penggagas atau konseptor perda2 tsbt tidak peka dan bodoh secara > hukum, sehingga melahirkan perda2 yang memiskinkan harkat n martabat > perempuan.., perda2 tesebut adalah legitimasi patriarkhi dan > kepentingan politik kelompok tertentu. > > > > > > > > > > > > > > Free Thinker <freethinker_may@> wrote: > > Tidak ada peraturan di Indonesia yang mendukung > pelacuran. Indonesia bukan Belanda yang melegalkan pelacuran. > > Tapi kalau ada peraturan yang bersikap diskriminatif terhadap > perempuan dan memberi peluang bagi aparat yang tak becus menuduh > perempuan yang bekerja malam sebagai pelacur, tentu saja harus > ditinjau ulang. > > > > Anda jangan menyesatkan: "Menentang perda = mendukung pelacuran", > padahal bukan begitu esensinya. Kesimpulan Anda dungu. > > > > Itu kan sama saja dalil Anda (dan banyak orang yang tak mengerti > esensi perundangan) menuduh orang yang "Menolak RUU APP = mendukung > pornografi", padahal jelas bukan begitu maksudnya. Ini juga > kesimpulan yang tak kalah dungunya. > > > > Hapuskan Perda2 diskriminatif, karena perempuan dan laki-laki sama > hak dan kedudukannya di mata hukum. > > > > A Nizami <nizaminz@> wrote: > > Saya menyayangkan jika ada orang yang berusaha > > menghalang-halangi kebenaran dan mendukung kesesatan, > > kemaksiatan, atau kejahatan seperti > > pelacuran/perzinahan. > > > > "Orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari > > jalan Allah, Allah menyesatkan perbuatan-perbuatan > > mereka. > > Dan orang-orang mukmin dan beramal soleh serta beriman > > kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah > > yang haq dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan > > kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan > > mereka. > > Yang demikian adalah karena sesungguhnya orang-orang > > kafir mengikuti yang bathil dan sesungguhnya > > orang-orang mukmin mengikuti yang haq dari Tuhan > > mereka. Demikianlah Allah membuat untuk manusia > > perbandingan-perbandingan bagi mereka." [Muhammad:1-3] > > > > Jika ada aturan yang kurang sempurna misalnya > > pelarangan pelacuran hanya menunjuk pada pelaku wanita > > saja, seharusnya diperbaiki dengan melarang pelacuran > > dilakukan oleh siapa pun baik pria atau wanita. Bukan > > justru mendukung pelacuran itu sendiri. Dalam Islam > > pelacuran baik oleh wanita mau pun pria itu dilarang. > > > > Realita juga menunjukkan pelacuran itu merupakan satu > > bentuk perselingkuhan, penyebaran penyakit kelamin > > seperti herpes, AIDS, rajasinga, dsb serta menimbulkan > > lahirnya anak di luar nikah yang sering diikuti dengan > > pengguguran atau aborsi. > > > > Oleh karena itu gerakan mendukung pelacuran atau > > menentang pelaksanaan syariah Islam di mana mayoritas > > wakil rakyat telah menyetujui adalah satu bentuk > > tirani minoritas yang tidak demokratis. > > > > --- "Amir S. Dewana" <Amir.Dewana@> > > wrote: > > > > > > > > ----- Original Message ----- > > > From: R. Husna Mulya > > > To: [EMAIL PROTECTED] > > > Sent: Monday, August 14, 2006 10:02 PM > > > Subject: [hrwg] *Perda2 Diskriminatif, Tulisan 2* > > > (sebarluaskan) > > > > > > > > > Kebijakan Daerah Diskriminatif > > > (Suatu Langkah Mundur dalam Upaya Perlindungan > > > Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia) > > > > > > > > > Pengantar > > > > > > Fenomena maraknya penerapan berbagai kebijakan > > > daerah yang meresahkan masyarakat karena mengandung > > > rumusan yang diskriminatif dan berpotensi pada > > > munculnya ketidak pastian hukum, setidaknya dapat > > > menjadi gambaran akan adanya ancaman serius terhadap > > > integritas hukum nasional. Pasca penerapan otonomi > > > daerah, otoritas derah mengalami euphoria untuk > > > dapat mengelola pemerintahan daerahnya sesuai dengan > > > ciri khas kedaerahan dan kondisi wilayahnya > > > masing-masing, setelah sekian puluh tahun terikat > > > pada sistem pemerintahan yang terpusat > > > (sentralistik). Sayangnya, semangat yang > > > sesungguhnya positif menjadi berbeda dalam tataran > > > pelaksanaannya karena adanya kepentingan-kepentingan > > > politik kelompok tertentu ataupun individual yang > > > memanfaatkan momentum ini demi kepentingan diri > > > ataupun kelompoknya. > > > > > > Munculnya berbagai kebijakan daerah yang mengatur > > > cara berpakaian sesuai dengan aturan kelompok > > > tertentu misalnya; merupakan suatu bentuk > > > pelanggaran atas hak seseorang untuk mempunyai > > > pemikiran berdasarkan nilai-nilai yang mereka anut, > > > dan mengekpresikannya lewat cara berpakaian. Dalam > > > hal ini, kebijakan tentang cara berpakaian tidak > > > menghargai keaneka aragaman budaya dan nilai-nilai > > > yang dianut masyarakat Indonesia. Tidak sedikit pula > > > kebijakan daerah yang masih diskriminatif terhadap > > > perempuan, misalnya kebijakan yang melarang > > > perempuan untuk keluar malam (pada jam-jam tertentu) > > > (Perda Gorontalo No. 10/2003 tentang Pencegahan > > > Maksiat) , atau yang melekatkan perempuan pada > > > status tertentu sebagai pelanggar suatu bentuk > > > pidana. Misalnya pelacur adalah berjenis kelamin > > > perempuan, sebagaimana yang tertera dalam Perda > > > Indramayu No. 7 /1999 tentang Prostitusi " Pelacuran > > > adalah suatu perbuatan dimana seorang perempuan > > > menyerahkan dirinya untuk berhubungan kelamin dengan > > > lawan jenisnya dan menerima pembayaran baik berupa > > > uang maupun bentuk lain". > > > > > > Rumusan Kebijakan Daerah yang Bertentangan dengan > > > Prinsip-Prinsip Hukum Umum > > > > > > Berdasarkan analisis terhadap 17 (tujuh belas) > > > kebijakan daerah, berikut ini adalah bentuk-bentuk > > > pelanggaran atas prinsip-prinsip hukum umum yang > > > dilanggar dalam beberapa Kebijakan Daerah : > > > > > > 1. Azas Praduga Tak Bersalah (Presumption of > > > Innocence)/ Obyektifitas Hukum; > > > Azas ini merupakan azas universal dalam proses > > > penegakan hukum. Bahwa tidak ada seorang pun dapat > > > dinyatakan bersalah (melanggar suatu aturan hukum) > > > sebelum dibuktikan di hadapan pengadilan yang > > > berwenang. Azas ini juga menjadi dasar dalam > > > perumusan suatu delik, bahwa dalam merumuskan suatu > > > perbuatan yang akan dikualifikasi sebagai suatu > > > tindak pelanggaran hukum (pidana), rumusan tersebut > > > harus jelas dapat menunjukkan antara lain adanya; > > > (i) kesengajaan/opzet; atau (ii)dengan > > > maksud/oogmerk; atau (iii) kelalaian/culpa dan atau > > > menunjukkan adanya sifat (i)melawan hukum; (ii) > > > tanpa memiliki kewenangan untuk itu; (iii) tanpa > > > ijin; dan (iv) dengan melampauai batas > > > kewenangan.