Pesantren: Dulu dan Sekarang

Sebelum sistem pendidikan sekolah masuk ke Nusantara, bangsa  
Indonesia telah mengenal sistem pendidikan yang disebut Pesantren. 
Pesantren pada mulanya bersifat elit, santrinya terdiri dari anak-
anak orang kaya, dan keluarga kerajaan. Calon raja dari kerajaan 
Jawa Islam pada umumnya terlebih dahulu disekolahkan di Pesantren. 
Sistem pendidikan Pesantren zaman dahulu berpusat kepada figur 
seorang ulama; biasanya disebut Kyai. Sosok seorang kyai pengasuh 
pesantren pada masa awal mencerminkan ketinggian ilmu agama, luasnya 
pengalaman, darah biru, kaya dan "sakti". Oleh karena itulah maka 
kedudukan kyai sebagai sentral sistem menjadi sangat efektif. Santri 
ada yang bermotif mencari ilmu (thabul `ilmi), ada yang lebih 
didorong untuk mencari "ngelmu" olah kanuragan dan ada juga yang 
lebih bermotif "ngalap berkah" atau tabarrukan. Karena elit, maka 
santri merupakan simbol sosial, dihormati dan diperebutkan calon 
mertua. Pusat perhatian sistem pendidikan pesantren kuno lebih pada 
mendidik santri agar menjadi "insan kamil"dan sama sekali belum 
menghubungkan dengan konsep pasar tenaga kerja. Sosok kyai pengasuh 
pesantren juga sekaligus sebagai "kurikulum" dari pesantrennya. 
Artinya seluruh program akademik sebuah pesantren yang pada umumnya 
berupa pengkajian kitab klassik, ditentukan oleh klassifikasi 
keilmuan dari kyainya. Jika kyainya ahli ilmu fiqh, maka kitab-kitab 
yang dikaji kebanyakan kitab fiqh, jika kyainya ahli ilmu tasauf 
maka kitab-kitab yang dikaji juga kitab-kitab tasauf, begitu 
seterusnya. Prinsip ini sebenarnya sangat modern, seperti yang 
berlaku di universitas-universitas terkenal di Barat, yakni bahwa 
pembukaan suatu program studi tergantung ada tidaknya guru besar 
dari cabang keilmuan tersebut.

Lokasi Pesantren pada mulanya berada di dekat pusat kekuasaan. 
Seandainya tidak terjadi sejarah kolonialisme yang berkepanjangan di 
Indonesia, maka Pesantren itulah yang menjelma menjadi Universitas, 
seperti universitas-universitas di Barat yang pada mulanya 
merupakan "pesantren" gereja. Penjajahan Barat yang terlalu lama, 
mengubah peta dimana pesantren justru berada di kampung-kampung, 
jauh dari pusat kekuasaan (penjajah), karena para kyai secara 
konsisten melakukan konfrontasi budaya dengan penjajah kafir.
Ketika Indonesia merdeka, masyarakat pesantren belum sepenuhnya 
terbebas dari semangat konfontasi dengan budaya Barat. 
Penyelenggaraan hidup berbangsa oleh pemerintahan RI yang belum bisa 
mengganti  sistem Belanda yang telah mapan (termasuk sistem 
pendidikan), memperpanjang masa konfrontasi budaya tersebut, 
sehingga pesantren tidak berusaha masuk ke   dalam sistem pendidikan 
nasional, tidak tercantum dalam GBHN dan tidak nampak dalam APBN.  
Sistem madrasah, apalagi madrasah diniyyah juga hanya diakui 
setengah hati oleh sistem nasional, yang implikasinya nampak pada 
perbedaan anggaran negara yang sangat "jomplang". Tersisihnya 
pesantren dan madrasah dari sistem pendidikan nasional nampaknya 
bersumber dari dua pihak sekaligus. Pertama ; sebagian "kaum 
muslimin" secara budaya masih memandang sekolah umum sebagai sekolah 
kafir warisan penjajah dan tidak mendatangkan pahala. Kedua; ada 
oknum dalam elit pemerintahan kita yang secara sadar berusaha 
menghambat kemajuan masyarakat pesantren dan madrasah.

Pesantren Zaman Orba
Bersamaan dengan dinamika politik dimana Golkar membutuhkan dukungan 
masyarakat Pesantren, mulailah terjadi interaksi sosial dimana 
Pemerintah sedikit menaruh perhatian kepada dunia pesantren, dan 
dari kalangan pesantren sendiri muncul kaum intelektual santri yang 
secara sadar berusaha meningkatkan kualitas pesantren sekaligus 
berusaha memperoleh hak pembiayaan dari anggaran belanja negara. 
Bermula datang gagasan untuk mengajarkan ketrampilan di pesantren, 
misalnya peternakan ayam, kemudian datang lagi SKB tiga Menteri 
(Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Menteri Dalam Negeri, yang 
menyetarakan Madrasah dengan SLP/SLA. Dinamika ini juga nampak pada 
sikap IAIN terhadap pesantren. Sekitar tahun 60-70, pesantren 
memiliki kontribusi yang cukup besar dalam memasok calon mahasiswa 
IAIN. Tetapi, sesuai dengan dinamika politik dan dinamika sistem 
pendidikan nasional, IAIN menolak alumni pesantren Gontor misalnya, 
hanya karena ijazah Gontor tidak diakui Pemerintah, padahal untuk 
menjadi mahasiswa IAIN, kualitas allumnus Pesantren Gontor diakui 
lebih baik dibanding lulusan Madrasah Aliyah versi SKB 3 Mentri.

Pesantren Sekarang
Sekarang tipologi pesantren dapat dibagi menjadi empat kelompok. 
Pertama pesantren yang tetap konsisten seperti pesantren zaman dulu, 
disebut salafi. Kedua Pesantren  yang memadukan sistem lama dengan 
sistem pendidikan sekolah, disebut pesantren "modern". Ketiga 
Pesantren yang sebenarnya hanya sekolah biasa tetapi  siswanya 
diasramakan 24 jam. Keempat pesantren yang tidak mengajarkan ilmu 
agama, karena semangat keagamaan sudah dimasukkan dalam kurikulum 
sekolah dan kehidupan sehari-hari di asrama.

Bagaimanapun bentuknya, meski pesantren masih ditengok sebagai 
nostalgia, kelemahan kebanyakan pesantren dewasa ini justeru 
terletak pada lemahnya figur kyai, baik kelemahan 
keilmuan, "keanggunan kepribadian" maupun distorsi lingkungan.
Era reformasi dimana kegagalan sistem pendidikan nasional terungkap 
secara transparan mengusik kembali keunggulan pesantren sebagai 
sistem pendidikan. Sejalan dengan meningkatnya jumlah SDM santri, 
yakni allumnus pesantren yang dewasa ini telah bergelar master , 
Doktor, dan Profesor, semangat mencari format baru sistem pendidikan 
pesantren sebagai pendidikan alternatif cukup tinggi. Optimisme 
terhadap pesantren justru sangat menonjol pada kelompok intelektual 
yang bukan alumnus pesantren. Terlepas dari subyektifitas pendapat, 
pada hemat kami, menengok sistem pesantren sebagai alternatif dari 
kegagalan sistem pendidikan nasional sebenarnya sangat wajar, dan 
relevan. Insya Allah.   

Wassalam,
agussyafii
http://mubarok-institute.blogspot.com

==================================================================
Mubarok Institute 
Center For Indigenous Psychology 
(Pusat Pengembangan Psikologi Islam) 
diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, 
Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA
email: [EMAIL PROTECTED]
==================================================================









***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Reply via email to