Refleksi: Apa saja yang sahih di republik ini? Korupsi? Cerita tentang dunia 
seberang yang indah permai setelah hayat tak ada di kandung badan? 
 
KOMPAS
Kamis, 24 Agustus 2006 

 
Tidak Ada Data Sahih di Republik Ini 



Tjipta Lesmana 

Pidato kenegaraan Presiden Yudhoyono di Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka 
memperingati Hari Proklamasi Ke-61 telah menuai kritik tajam dari berbagai 
kalangan, terutama politisi dan pengamat ekonomi. Pasalnya, dalam pidato itu 
Presiden mengemukakan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia mengalami 
penurunan, dari 23,4 persen pada 1999 menjadi 16 persen pada 2005. Kenapa 
heboh? 

Pertama, data yang ditampilkan Presiden tampaknya membuat banyak pihak tidak 
percaya, bahkan terkejut. Data itu dinilai pemutarbalikan fakta di lapangan. 
Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) per 1 Oktober 2005 sebesar rata-rata 
126 persen diyakini sungguh membawa sengsara bagi rakyat kecil yang jumlahnya 
mungkin separuh dari penduduk Indonesia. 

Kedua, melalui data yang ditampilkan, Presiden terkesan hendak mengatakan 
kepada seluruh bangsa bahwa "pemerintahan saya telah menunjukkan prestasi 
kerja"; sekaligus menepis tudingan-tudingan bahwa kehidupan rakyat semakin 
sengsara sejak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden. Penurunan 7,4 
persen-secara statistik-amat signifikan walaupun angka itu menunjukkan 
penurunan dalam kurun waktu 6 tahun. Pengambilan data dari tahun 1999 sampai 
dengan tahun 2005 memperlihatkan the president is playing with figures. Kenapa 
harus diukur semenjak 1999? Tahun 2005 kapan? Januari-jauh sebelum harga BBM 
dinaikkan pada 1 Maret dan 1 Oktober? Atau Desember? Tidak jelas. 

Ketiga, sumber data yang ditampilkan tidak disebutkan. Apakah dari Badan Pusat 
Statistik (BPS)? Atau Bappenas berdasarkan olahan data dari BPS? Kalau dari 
BPS, apakah survei terakhir oleh BPS dilakukan pada Februari 2005? Data yang 
dipergunakan BPS pun data akhir 2004 tatkala pemerintahan SBY baru berusia 70 
hari?! 

Kecewa dan penasaran 

Reaksi dan kecaman berbagai pihak, sebenarnya, mencerminkan kekecewaan mereka, 
sebab semua orang sesungguhnya kepingin tahu bagaimana "potret kemiskinan" 
Indonesia setelah kenaikan harga BBM yang fantastis pada 1 Oktober 2005. Kita 
sesungguhnya juga penasaran mau tahu sejauh mana kebenaran asumsi para ekonom 
di sekeliling pemerintahan SBY yang sejak awal haqul'yakin bahwa kenaikan harga 
BBM jika ditunjang oleh bantuan langsung tunai (BLT) pasti akan menurunkan 
tingkat kemiskinan dan menaikkan kesejahteraan rakyat. 

Urusan data di republik tercinta ini-data sahih maksud saya-rupanya amat pelik, 
kalau tidak dikatakan muskil. Pertama, karena terlalu banyak instansi yang 
melemparkan data kepada publik: dari mulai BPS, kantor Bappenas, kantor Menteri 
Koor- dinator Perekonomian, kantor BKKBN (pada era Orde Baru), pihak 
universitas, dan Bank Dunia. Beda dengan Amerika, misalnya. Di sana hanya ada 
satu instansi yang diberikan otoritas untuk berbicara tentang data kependudukan 
dalam arti seluas-luasnya, termasuk kemiskinan, yaitu US Census Bureau. 

