REFLEKSI: Kalau di dekat pusat kekuasaan negara, di ibukota negara tempat tumpukan kekayaan, mereka hidup dari sampah. Apakah arti kemerdekaan negara buat mereka? Kalau di dekat pusat kekuasaan negara mereka diabaikan dan dilupakan, bagaimana dengan rakyat-rakyat di daerah yang jauh di mata dari kekuasaan negara?
KOMPAS Senin, 11 September 2006 Pemulung Sampah Mereka Bertahan Demi Mengisi Perut Keluarga Cokorda Yudistira BELASAN pemulung tampak tak peduli teriknya matahari yang memanggang bukit sampah di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Bantar Gebang hari Sabtu (9/9). Mereka mengais-ngais sampah tanpa merasa jijik. Tangan mereka dengan lincah memainkan gancu untuk mengais, mengorek, dan mengangkat barang-barang dari tumpukan sampah yang berbau menyengat hidung. Ketika jari-jari besi alat backhoe terangkat dari timbunan sampah, para pemulung itu dengan cekatan memilih sampah-sampah yang bagi mereka bernilai jual. Para pemulung ini tak ambil pusing kesehatan mereka terganggu akibat terlalu sering menghirup bau busuk yang menyengat itu. Mereka juga seakan-akan terbiasa dikerumuni lalat. Sepertinya mereka tidak punya rasa takut sewaktu-waktu kaki mereka amblas di lautan sampah atau tiba-tiba tumpukan sampah itu longsor dan menyeret mereka ke bawah. "Sudah biasa, Mas," ujar salah seorang pemulung dengan nada ringan sambil tetap mengayunkan gancunya di sampah yang menggunung di TPA Bantar Gebang. TPA Bantar Gebang merupakan titik akhir perjalanan ribuan ton sampah, yang dihasilkan warga DKI Jakarta setiap harinya. Di kawasan seluas lebih dari 100 hektar ini, menjulang bukit-bukit sampah yang tingginya hampir dua kali lipat tinggi tiang listrik yang berdiri tegak di sekitar bukit sampah itu. Jutaan meter kubik sampah sudah ditimbun di TPA Bantar Gebang sejak kawasan ini resmi dijadikan tempat pembuangan akhir sampah DKI Jakarta mulai tahun 1989. Menjanjikan Jatuhnya tiga korban meninggal akibat longsornya ribuan ton sampah di zona III A TPA Bantar Gebang pada Jumat lalu ternyata tidak membuat tempat pembuangan sampah ini langsung sepi dari kehadiran para pemulung. Bahkan, hanya berselang beberapa jam setelah bencana itu terjadi, puncak zona III A ini sudah kembali didatangi belasan pemulung. Para pemulung itu seolah-olah berlomba mengumpulkan sampah di lereng bukit sampah yang tidak begitu landai. Sementara di atas dan di samping mereka, jari-jari besi backhoe sedang berseliweran memindahkan timbunan sampah. Tanpa mengenakan penutup hidung, mereka mampu memulung berjam-jam di bukit sampah itu. Seperti halnya Rasnoto. Lelaki asal Indramayu, Jawa Barat ini mengaku memulung di TPA Bantar Gebang setelah pekerjaannya sebagai petani di kampungnya tidak memberikan hasil yang memadai. Meski demikian, Rasnoto mengaku masih sering pulang kampung untuk kembali mencangkul. "Saya memilih menjadi pemulung karena (memulung) ini pekerjaan yang bebas. Kami tidak ada yang mengatur harus kerja mulai jam berapa, berapa jam, dapatnya berapa banyak. Kalau capek, tinggal berhenti dan istirahat. Kalau sudah segar, kerja lagi," ujar Rasnoto yang tinggal satu rumah bersama Sonip, salah seorang pemulung yang tewas terseret dan tertimbun longsoran sampah. Pernyataan nyaris sama muncul dari sejumlah pemulung lainnya. Jawaban lainnya yang juga sering diungkapkan