http://www.indomedia.com/poskup/2006/09/12/edisi12/opini.htm

Ekonomi kerakyatan:

Antara kemauan dan komitmen

Oleh Fred Benu *

TEMA tentang: "Ekonomi Kerakyatan" ini kembali saya angkat untuk yang ke sekian 
kalinya ke media publik untuk menggagas pikiran konstruktif tentang perlunya 
kita benar-benar melakukan tindakan keberpihakan terhadap perekonomian rakyat 
berciri usaha mikro, kecil, menengah, dan marginal. Tulisan ini merupakan 
bagian dari tulisan lengkap yang saya persiapkan untuk disampaikan pada forum 
dialog tentang "Pemantapan Wawasan Kebangsaan" pada tgl 13 September 2006 di 
Kupang yang diselenggarakan oleh Sekretariat Daerah Nusa Tenggara Timur bekerja 
sama dengan LEMHANAS.

Isu tentang ekonomi rakyat bukan isu baru. Isu ini sebenarnya sudah lama 
diangkat oleh para pemikir ekonomi Indonesia yang masuk dalam kelompok antiarus 
utama (main stream pengagum aliran liberalisme dan kapitalisme). Para peneliti 
ekonomi rakyat sering mengatakan bahwa walaupun Indonesia telah merdeka selama 
61 tahun, tapi perekonomian Indonesia masih tetap terpola dalam ekonomi 
dualistik. Sama seperti yang telah lama dikemukakan oleh JH Boeke (1910), 
ekonomi dualistik adalah ekonomi yang tidak homogen tetapi hampir di semua 
sektor terpilah menjadi dua, yaitu sektor ekonomi modern/formal dan sektor 
ekonomi tradisional/informal. Yang kedua disebut Bung Hatta tahun 1931 sebagai 
sektor (kegiatan) ekonomi rakyat. Jadi istilah ekonomi rakyat ini walaupun 
tidak tepat benar disebut sebagai sektor ekonomi tradisional/informal, tapi 
sudah diangkat oleh salah satu founding father kita jauh sebelum kita semangat 
dan sibuk untuk membicarakan hal yang sama saat ini.

Konsep tentang ekonomi rakyat ini kembali menghangat seiring dengan pengalaman 
"berharga" yang dialami oleh bangsa Indonesia saat harus menghadapi kenyataan 
keterpurukan perekonomian nasional yang dimulai tahun 1998. Pakar-pakar ekonomi 
makro saat itu menyatakan ekonomi Indonesia telah "mati secara aneh dan 
tiba-tiba" (the strange and sudden death of a tiger). Semua pihak, khususnya 
para pakar ekonomi kita sibuk mencari solusi terhadap keterpurukan dimaksud, 
dan banyak di antara kita yang setuju untuk mengangkat kembali konsep 
pembangunan perekonomian nasional berbasis rakyat ini sebagai fondasi 
pembangunan ekonomi bangsa.

Cerita di atas dikemukakan untuk menyadarkan kita bahwa sebenarnya pembangunan 
ekonomi rakyat sebagai fondasi pembangunan ekonomi bangsa telah mendapat 
penguatan kemauan politik sejak lama. Tapi kemudian kemauan politik untuk 
membangun perekonomian rakyat ini menjadi sirna, khususnya pada masa 
kepemimpinan Orde Baru yang sangat mengidolakan kapitalisme dalam pembangunan 
ekonomi nasional seperti banyak termuat dalam text book ekonominegara-negara 
barat.

Saat ini para pemikir ekonomi nasional juga terbagi dalam dua kutup pemikiran. 
Kutup yang masih mengidolakan peran liberalisme dan kapitalisme, dengan 
penekanan pada liberalisasi perdagangan dan pentingnya massive capital inflow, 
sebagai instrumen pemulihan dan pendongkrak perekonomian nasional. Kutup yang 
satu justru anti liberalisasi perdagangan dan menolak habis peran modal asing 
dalam membangun perekonomian. Mereka cenderung menolak privatisasi BUMN dan 
bantuan IMF, World Bank dan CGI karena dianggap menggiring bangsa ini dalam 
jeratan hutang yang sangat memberatkan.