Kedua, kriteria "miskin" berbeda antara satu instansi dan instansi yang lain. 
Ketiga, sesuai dengan prinsip information is power, data demografis di 
Indonesia sering dimanipulasi untuk kepentingan politik tertentu. Bahkan, BPS 
pun tidak selamanya bisa dipercaya, sebab BPS-terutama pada Orde Baru-bisa 
disetir penguasa, atau harus tunduk pada kemauan penguasa. Contoh mutakhir 
ketika BPS belum lama ini merilis angka-angka kemiskinan yang tampaknya kurang 
menyenangkan pemerintah, pimpinannya kontan "diundang" oleh Menko Perekonomian 
untuk diajak berkonsultasi. Hasil "konsultasi" berupa kesepakatan bahwa perlu 
disusun kriteria orang miskin yang lebih up to date! 

Di Amerika, presiden sekalipun tidak dibenarkan mengintervensi US Census 
Bureau. Institusi ini benar-benar otonom sehingga setiap data dan kajian yang 
dirilis otomatis diterima dan dipercaya oleh masyarakat. 

BPS tidak konsisten 

Simaklah baik-baik beberapa data mengenai kemiskinan di Indonesia di bawah ini. 

Pada November 2001 Bank Dunia mengatakan, 60 persen rakyat Indonesia tergolong 
miskin; 10 persen sampai 20 persen di antaranya miskin absolut. Kriteria yang 
dipakai adalah pendapatan 2 dollar AS/orang/ bulan. Dengan kriteria konsumsi 
kurang dari 2.100 kalori per kapita per hari (atau Rp 90.000). BPS pada 
Februari 2002 menyatakan, penduduk miskin pada 2000 berjumlah 37,3 juta atau 
18,95 persen. 

Tanggal 27 Maret 2003, Jusuf Kalla selaku Menteri Koordinator Kesejahteraan 
Rakyat mengemukakan jumlah orang miskin di Indonesia 34,8 juta atau 18,2 
persen. Tanggal 23 Januari 2005 Bank Dunia merilis data yang mengejutkan: 110 
juta penduduk RI miskin karena penghasilannya di bawah 2 dollar AS/hari. 

Menjelang pengumuman kenaikan harga BBM yang kedua kalinya, BPS pada 13 
September 2005 merilis data 37,2 juta penduduk miskin (16,9 persen). Jika 
kenaikan harga BBM mendongkrak inflasi menjadi 15 persen, maka garis kemiskinan 
menjadi Rp 175.000 sehingga jumlah orang miskin menjadi 62 juta jiwa. Namun, 
kalau harga BBM naik 95 persen, garis kemiskinan menjadi Rp 190.000 hingga Rp 
200.000, sedangkan orang miskin bertambah menjadi 80 juta. 

Tanggal 9 November 2005 BPS mengatakan, akibat kenaikan harga BBM sebesar 126 
persen pada 1 Oktober 2005, garis kemiskinan yang semula Rp 150.000/bulan dan 
"mendekati miskin" sebesar Rp 175.000 tidak lagi akurat. Jumlah orang miskin 
bertambah 8,6 juta menjadi 24,1 juta. Sehari kemudian, Sri Mulyani yang 
menjabat Ketua Bappenas mengakui bahwa garis kemiskinan meningkat menjadi Rp 
175.000/bulan akibat kenaikan harga BBM 1 Oktober 2005 dan pemerintah kewalahan 
menambah dana BLT, sebab penambahan penduduk yang mengaku miskin sangat besar. 

Perhatikan baik-baik betapa tidak konsisten BPS dengan data yang dibuatnya 
sendiri. Jika harga BBM naik 95 persen, jumlah orang miskin menjadi 80 juta, 
menurut BPS. Namun, ketika pemerintah akhirnya menaikkan harga BBM sebesar 126 
persen, BPS mengatakan jumlah orang miskin bertambah 8,6 juta menjadi 24,1 
juta...! 

September nanti BPS dijadwalkan akan merilis hasil Survei Sosial dan Ekonomi 
Nasional (Susenas) yang terbaru. Kita tidak tahu bagaimana BPS merilis angka 
kemiskinan terbaru yang tampaknya harus "disesuaikan" dengan angka yang sudah 
diumumkan oleh Presiden Yudhoyono pada 16 Agustus. Bisakah BPS jujur 
sejujurnya, bahkan menolak tekanan penguasa dalam bentuk apa pun dalam membuat 
data?! 

Tjipta Lesmana Anggota Kelompok Kerja Ketahanan Nasional, Lembaga Ketahanan 
Nasional 


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to