[1] > > > > > > Pelanggaran atas prinsip tersebut baik dalam rumusan > > > peraturan maupun dalam penegakan hukum acaranya > > > berpotensi menimbulkan ketidak pastian hukum, karena > > > ketiadaan acuan obyektif dalam penegakannya. Pada > > > beberapa kebijakan daerah, telah teridentifikasi > > > adanya pelanggaran terhadap prinsip ini baik dalam > > > rumusan maupun dalam tataran penegakannya sebagai > > > contoh adalah rumusan delik berikut : > > > > > > " Setiap orang yang sikap atau perilakunya > > > mencurigakan sehingga menimbulkan suatu anggapan > > > bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di > > > jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah > > > penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah > > > penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat > > > hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut > > > jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat > > > lain di daerah " > > > (Ps. 4, Perda Tangerang No. > > > 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran) > > > > > > Pertanyaan yang patut diajukan dalam > > > rumusan ini adalah : Sikap, atau perilaku yang > > > seperti apa yang dapat, atau sepatutnya dapat > > > menimbulkan suatu anggapan bahwa seseorang itu > > > pelacur, dalam rumusan delik ini ?. Jawabannya tidak > > > jelas, karena rumusan tersebut tidak menguraikan > > > sikap tindak yang dapat dianggap sebagai perbuatan > > > pelacur dimaksud. > > > > > > Dengan demikian, peraturan ini tidak memberikan > > > acuan yang jelas tentang perbuatan apa yang dapat > > > dikualifikasi sebagai perbuatan pelacur. Dalam > > > penegakannya, ketiadaan acuan akan memicu sikap > > > subyektif dari aparat penegak hukum yang pada > > > akhirnya dapat berakibat kesalahan dalam proses > > > penegakan. Contoh yang paling mutakhir adalah kasus > > > salah tangkap yang terjadi pada beberapa orang > > > perempuan di Kabupaten Tangerang, pada saat aparat > > > melakukan razia dalam rangka pelaksanaan Perda > > > Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan > > > Pelacuran. Dalam hal ini fakta telah menunjukkan > > > potensi pelanggaran atas asas praduga tak bersalah > > > yang diakibatkan rumusan perda yang tidak memenuhi > > > prinsip-prinsip hukum umum. > > > > > > Rumusan serupa dengan Perda Tangerang No. 8 Tahun > > > 2005 tentang Pelarangan Pelacuran, terdapat pada > > > beberapa perda berikut : > > > > > > Ù "Siapapun yang kelakuannya/tingkah lakunya > > > dapat menimbulkan dugaan bahwa ia pelacur dilarang > > > ada di jalan-jalan umum, lapangan-lapangan, dirumah > > > penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk, > > > kontrakan, warung-warung minum, tempat hiburan, > > > digedung tempat tontonan, disudut-sudut jalan atau > > > lorong-lorong, berhenti, atau berjalan kaki > > > berkendaraan bergerakkian kemari "(Ps. 6 Peraturan > > > Daerah Kabupaten Indramayu No. 4 Tahun 2001 tentang > > > Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kabupaten Daerah > > > Tingkat II Indramayu Nomor 7 Tahun 1999 tentang > > > Prostitusi) > > > > > > Ù "Siapapun yang karena tingkah lakunya > > > menimbulkan anggapan bahwa ia itu pelacur, tidak > > > diperbolehkan berhenti atau mondar-mandir, baik > > > mempergunakan kendaraan umum maupun tidak, dimuka > > > atau didekat rumah penginapan, pesanggrahan, rumah > > > makan, asrama...dan tempat-tempat umum lainnya" > > > (Rancangan Peraturan Daerah Kota Mataram > > > Nomor.Tahun. tentang Pencegahan Maksiat) > > > > > > Ù "Setiap orang ..dilarang: > > > a. melakukan segala sesuatu yang > > > mengarah para perbuatan maksiat. > > > b. Melakukan perbuatan yang dapat > > > merangsang orang lain ikut serta dalam perbuatan > > > maksiat " (Peraturan daerah Propinsi Sumatra Selatan > > > Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Maksiat di > > > Propinsi Sumatra Selatan). > > > > > > 2. Suatu aturan hukum haruslah mengemban > > > amanat "kedudukan yang sama dalam hukum" (equality > > > before the law) hal ini tidak hanya sekedar berlaku > > > pada saat proses penegakan hukum melainkan juga > > > dalam setiap rumusan peraturan, sehingga dapat > > > dihindarkan timbulnya perilaku yang diskriminatif > > > dalam bentuk pembedaan apapun seperti warna kulit, > > > jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau > > > pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, > > > kepemilikan, keturunan atau status > > > lainnya[2].Apabila prinsip ini dilanggar, hukum > > > tidak akan dapat mencapai cita-citanya untuk > > > menegakkan keadilan. > > > > > > Pada beberapa perda terdapat rumusan yang secara > > > nyata diskriminatif khususnya terhadap perempuan > > > yang dapat terlihat dalam rumusan beberapa perda > > > sebagai berikut: > > > > > > Ù "Pelacuran adalah suatu perbuatan > > > dimana seorang perempuan menyerahkan dirinya untuk > > > berhubungan kelamin dengan lawan jenisnya dan > > > menerima bayaran baik berupa uang maupun bentuk lain > > > " (Ps. 6 Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu No. 4 > > > Tahun 2001 tentang Perubahan Pertama Peraturan > > > Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu Nomor 7 > > > Tahun 1999 tentang Prostitusi) > > > > > > Ù "Setiap perempuan dilarang berjalan > > > sendirian atau berada di luar rumah tanpa ditemani > > > muhrimnya pada selang waktu pukul 24.00 sampai > > > dengan pukul 04.00, kecuali dengan alasan yang > > > dapat dipertanggung jawabkan"(Perda Gorontalo Nomor > > > 10 Tahun 2003 tentang Pencegahan Maksiat) > > > > > > Ù "Setiap orang .dilarang : > > > h. bagi wanita berpakaian minim terbuka pada bagian > > > tubuh mulai dari dada sampai lutut dan berpakaian > > > transparan sehingga terlihat jelas bagian-bagian > > > tubuh dari luar pakaian itu ditempat umum (Peraturan > > > daerah Propinsi Sumatra Selatan Nomor 13 Tahun 2002 > > > tentang Pemberantasan Maksiat di Propinsi Sumatra > > > Selatan) > > > > > > Perempuan, dalam contoh perda pertama, perempuan > > > ditempatkan dalam asumsi negatif sosial budaya > > > berkaitan dengan seksualitasnya yang selama ini > > > dipandang sebagai obyek. Sehingga dengan mudahnya > > > perda ini melekatkan identitas pelacur dengan jenis > > > kelamin perempuan. Dalam contoh perda yang kedua, > > > perempuan berada dalam suatu bentuk diskriminasi > > > berupa pembatasan yang berhubungan dengan hak dan > > > kebebasan perempuan, yang selama ini mewujud dalam > > > berbagai tindakan seperti pembatasan jam kerja, > > > pembatasan mobilitas, pembatasan cara berpakaian dan > > > penampilan penempatan kerja atau pemindahan kerja > > > yang dikaitkan dengan ijin suami atau wali[3], dll. > > > > > > Pembiaran atas keberadaan kebijakan-kebijakan daerah > > > yang diskriminatif terhadap perempuan ini, > > > berpotensi melanggengkan diskriminasi terhadap > > > perempuan yang selama ini terjadi dan tengah > > > diperjuangkan untuk dihapuskan keberadaannya. > > > Kondisi ini berarti juga suatu pelanggaran terhadap > > > keberlakuan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang > > > Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap > > > Perempuan (CEDAW). > > > > > > Selain diskriminasi terhadap perempuan, beberapa > > > perda juga menunjukkan sikap diskriminatif terhadap > > > kelompok preferensi seksual (homoseksual, lesbian, > > > gay) dengan menempatkan kelompok tersebut sebagai > > > suatu bentuk pelanggaran hukum, tanpa dasar > > > kualifikasi pemidanaan. Dengan kata lain preferensi > > > seksual tersebut sudah dianggap