http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=154343


Pemerintah Gagal Atasi Kemiskinan
Oleh Paulus Mujiran 


Selasa, 5 September 2006
Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, jumlah penduduk miskin 
pada Maret 2006 sebanyak 39,05 juta atau 17,75 persen dari total 222 juta 
penduduk. Penduduk miskin bertambah 4 juta orang dari data terakhir Februari 
2005. Pemerintah berargumen tanpa Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan 
Bakar Minyak, jumlah penduduk miskin bisa mencapai 50,8 juta. Sebelumnya, 
Susenas Februari 2005 menunjukkan jumlah penduduk miskin sebesar 35,10 juta 
atau 15,97 persen dari total penduduk. 

Angka itulah yang dipakai pemerintah dalam pidato kenegaraan Presiden, yang 
kemudian memicu kontroversi di kalangan pengamat ekonomi. Pada Susenas Maret 
2006, garis kemiskinan dihitung sebesar Rp 152.847 per kapita per bulan, 
meningkat dibandingkan garis kemiskinan pada Februari 2005 yang ditetapkan 
sebesar Rp 129.108 per kapita per bulan. 

Kenaikan garis kemiskinan mencapai 18,39 persen, lebih tinggi daripada kenaikan 
inflasi umum yang tercatat 17,95 persen selama periode Februari 2005 hingga 
Maret 2006. Semakin tinggi garis kemiskinan berarti semakin banyak penduduk 
yang tergolong miskin. 

Komoditas makanan amat menentukan terhadap garis kemiskinan. BPS mencatat, pada 
Februari 2005, makanan berkontribusi 70,54 persen terhadap garis kemiskinan. 
Namun, kontribusi kebutuhan makanan naik hingga 74,99 persen pada Maret 2006, 
akibat naiknya harga barang kebutuhan pokok. 

Secara khusus, porsi pengeluaran untuk membeli beras terhadap garis kemiskinan 
mencapai 34,9 persen bagi penduduk pedesaan dan 25,9 persen untuk penduduk 
perkotaan. Padahal, harga beras rata-rata terus meningkat dari Rp 3,502 per 
kilogram pada Agustus 2005 menjadi Rp 5.091 per kilogram pada Agustus 2006. 

Jika tanpa pelaksanaan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar 
Minyak (PKPS-BBM), jumlah penduduk miskin akan membengkak menjadi 50,8 juta 
atau sekitar 22,8 persen dari total penduduk. Program itu diperhitungkan 
menahan sebagian penduduk tidak jatuh ke garis kemiskinan dari kategori hampir 
miskin. 

Selain melalui pemberian bantuan langsung tunai (BLT) pada sekitar 19,2 juta 
rumah tangga, pemberian beras untuk rakyat miskin (raskin) dan Bantuan 
Operasional Sekolah secara tidak langsung juga memperkuat kemampuan pemenuhan 
kebutuhan dasar penduduk miskin. 

Data-data itu kian menegaskan bahwa pemerintah belum berhasil mengatasi 
kemiskinan. Pemerintahan SBY-JK sudah berada dalam jalur yang benar mengatasi 
kemiskinan seperti menekan utang luar negeri dan memberantas korupsi, namun 
hasilnya belum bisa kita rasakan. 

Kemiskinan masih menjadi isu sentral di Indonesia. Meskipun kemiskinan pernah 
menurun drastis pada kurun waktu 1976-1996, 40,1 persen menjadi 11,3 persen 
dari total penduduk Indonesia, orang miskin meningkat kembali pada periode 
1996-1999. 

Akibat krisis multidimensional yang menerpa Indonesia, jumlah penduduk miskin 
pada periode 1996-1998, meningkat tajam dari 22,5 juta jiwa (11,3 persen) 
menjadi 49,5 juta jiwa (24,2 persen) atau bertambah sebanyak 27,0 juta jiwa 
(BPS, 1999). Upaya mengatasi kemiskinan telah dilakukan melalui berbagai 
program, misalnya, program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Inpres ini, yaitu 
Inpres No 5/1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan. 

Pada saat terjadinya krisis ekonomi yang kemudian berlanjut menjadi krisis 
multidimensional, diluncurkan program daerah dalam mengatasi dampak krisis 
ekonomi (PDM-DKE) yang kemudian dilanjutkan dengan program pengentasan 
kemiskinan perkotaan (P2KP). Meskipun masyarakat miskin telah mendapatkan 
bantuan program pengentasan kemiskinan, tapi hasilnya tidak seperti yang 
diharapkan. 

Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan 
perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan, karena pada dasarnya 
pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan 
masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus 
menjadi masalah yang berkepanjangan. 

Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu 
rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di 
Indonesia tetap tinggi. 

Mengapa? Karena, pertama, program-program penanggulangan kemiskinan selama ini 
cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Hal 
itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman 
sosial (JPS) untuk orang miskin. 

Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena 
sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan 
ketergantungan. Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan 
pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. 

Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk 
menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan 
penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial 
ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya. 

Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan 
kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab 
kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak 
didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal. 

Upaya seperti itu akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada, 
karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan 
ketergantungan. Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan 
pemerintah justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. 

Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk 
menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan 
penduduk yang bersifat permanen. 

Selain itu yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan 
adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu 
sendiri, sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada 
isu-isu kemiskinan. Lemahnya koordinasi dan tingginya ego sektoral menjadi 
penyebab mengapa kemiskinan terus terpelihara.*** 

Penulis adalah Ketua Pelaksana Yayasan 
Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata, Semarang 

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke