Republik Betang

Baru baru ini saya mengundang sohib lama, Bung Emil, menjadi tamu 
Radio Nederland Wereldomroep dalam siaran langsung perayaan HUT RI 
ke 61 di Wisma Duta di Wassenaar, Belanda. Emil datang dari Paris. 
Nama resminya asyik: Jean-Jacques Kusni. Kusni, tentu saja, sangat 
Melayu dan Jean-Jacques amat Prancis. Kombinasi yang bagus. Anehnya, 
Emil mengaku merasa "malu" dengan nama Prancisnya itu. "Wah, 
perasaan keIndonesiaan saya tidak tergantikan oleh nama baru itu, 
Bung!" jelasnya.

Bagi saya, imbuhan "Jean-Jacques" itu menjanjikan oleh-oleh dari 
Prancis. Dan, betul, Emil membawa oleh-oleh sebuah wacana. Indonesia 
yang berulangtahun ke 61 ini, katanya, harus memenuhi janji 
kemerdekaan untuk menjadi republik sekaligus menjadi Indonesia. 

Maknanya: menjadi wadah publik, bagi aneka ragam warga dan orang 
asal Indonesia, tak peduli kewarganegaraannya, suku, dsb, dengan 
begitu, bersama-sama menciptakan sebuah republik dan sebuah 
Indonesia. Menarik, Emil mengkiaskan republik seperti ini dengan 
rumah adat Kalimantan dari mana dia berasal, yaitu Budaya Betang. 

Namun kenyataan di bumi seringkali amat berbeda. Dengan kata lain, 
imajinasi dan cita-cita seperti oleh-oleh Bung Emil itu perlu 
dibenturkan, ditembuskan, diteroboskan, dan diolah menjadi kenyataan 
di bumi itu - betapa pun lambat, perlahan atau sulit.

Nah, ketika carut-marut, pemberontakan dan sengketa antar daerah, 
etnik dan agama selama tahun-tahun belakangan, berkemelut terus di 
tanah air, kebalikan dari kebersamaan betang, maka pantaslah media 
seperti Mingguan TEMPO menyambut HUT RI ke-61 dengan 
bertanya, "Bisakah Kita Hidup Bersama?" 

Pertanyaan ini jelas bermaksud memacu pendapat agar mawas diri dan 
berikhtiar membangun republik, suatu wadah bersama, seperti pernah 
dicita-citakan oleh para Bapak Pendiri republik. Menanggapi ini, 
Emil berkomentar, "Soal hidup bersama sebenarnya bukan perkara baru 
bagi orang Dayak." Budaya betang itulah bukti kebersamaan Kalimantan 
Tengah ketika ikut memperjuangkan kemerdekaan, seperti yang dipimpin 
oleh Tjilik Riwut, yang kebetulan juga merupakan paman langsung Bung 
Emil.

Bagi saya, upaya hidup bersama, yaitu cita-cita kemajemukan yang 
disiratkan TEMPO dan dikiaskan oleh Bung Emil sebagai "Budaya 
Betang" itu, adalah proyek: sebuah proyek ke depan yang perlu 
dirintis dan dibangun kembali bersama setelah dilanda zaman, dirusak 
oleh sepak terjang Orde Baru selama tiga dasawarsa. 

Sepanjang delapan tahun sejak mundurnya Soeharto dan tampilnya "Orde-
Baru-cum-Reformasi" - atau "Orde-Baru Baru" dalam istilah Pramoedya –
 semangat Orde Barunya Soeharto itu masih menyala-nyala. Setiap 
suara lokal dicurigai, setiap tuntutan daerah diawasi, dan setiap 
pemberontakan separatis harus dilibas habis. Ada yang menyebut 
predisposisi sentralistis itu "suara NKRI-is". 

Dengan perspektif dari pusat itu, kita tidak menyadari lagi bahwa 
akar masalah sebenarnya lebih terletak di pusat ketimbang di daerah. 
Bahkan, Kuasa Usaha KBRI Den Haag berkomentar "saya lebih suka 
menyebut NKRI itu `Negara Kita Republik Indonesia'". 

Anehnya, spektrum politik di dalam negeri mau pun diaspora sering 
ber-predisposisi sangat sentralistis (NKRI-is), ketimbang 
memandangnya sebagai bagian dari dinamika mencari suatu format 
bangsa yang lebih adil. Orang lupa bahwa "kesatuan" (dari konsep 
militer "unit") seharusnya bukan militaristis,melainkan "persatoean" 
yang oleh Bung Hatta pernah diimpikan sebagai suatu kemampuan untuk 
menangkal "persatean". Celakanya, ini gagal, terbukti dari rangkaian 
pembantaian sejak 1965-66, TimTim sampai Aceh. 

Walhasil, orang sesungguhnya telah terlena, tak menyadari bahwa 
nasionalisme kita telah berubah dari yang humanistis (nasionalisme 
sebagai "bunga di tengah taman internasionalisme" dalam wacana 
Soekarno, Hatta, Yamin) menjadi agresif, yang oleh seorang teman 
Aceh, Otto Syamsuddin Ishak, disebut "Nasionalisme Hitam", yaitu 
nasionalisme negara atau nasionalisme pusat (dalam istilah sosiolog 
Thamrin Tomagola) yang melahap semangat apa pun yang datang dari 
daerah. Nasionalisme Hitam yang berdalih kesatuan tapi tak peduli 
nilai-nilai kemanusiaan itu melahap unsur dan sesama warga dan unsur 
bangsa,  hingga menimbulkan berbagai musibah HAM. 

Soal nasionalisme sebenarnya tak perlu bersitegang dengan azas 
demokrasi dan kemajemukan (pluralisme), tetapi berkat nasionalisme-
negara yang "hitam" atau pun "kelabu", yang meledak sejak Orde Baru 
itu, masalah ini menjadi batu ujian bangsa. 

Berkat Nasionalisme Hitam Orde Baru yang masih terwariskan, ihwal 
persatoean menjadi ujian bagi azas demokrasi dan pluralisme. Juga 
sebaliknya: yang tersebut terakhir itu, menjadi ujian bagi 
persatoean. Sampai Gunawan Mohamad pernah mengatakan "bagi saya, 
kalau kita sampai kehilangan Aceh atau Papua tak apa, asalkan kita 
tetap menjadikan indonesia ini sebagai proyek pluralis". 

Hanya tsunami (Des. 2004) melalui Perdamaian Helsinki (15 Agustus 
2005), berhasil menangkal lahapan Nasionalisme Hitam. Andaikata tak 
ada tsunami, dilema Gunawan Mohammad tsb bisa menjadi isu nyata – 
terlepas dari suka atau tidak akan opsi opsi tsb. Cuma, celakanya, 
barisan Nasionalisme Hitam pasti dengan cepatakan melahap wacana 
demokratis dan pluralis itu dan mencapnya sebagai "separatis" dsb.

Soal kekejian "lahap melahap" yang dimungkinkan oleh "Nasionalisme 
Hitam" itu adalah persis kebalikan dari "upaya hidup bersama" 
(TEMPO) atau Republik Betang (Emil). Tampaknya ini terjadi karena 
dia dikendarai dan digalakkan oleh aparat bersenjata. 

Oleh karena itu, menyambut perayaan HUT republik ini, saya juga 
menghubungi sohib satu lagi, yaitu pengamat militer Indro Tjahjono 
di Jakarta, dengan menanyakan tentang balans reformasi TNI pada HUT 
ke-61 ini. 

Menurut Indro, TNI adalah institusi yang pertama sejak Soeharto 
mundur, yang menyerukan perlunya reformasi negara, termasuk 
reformasi aparat bersenjata. Namun kenyataannya reformasi TNI 
merupakan yang paling lamban, terlambat dan terkendala. 

Contoh menarik adalah kasus penimbunan 600an senjata oleh alm. 
Brigjen Koesmayadi baru baru ini. Boleh jadi ini adalah bagian dari 
bisnis gelap senjata dengan dalih perang di Aceh 2003, tetapi karena 
ini menyangkut prosedur pembelian senjata, maka jelas di sini 
terjadi kesalahan sistim, artinya, suatu kesalahan institusi yang 
tidak bisa hanya ditumpukan kepada oknum. Tapi, lagi lagi TNI 
mengisyaratkan ada kesalahan oknum dengan berdalih bahwa Koesmayadi 
bermaksud mendirikan museum senjata.

Sepanjang sejarahnya, ABRI atau TNI tak pernah menyebut terjadi 
kesalahan institusinya – juga ketika sejumlah komandannya terlibat 
pemberontakan (PRRI), terlibat penculikan (Wiji Thukul dan sejumlah 
aktivis 1997-98), kekerasan di TimTim, pembunuhan Theys Eluay di 
Papua, dsb. Setiap isu dan insiden selalu berakhir 
sebagai "kesalahan oknum" (perorangan aktivis, prajurit, milisi, 
separatis). Apa yang terjadi, tampaknya, nyaris selalu merupakan 
prestasi institusi, kecuali kesalahan-kesalahan, yang selalu 
dinyatakan sebagai "kesalahan oknum." 

Sebaliknya, kalau ada "kesalahan" dari tengah masyarakat, ini selalu 
dinyatakan sebagai "kesalahan institusi", bukan oknum. Lihat saja 
partai-partai yang terlarang (PSI, Masyumi, PKI), mereka dibubarkan 
dan tidak termaafkan karena selalu institusinya, bukan oknum-
oknumnya, yang dianggap bersalah. Walhasil, alangkah mengagumkan 
bahwa ketika republik ini menginjak usia 61 tahun, kita  seolah 
selalu memiliki militer sebagai "the corps that can do no wrong". 
(Saya ingat pernah menyimpulkan ini sekembali dari Papua, Des. 2000).

Menuju Republik Betang dengan kebersamaan yang majemuk, memang, tak 
mudah. Masih ada Republik Oknum di depan mata … 


Sumber: Kolom Ahad Radio Nederland Wereldomroep, 27 Agustus 2006






***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke