http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=263042&kat_id=16
Senin, 04 September 2006 Haruskah Impor Beras? Oleh : Khudori Peminat masalah sosial-ekonomi pertanian Tanpa perdebatan alot dan berkepanjangan seperti tahun lalu, didahului dengan rapat koordinasi nasional, pemerintah akhirnya memutuskan mengimpor beras sebanyak 210 ribu ton. Alasannya, cadangan beras pemerintah yang dikelola Perum Bulog, BUMN pengelola cadangan beras nasional, masuk katagori kritis: hanya 532 ribu ton. Jumlah ini jauh di bawah cadangan beras yang aman sebesar 1 juta ton. Menurut Direktur Utama Perum Bulog Widjanarko Puspoyo, stok saat ini merupakan titik terendah sepanjang sejarah. Padahal, stok itu masih mungkin berkurang lagi akibat permintaan dari daerah yang terkena bencana atau untuk keperluan operasi pasar. Di sisi lain, harga beras saat ini 12 persen lebih tinggi ketimbang tiga bulan lalu. Apabila dibandingkan dengan harga Agustus 2005, kenaikannya mencapai 58,23 persen. Lonjakkan harga beras masih mungkin terjadi pada September-Oktober, ketika memasuki bulan puasa yang disusul Idul Fitri. Bagi rezim politik di negara mana pun, lebih-lebih di Indonesia, stok pangan yang menipis dan harganya yang tinggi, merupakan ancaman destabilitas politik. Argumennya, pangan, terutama beras, pendorong utama inflasi. Inflasi menyebabkan naiknya suku bunga yang menghancurkan sektor riil. Segala hal dilakukan untuk memperkuat cadangan dan menurunkan harga pangan, termasuk impor. Tak peduli apakah cara itu menyengsarakan petani atau tidak. Perlukah? Pertanyaannya, untuk memperkuat cadangan pangan tersebut perlukah impor beras? Pertanyaan ini perlu dikemukakan karena, pertama, Departemen Pertanian yakin Indonesia tidak perlu impor beras. Alasannya, produksi beras 2006, menurut Angka Ramalan II (Aram II) BPS, mencapai 54,7 juta ton gabah kering giling (GKG) atau meningkat 600 ribu ton (1,11 persen) dibandingkan angka produksi padi 2005. Dengan tingkat produksi sebesar itu, setelah dikurangi kebutuhan konsumsi, kita surplus 120 ribu ton beras. Bagi Departemen Pertanian, yang perlu dilakukan adalah menekan harga beras pada harga wajar. Impor tidak perlu karena bersifat disinsentif kepada petani. Kedua, pengalaman selama 2002-2005 menunjukkan, impor beras bukan karena suplai beras domestik tidak mencukupi kebutuhan. Misalnya, tahun 2004 dan 2005 kita surplus beras masing-masing 459 ribu ton dan 49 ribu ton, tetapi kita mengimpor 632 ribu ton pada 2004 dan 304 ribu ton pada 2005. Anehnya, impor beras rentang 2002-2005 bisa 4-6 kali lipat dari yang seharusnya. Contohnya, impor tahun 2002 yang selisih produksi dan konsumsi beras domestik cuma 651.467 ton, tapi beras yang diimpor mencapai 3,7 juta ton atau 5,69 kali dari impor yang seharusnya (Irawan, 2006). Ini menunjukkan, kebijakan impor pemerintah selama ini menjadi justifikasi importir untuk memasukkan beras impor sebanyak-banyaknya, terutama lewat jalur ilegal. Bagi Indonesia yang 95 persen penduduknya bergantung pada beras, impor merupakan fenomena biasa, terutama saat produksi beras domestik tidak mampu mencukupi kebutuhan konsumsi. Masalahnya, data yang menjadi acuan dasar perlu-tidaknya impor beras selalu mengundang kontroversi. Jantung persoalannya ada keraguan validitas data. Ada kecurigaan, data dimuati vested interest. Sepanjang datanya benar dan validitasnya bisa dipertanggung-jawabkan, sebetulnya impor beras adalah hal lumrah. Sejauh ini usul impor ditopang dua alasan. Pertama, sejumlah daerah sentra produksi padi dilanda bencana yang berujung pusonya padi. Kedua, menipisnya cadangan beras nasional di Perum Bulog. Kukuhkah dua alasan ini? Soal kekeringan, data luas kekeringan sampai 24 Juli 2006 baru mencapai 134.378 hektare dengan luas puso 10.632 hektare. Luasan lahan yang kekeringan berikut yang puso ini tidak cukup signifikan. Kita pernah mengalami tiga kali kekeringan ekstrem, tahun 1994, 1997 dan 2003. Menurut perkiraan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), sebagian besar Pulau Jawa pada Agustus-November tahun 2006 sedikit lebih kering dibanding 2005. Desember baru memasuki fase puncak musim hujan. Kendati kondisi cuaca sedikit lebih kering pada musim kemarau, menurut BMG, wilayah Indonesia tidak akan mengalami bencana El Nino seperti tahun 1997, karena derajat terjadinya El Nino sangat kecil. Artinya, hingga puncak musim kemarau, September-Oktober, luas sawah yang puso tidak signifikan. Jika prediksi ini benar, dari sisi ini, batu pijak untuk mengimpor beras runtuh. Setiap usaha tani, termasuk padi, memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap cuaca dan iklim. Ketergantungan tersebut menghasilkan irama tanam dan panen yang tidak berubah dari tahun ke tahun. Produksi beras utama dihasilkan pada empat bulan panen raya (Februari-Mei), yang mencapai 60-65 persen dari total produksi nasional. Produksi berikutnya dihasilkan pada musim panen gadu pertama (Juni-September) dengan produksi 25-30 persen. Sisanya dihasilkan pada musim panen Oktober-Januari. Masalahnya, penyerapan beras oleh Perum Bulog jauh dari memadai. Jadi, rendahnya penyerapan beras oleh Perum Bulog inilah sebenarnya pangkal rendahnya cadangan beras nasional, bukan karena produksi domestik tidak mencukupi. Karena itu, impor beras yang bagi Perum Bulog merupakan keniscayaan, sebenarnya punya kelemahan mendasar. Pemerintah memang tidak bisa terlalu berharap kepada Perum Bulog untuk menyerap beras petani. Sejak berubah jadi Perum atas tekanan IMF, Mei 2003, berbagai privilege Bulog runtuh satu per satu. Bulog kini berwajah ganda: sebagai perbisnis yang harus profit juga pengemban tugas pelayanan publik (PSO) yang berpotensi merugi. Dari sisi bisnis, adalah pilihan yang rugi apabila Perum Bulog membeli gabah dan beras petani di atas HPP: Rp 1.730 per kilogram (kg) gabah kering panen (GKP) dan Rp 3.550 per kg beras. Serta-merta solusi impor dianggap paling layak secara bisnis. Padahal, impor memiliki mata rantai negatif yang panjang: larinya devisa, disinsentif terhadap petani, mubazirnya sumberdaya domestik dan yang lain. Sebetulnya, masalah ini bisa selesai apabila Perum Bulog menyerap beras sesuai target dengan harga berapa pun. Tapi karena dituntut untung, Perum Bulog lebih mengedepankan aspek bisnis. [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/