Refleksi: Apakah tidak lebih baik pulaunya dijual dari pada export pasir kepada Singapura?
http://www.gatra.com/artikel.php?id=97714 Tanah Pertiwi untuk Tetangga Tak ada rotan akar pun jadi. Begitu agaknya semboyan yang jadi pegangan para kontraktor reklamasi pantai di Singapura. Maka, saat ekspor pasir laut secara resmi dibekukan oleh Pemerintah Indonesia sekitar akhir 2003, mereka pun memburu pasir darat. Sasarannya tak jauh-jauh juga, masih dari sekitar Pulau Batam, Karimun, Belait, Bulan, dan Combol, di radius 75 kilometer dari pantai Singapura. Kota cantik di ujung Selat Malaka itu memang selalu lapar akan pasir urukan. Reklamasi di Singapura telah berjalan nyaris tanpa jeda hampir 35 tahun terakhir ini. Hasilnya, wilayah daratan Singapura telah mekar dari 490 kilometer persegi menjadi kini 690 kilometer persegi --40 kilometer persegi lebih luas dari Jakarta. Dalam dua tiga tahun terakhir ini, pasir urukan itu diambil dari darat. Akibatnya, pulau-pulau kecil di sekitar Batam-Karimun jadi berantakan akibat penggalian. Lihat saja ke Pulau Sebait, sekitar satu jam dari Sekupang, Batam, dengan perahu (motor) pancung. Dari kejauhan, Sebait tampak merah gersang dan meranggas. Kehijauan bakau yang dulu menghiasi tepian pantai kini berubah bongkahan merah bumi yang terkelupas. Pulau seluas 150 hektare itu itu tampak porak poranda. Ada gundukan-gundukan tanah galian di satu sisi, dan cekungan-cekungan tanah di sisi lain. Bahkan kini Sebait nyaris terbelah dua. "Kalau musim utara datang di awal tahun, air pasang akan merendam bekas-bekas galian itu dan pulau kami pun terbelah dua," ujar Muhammad Nasir, Ketua RT 02 Dusun Pulau Buluh Patah, di Pulau Sebait, Kecamatan Moro, Kabupaten Karimun. Beberapa hari ini tidak ada aktivitas di pulau itu. Beberapa orang terlihat di bedeng dekat tumpukan pasir yang siap diangkut. Tapi, aksi bongkar-muat sedang istirahat. "Setelah polisi datang menyegel tempat ini, kegiatan terhenti," kata Amat, petugas lapangan PT Surya Cipta Rezeki (SCR), yang mengantongi izin menggarap pulau itu. Sudah 20 tahunan perusahaan milik Lis Rahayu itu mengeduk pasir di Pulau Sebait. Kini, bermodalkan izin Dinas Pertambangan Kabupaten Karimun, Surya Cipta menggaruk pasir di area 63 hektare. Kata Amat, sebagian lahan pulau itu sudah dibebaskan oleh PT Surya Cipta. "Pada 1990, masyarakat mendapat ganti rugi Rp 300 per meter," ungkap ayah tiga anak itu. Saat ini harga tanah naik menjadi Rp 600 per meter persegi. Tanah kebun dibanderol Rp 1.500 per meter persegi. Lonjakan harga itu terjadi setelah penambangan pasir laut terhenti. Jelas, pasir laut lebih murah. Harga belinya ke pemerintah Indonesia hanya S$ 1,30 sampai S$ 1,6 per meter kubik. Kontraktor reklamasi bila membelinya dari pemasok sekitar S$ 3-S$ 4 saja. Bandingkan, kini mereka harus membelinya dengan harga S$ 6-S$ 7. Toh, harga itu ditubruknya pula. Maka, tak hanya di Pulau Sebait, aktivitas penambangan juga terlihat jor-joran di Pulau Cik Lim, bagian barat daya Pulau Buluh Patah. Dua perusahaan besar, Griya dan Baskara, berebut menggaruk 200 hektare lahan dari 4.000 hektare daratan di pulau tersebut. Ada dua pelabuhan pasir di wilayah itu. Satu di barat daya, lainnya di tenggara. Tampak tujuh unit lori hilir-mudik menempuh jarak satu kilometer dan menumpahkan pasir ke tempat penampungan di bibir pantai. Di bukit, tampak beberapa eskavator sedang menguliti tubuh Ibu Pertiwi. Sesekali terdengar suara tembakan air untuk menggerus pasir di lereng bukit. Pasir tak langsung diangkut ke bibir pantai karena harus dicuci dulu. "Satu hari kita menghabiskan 8 ton air untuk pencucian pasir," ujar Amat, yang juga menjadi mandor di situ. Dua kolam besar, masing-masing 6 hektare, menjadi arena pencucian. Satu kolam untuk cadangan air, yang lain untuk menampung limbah lumpur, yang kemudian dibuang ke laut dengan pipa 20 sentimeter. Kondisi itu mendatangkan keluhan 200 kepala keluarga Dusun Pulau Buluh Patah, yang menggantungkan hidup dari melaut. "Limbah itu sangat mengganggu kami, karena ikan-ikan pada lari," kata Raja Rahmat, Ketua Koperasi Mitra Nelayan Dusun Pulau Buluh Patah, kepada Gatra. Dari pulau-pulau itu, pasir diusung ke Singapura. Kata Amat, Surya Cipta Rezeki mengirim pasir ke "negeri singa" rata-rata empat tongkang per bulan. Satu tongkang mengangkut 2.700 meter kubik pasir. Griya dan Baskara, yang mulai beroperasi 12 tahun silam, malah sanggup mengirim 10 tongkang per bulan. Jadi, dalam sebulan terkirim 37.800 meter kubik pasir ke Singapura hanya dari tiga perusahaan. Di Kabupaten Karimun, menurut Zainuddin, Wakil Ketua Komisi C DPRD setempat, ada sembilan perusahaan penambangan pasir. Yang tercatat, sebulan terkirim 45 tongkang pasir. "Bisnis pasir ini penuh akal-akalan. Mengeruk 10 tongkang, didaftarkan dua, sisanya diselundupkan," ujar Ketua Fraksi PDI Perjuangan ini. Dalam peraturan daerah, pajak ekspor ditetapkan Rp 3.500 per meter kubik. Zainuddin menghitung, jika bisa melakukan pengawasan secara ketat, pajak ekspor pasir bisa mencapai Rp 500 juta per bulan, belum termasuk royalti. Toh, menurut Amat, dari hasil pasir itu pengusaha menyetor Rp 800.000 per tongkang untuk dana pengembangan masyarakat. "Itu belum untuk aparat di lapangan," ungkapnya. Hariansyah, Direktur Kaliptra Sumatera, lembaga nonpemerintah yang mengawasi penambangan, mengatakan bahwa bisnis pasir di sekitar Batam-Karimun itu penuh trik. "Kalau tak ada permainan, nggak mungkin bisnis ini berjalan mulus," katanya. Maksudnya, angka-angka ekspor yang dilaporkan jauh berbeda dari kenyataan. Dari hasil pantauan lembaganya, Hariansah menyimpulkan, umumnya pasir asal Riau diboyong ke Singapura melalui jalur gelap. Volumenya mencapai 2 juta ton (senilai Rp 11,33 milyar) per hari. Yang tercatat hanya tercatat 0,93 juta ton sehari. "Jadi, ada selisih 1,10 juta ton. Berarti Rp 2,24 trilyun uang negara menguap dari pasir per tahun," kata Hariansah. Bupati Bengkalis Syamsurizal memilih tak memberikan izin penambangan. "Pasir dikeruk, tapi hasilnya tak banyak mengucur ke daerah. Nelayan kita sengsara lantaran ikan pada kabur. Lebih baik nggak usahlah," ujarnya ringan. Belum lagi, katanya pula, lingkungan jadi porak poranda. Itu pula yang dirasakan Wakil Bupati Karimun Aunur Rafik. Ia kesal, para penambang tak kunjung melakukan reklamasi dan reboisasi. "Seharusnya saat ini sudah dilakukan, tetapi pihak perusahaan tak memberi laporan," kata Rafik kepada Indra Abdi dari Gatra. Tapi, ya mau mereklamasi dengan apa, kalau pasirnya sudah bestatus tanah Singapura? Ainur memang mengancam akan memerkarakannya. Tapi, di lapangan tak ada tanda-tanda reklamasi. Ekspor pasir ke Singapura itu memang urusan pelik. Ketika memutuskan menyetop ekspor pasir laut akhir 2003, Presiden (saat itu) Megawati Soekarnoputri, mensyaratkan tiga hal. Pertama, garis batas wilayah Indonesia-Singapura harus jelas dulu. "Ini soal kedaulatan," ujarnya suatu kali kepada Gatra. Yang kedua, secara teknis penambangan itu pasir laut tidak menimbulkan dampak lingkungan. Ketiga, harga yang wajar. Maka, tawaran kenaikan harga sampai S$ 3,5 per meter kubik pun ditolaknya. "Lagi pula, kalau Singapura terus tumbuh, dia nanti nggak butuh Batam, Bintan, atau Karimun," ujarnya. Langkah itu dilanjutkan Menteri Kelautan Freddy Numberi. "Ekspor pasir hanya menguntungkan Singapura," ujarnya. Sebagai Menteri Kelautan, ia menolak memberikan izin penambangan pasir laut. Tapi, kini urusan galian tambang pasir bukan urusan pemerintah pusat. Otoritas ada di pemerintah daerah. Menjual pasir ke Singapura pun bukan hal terlarang. Soal kedaulatan dan lain-lain, siapa peduli. Heru Pamuji, dan Abdul Aziz (Pekanbaru) [Laporan Khusus, Gatra Edisi 43 Beredar Kamis, 7 September 2006] [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/