lebih bernada putus asa. "Mau kerja apa lagi? Yang penting (memulung) ini kerja halal," kata Mada, seorang pemulung lainnya. TPA Bantar Gebang seolah menjadi tanah harapan bagi sedikitnya 6.000 pemulung yang berasal dari berbagai wilayah, terutama di Jawa Barat, bahkan ada yang datang dari Sumatera Utara. Timbunan jutaan ton sampah di TPA Bantar Gebang memberikan peluang bagi para pemulung untuk dapat mengasapi dapur keluarganya. "Mereka (pemulung) itu ibaratnya berani mengambil kesempatan meski peluang itu berada di depan bahaya," kata Abdul Rahman Jambor, Ketua Forum Komunitas Pemulung Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Karawang (Jabodetabekka), dalam perbincangannya dengan Kompas. Bukan hanya itu, para pemulung ini, secara tidak langsung, juga sudah mengurangi sedikit beban sampah yang harus ditanggung TPA Bantar Gebang. Kemiskinan Tidak hanya pekerjaannya yang membuat para pemulung ini begitu lekat dengan kemiskinan. Kehidupan keseharian mereka pun menunjukkan kondisi tersebut. Rasnoto, misalnya, tinggal bersama istri dan anak-anaknya di sebuah rumah kecil dan halamannya dipenuhi sampah-sampah plastik yang dijemur. "Rumah dari Bos", demikian Rasnoto menyebut sebuah bangunan berukuran sekitar 4 x 6 meter persegi, yang dibagi menjadi tiga kamar dan sebuah lorong yang dijadikan dapur. Separuh dinding rumah itu terbuat dari potongan papan tripleks, dan lantainya ditutupi lembaran plastik. Di rumah itu, Rasnoto dan keluarga tinggal bersama dan berbagi kamar dengan Sonip, kerabat Rasnoto, yang juga tinggal bersama istrinya. Di halaman rumahnya, yang tak seberapa luas, tergeletak karung-karung berisikan kantong-kantong plastik. Karung-karung itu akan disetor ke bos mereka. Biasanya ditimbang dua minggu sekali. Paling banyak enam kuintal. Itu pun didapat dari memulung pada siang-malam, hingga dini hari. Dibantu penerangan dari bekas lampu motor, dengan daya listrik dari aki, Rasnoto mengaku dapat memilih dan mengumpulkan barang-barang, yang menurutnya dapat dijual kembali. "Dua minggu bisa dapat Rp 700.000, tetapi itu belum dipotong uang makan. Bersihnya, paling-paling Rp 400.000," ujar Rasnoto. Sepintas, uang yang mereka dapatkan dari memulung memang terlihat besar, hampir setara upah minimum buruh pabrik. Tetapi dibanding ancaman bahaya, yang harus mereka hadapi, mulai dari gangguan kesehatan bahkan mungkin kehilangan nyawa, jumlah uang itu mungkin jauh dari mencukupi. Namun desakan untuk tetap dapat mengisi perut dan menghidupi keluarga, jalan memulung pun harus dilakoni. Keberadaan para pemulung di TPA Bantar Gebang, menurut Ketua Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Persampahan Nasional (Zero Waste Indonesia) Bagong Suyoto, selayaknya diberdayakan oleh pengelola TPA Bantar Gebang dan juga pemerintah. Pada satu sisi, para pemulung ini ikut mengurai sampah-sampah menjadi benda bernilai ekonomi, dan pada saat bersamaan, memulung merupakan pekerjaan sehingga mengurangi jumlah pengangguran. "Paling tidak, kehadiran para pemulung di TPA Bantar Gebang ini ikut membantu pengelola TPA. Secara tidak langsung pula, mereka adalah pahlawan yang sudah membantu warga Jakarta. Tolong carikan cara agar pemulung ini dapat bekerja dengan lebih aman," ujar Bagong. (cokorda [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/