sebagai suatu > > > pelanggaran hukum tanpa adanya perbuatan nyata > > > sebagai pelanggaran hukum yang mendasarinya, dengan > > > contoh berikut : > > > > > > Ù "Termasuk dalam perbuatan > > > pelacuran adalah : > > > a. homoseks > > > b. lesbian..." > > > (Perda Kota Palembang No. 2 > > > Tahun 2004 tentang Pemberantasan Pelacuran) > > > > > > Ù "Setiap orang atau badan dilarang > > > membentuk dan atau mengadakan perkumpulan yang > > > mengarah kepada perbuatan asusial dan secara > > > normatif tidak bisa diterima oleh budaya masyarakat. > > > Penjelasan : Perkumpulan dimaksud dalam ayat ini > > > misalnya perkumpulan atau organisasi kaum lesbian, > > > homoseks (gay) dan sejenisnya" > > > (Perda kota Batam no. 6 Tahun 2002 tentang > > > Ketertiban Sosial di Kota Batam) > > > > > > Ù "Termasuk perbuatan maksiat, > > > segala perbuatan yang dapat merusak sendi-sendi > > > kehidupan bermasyarakat... Seperti : > > > c. homoseks > > > d. lesbian.... > > > (Perda Propinsi Sumatra Selatan No. 13 Tahun 2002 > > > tentang Pemberantasan Maksiat di Propinsi Sumatara > > > Selatan) > > > > > > Persoalan di seputar keberadaan kelompok homoseks > > > dan sejenisnya ini memang masih menjadi masalah yang > > > kontroversial tidak hanya di Indonesia namun juga di > > > berbagai banyak negara lain. Namun dalam memandang > > > preferensi seksual kaitannya dengan penegakan > > > keamanan dan ketertiban, harus dipertimbangkan > > > secara sungguh-sungguh apakah pilihan seksualitas > > > seseorang cukup membuatnya dikatakan sebagai > > > pelanggar aturan (pembuat onar, pembuat suasana > > > tidak tertib) ataukan sebenarnya perbuatan-perbuatan > > > yang mewujud sebagai perbuatan homoseksual yang > > > dilakukan secara melawan hukumlah (dengan kekerasan, > > > dengan orang dibawah umur, di hadapan umum, sebagai > > > mata pencaharian/prostitusi) yang pantas dihukum. > > > > > > Mengingat tujuan hukum bukan hanya sekedar keamanan > > > dan ketertiban melainkan juga keadilan, ada baiknya > > > menyimak pendapat seorang ahli hukum Jeshneck " > > > tidak semua yang dilakukan dengan maksud-tujuan > > > jelas, pasti memenuhi rasa keadilan" [4]. Jangan > > > sampai kita berada dalam kondisi "more laws but less > > > justice". Semakin banyak hukum tetapi semakin > > > berkurang keadilan. > > > > > > Bila mencermati rumusan pasal-pasal dalam beberapa > > > perda sebagai contoh di atas, perda tersebut dibuat > > > dengan maksud sebagai norma atau kaidah perintah dan > > > larangan yang disertai sanksi. Dengan demikian dapat > > > disimpulkan berdasarkan teori imperatif dalam > > > dogmatika hukum pidana, perda tersebut berlaku > > > sebagai hukum pidana yang berlaku secara lokal. > > > > > > Namun demikian, dalam pembentukan suatu hukum > > > pidana, selain pemenuhan prinsip-prinsip hukum umum, > > > ada begitu banyak hal yang harus dipertimbangkan > > > oleh penguasa sebagai pembentuk hukum, apa yang > > > harus dipertimbangkan dalam penerapan suatu kaidah > > > hukum pidana. Antara lain pernyataan Merkel, seorang > > > yuris Jerman (abad ke 19), mengatakan bahwa "tempat > > > hukum pidana adalah selalu subsider terhadap upaya > > > hukum lain. Pidana adalah dan akan tetap harus > > > dipandang sebagai ultimum remedium. > > > > > > Pidana berlaku bagi ketidakadilan yang terjadi yang > > > tidak lagi dapat ditanggulangi secara memadai oleh > > > sarana-sarana (hukum) lain. Penguasa harus sadar dan > > > waspada bahwa hukum pidana hanya dapat didayagunakan > > > apabila sarana yang ada tidak lebih buruk > > > dibandingkan dengan penyimpangan perilaku yang > > > hendak ditanggulanginya[5]. Apalah artinya upaya > > > untuk menghalangi suatu pelanggaran hukum bila upaya > > > itu sendiri adalah suatu bentuk pelanggaran hukum. > > > Hal ini mengingat, bahwa perbuatan yang > > > dikategorikan sebagai kejahatan (tindak pidana) > > > diberi reaksi pengenaan secara sengaja tindakan > > > (balasan) yang dimaksudkan sebagai penjatuhan derita > > > (terhadap pelaku) sekalipun (hal itu merupakan > > > konsekuensi dari apa yang disebut sebelumnya)[6]. > > > Tindakan balasan oleh penguasa daerah dalam > > > perda-perda mewujud dalam sanksi yaitu hukuman > > > kurungan maksimal enam bulan hingga denda maksimal > > > 15 juta rupiah. > > > > > > Berkaitan dengan pemberlakuan suatu kaedah hukum, > > > secara filosofis harus berlandasakan kepada 3 (tiga) > > > hal sebagai berikut[7]: > > > > > > 1. Hal berlakunya secara yuridis, yaitu: > > > a) Kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis, > > > apabila penentuannya didasarkan pada kaedah yang > > > lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen); > > > b) Kaedah hukum mempunyai kekuatan yuridis, > > > jikalau kaedah tersebut terbentuk menurut cara yang > > > telah ditetapkan (W. Zevenbergen) > > > c) Kaedah hukum mengikat secara yuridis, > > > apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu > > > kondisi dengan akibatnya (J.H.A. Logemann) > > > 2. Hal berlakunya secara sosiologis yang > > > intinya adalah efektivitas hukum dalam masyarakat, > > > yang dasarnya adalah kekuasaan dan pengakuan. > > > 3. Hal berlakunya secara filosofis; artinya, > > > kaedah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum > > > sebagai nilai positif tertinggi. > > > > > > Ketiga landasan tersebut dapat digunakan sebagai > > > alat acuan untuk melihat apakah kebijakan daerah > > > tersebut dapat berlaku secara hukum atau tidak, maka > > > berdasarkan paparan di atas, secara mudah kita dapat > > > menyimpulkan bahwa kebijkan-kebijakan yang diangkat > > > sebagai contoh kasus dari hasil analisi di atas > > > tidak memenuhi syarat keberlakuan sebagai kaidah > > > hukum baik secara yuridis, sosiologis maupun > > > filosofis. > > > > > > > > > Kebijkan Daerah Non-Yuridis > > > > > > Tidak semua kebijakan daerah yang dianalisis > > > berbentuk norma hukum khususnya pidana, beberapa > > > kebijakan yang dianalisis, berbentuk pedoman, > > > himbauan dan anjuran, namun ada pula kebijakan yang > > > berupa aturan perintah, namun tidak disertai sanksi, > > > biasanya berbentuk surat keputusan bupati atau > > > sejenisnya. Secara yuridis, sudah pasti kebijakan > > > ini tidak memiliki kekuatan mengikat namun, secara > > > antropologis, situasi pergaulan sosial daerah > > > tersebut yang akrab dengan nilai-nilai yang dimuat > > > dalam kebijakan, akan mengikat masyarakat secara > > > positif dengan bentuk kepatuhan murni tetapi bisa > > > juga muncul secara negatif dalam bentuk kepatuhan > > > yang terpaksa. Sebagai contoh, pegawai pemda memakai > > > busana muslim/muslimat karena khawatir mengalami > > > diskriminasi dalam kepegawaian, meski anjuran > > > pemakaian busana muslim tersebut tidak disertai > > > sanksi. Sayangnya, atas kebijakan seperti ini, tidak > > > dapat dilakukan pengujian secara yuridis karena > > > bukan berbenruk peraturan. Sehingga tidak mudah > > > untuk melakukan tindakan hukum terhadap > > > kebijakan-kebijakan seperti ini. > > > > > > Selain daripada pelanggaran atas prinsip-prinsip > > > hukum umum, rumusan yang terdapat dalam beberapa > > > kebijakan daerah akan berdampak kepada munculnya > > > kesewenang-wenangan, meluasnya diskriminasi dan > > > penyalahgunaan kekuasaan, premanisme dll. Situasi > > > ini bukan sekedar hanya sekedar angan-angan, tetapi > > > sudah terjadi di beberapa daerah yang menerapkan > > > perda sebagaimana tersebut di atas. "Polisi-polisi > > > moral" bermunculan yang secara sewenang-wenang > > > melakukan tindakan razia, penggerebekan, perusakan, > > > pengancaman, pemerasan dengan dalih penegakan > > > perda/kebijakan daerah lainnya sebagaimana contoh > > > berikut: > > > > > > Ä Kasus salah tangkap kepada beberapa orang > > > perempuan di Tangerang setelah pemberlakuan Perda > > > No. 8 / 2005 tentang Pelarangan Pelacuran; > > > Ä Kasus seorang gadis non muslim yang dipaksa > > > memakai jilbab ketika sedang berjalan-jalan di > > > sebuah desa di daerah Bulukumba, sejak > > > diberlakukannya Perda No. 5/2003 tentang berpakaian > > > Muslim dan Muslimah di Kabupaten Bulukumba; dll > > > > > > Tidak hanya "polisi moral" yang tidak memiliki > > > kewenangan, aparatur penegak hukum sendiri, dengan > > > hanya berlandaskan kepada perda yang "cacat hukum" > > > telah dan berpotensi melakukan pelanggaran hukum > > > pada anggota masyarakat yang tidak bersalah yang > > > menjadi korban tindakan yang didasarkan alas hak > > > yang tidak sah. > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > ---------------------------------------------------------- > > > > > > [1] Jan Remmellink, Hukum Pidana Komentar atas > > > Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang > > > Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam KUHP > > > Indonesia. Hal 95-96 > > > [2] Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun > > > 2005 tentang Pengesahan International Covenant on > > > Civil and Political Rights (Kovenan Internasional > > > tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Ps. 2 > > > [3] Partnership for Law in Development United > > > Nations Development Fund for Women, CEDAW Restoring > > > Rights to Women. Hal 28 > > > [4] Jan Remmellink, Hukum Pidana Komentar atas > > > Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang > > > Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam KUHP > > > Indonesia. Hal 29. > > > [5] Ibid hal 28 > > > [6] Ibid hal 30 > > > [7] Prof. Dr. Soerjono Soekanto & Prof. Dr. Purnadi > > > Purbacaraka, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata > > > Hukum,hal 11 > > > > > > > > > > > ---------------------------------------------------------- > > > > > > > > > > > > [Non-text portions of this message have been > > > removed] > > > > > > > > > > === > > Ingin belajar Islam sesuai Al Qur'an dan Hadits? > > Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] > > http://www.media-islam.or.id > > > > __________________________________________________ > > Do You Yahoo!? > > Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around > > http://mail.yahoo.com > > > > __________________________________________________ > > Do You Yahoo!? > > Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around > > http://mail.yahoo.com > > > > [Non-text portions of this message have been removed] > > > > > > > > > > > > > > --------------------------------- > > Do you Yahoo!? > > Next-gen email? Have it all with the all-new Yahoo! Mail Beta. > > > > [Non-text portions of this message have been removed] > > > *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/