Jika kita agak sedikit moderat, maka tidak perlu mengurungkan diri dalam kedua 
kutup ekstrim dimaksud. Tidak total liberalisme dan kapitalisme dan juga tidak 
total anti liberalisme dan kapitalisme. Ini bukan "Idiologi Ekonomi Bunglon". 
Bagaimanapun kita masih memerlukan adanya aliran modal luar untuk menggenjot 
perekonomian makro kita. Dan mungkin agak sedikit naif kalau kita masih mencoba 
untuk menghindar dari liberalisasi perdagangan dunia. Cina saat ini yang 
menjadi sumber rujukan pembangunan ekonomi banyak negara berkembang bukan 
karena mereka sama sekali anti terhadap perdagangan bebas maupun anti aliran 
modal asing ke dalam negeri. Tapi keberhasilan Cina terjadi karena pemerintah 
negara komunis ini masuk dalam sistem perdagangan bebas dengan melakukan 
pembelaan terhadap perekonomian rakyatnya. Buktinya banyak pemodal asing yang 
banyak melakukan relokasi kapital ke Cina karena dianggap menyediakan pasar 
yang prospektif untuk bersaing dalam perdagangan bebas dan mempunyai basis 
perekonomi (rakyat) yang sangat kuat. Saya pikir Malasya juga sama. Walaupun 
Malaysia menolak bantuan IMF dengan mengatakan bahwa bantuan IMF seperti "madu 
beracun", tapi mereka tetap menggenjot perekonomian nasional lewat kinerja 
capital inflow yang sangat baik dan keberpihakan terhadap pelaku ekonomi 
(rakyat) pribumi.

Saat ini kita kembali menggagas kemauan politik untuk mengembangkan konsep 
ekonomi rakyat sebagai basis pembangunan ekonomi nasional. Bagi saya gagasan 
dimaksud sah-sah saja, bahkan harus terus digagas dalam berbagai forum publik. 
Tapi saya yang lebih penting saat ini bukan soal gagasan kemauan politik 
(political will) pemerintahan untuk memperkuat perekonomian rakyat, tapi soal 
gagasan komitmen politik (political commitment). Kemauan politik sudah menjadi 
wacana pembangunan nasional maupun wacana pembangunan ekonomi daerah saat ini. 
Hampir setiap daerah otonom saat ini gemar mewacanakan program pemberdayaan 
ekonomi rakyat. Tapi kemauan politik saja tidaklah cukup untuk menjadikan 
perekonomian rakyat sebagai basis pembangunan ekonomi nasional jika tidak ada 
komitmen politik. Saya mencatat paling sedikit ada lima indikator bahwa kita 
kurang komit terhadap pembangunan ekonomi rakyat.

Pertama, perbankan nasional maupun perbankan daerah belum benar-benar "tulus" 
untuk membantu menumbuh-kembangkan perekenomian rakyat. Kita bolehpertanyakan 
berapa besar dana yang benar-benar sudah dikucurkan (bukan sekadar disediakan) 
bagi kegiatan ekonomi produktif untuk sektor perekonomian rakyat dibandingkan 
dengan kucuran untuk para pengusaha besar atau perusahan besar.

Kita juga mencatat bahwa sudah sejak lama Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan 
SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dengan rangsangan menarik bagi perbankan 
menerima bunga yang cukup tinggi (bahkan pernah mencapai 17.5 %/tahun) jika 
mampu menghimpun dana-dana dari daerah dan ditransfer ke Jakarta. Saya tidak 
menuduh, tapi rasanya cukup rasional untuk berpikir bahwa perbankan di daerah 
lebih tertarik untuk menghimpun dana-dana pihak ke 3 yang akan ditransfer ke 
Jakarta dengan jaminan bunga yang cukup tinggi dibandingkan dengan menyalurkan 
dana dimaksud bagi pelaku ekonomi rakyat kecil dengan konsekuensi risiko 
kegagalan. Saya juga tidak ingin mengangkat cerita kesulitan perbankan daerah 
memperoleh proposal pelaku ekonomi rakyat yang bankable, sebagai alasan 
kurangnya kucuran kredit bagi sektor ekonomi rakyat. Tapi yang jelas perbankan 
menggunakan alasan ini untuk menghadirkan lembaga seperti KKMB (Konsultan 
Keuangan Mitra Bank), yang dibiayai oleh sebagian bunga kredit yang dibayar 
penerima kredit (debitor). Mubyarto justru mengusulkan kehadiran lembaga KKMER 
(Konsultan Keuangan Mitra Ekonomi Rakyat) untuk membantu pelaku ekonomi rakyat 
kita dalam memberikan usulan kredit sekaligus pemanfaatan, dan pengembaliannya 
(Mubyarto, 2004). Mengapa tidak?

Kedua, sentralisasi ekonomi. Walaupun otonomi daerah sudah memberikan ruang 
yang cukup terbuka bagi pemangku kepentingan di daerah untuk membangun daerah 
sesuai dengan potensi yang dimiliki, namun catatan pada tingkat nasional 
menunjukkan bahwa lebih dari 90 % uang dari daerah ditarik ke pusat. Sedangkan 
yang dikembalikan ke daerah hanya 25% dari pendapatan dalam negeri. Menurut 
perhitungan para ahli ekonomi makro, uang yang didistribusikan itu sekitar Rp 
100 triliun yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus 
(DAK). Pada saat yang sama total uang yang digunakan membayar utang (termasuk 
bunga utang dan angsuran pokok) sekitar Rp123 triliun per tahun. Atau sekitar 
33% anggaran itu hanya untuk bayar utang tiap tahun (Revrisond, 2006).

Ketiga, perilaku KKN yang masih menjadi penyakit yang menggerogori kemauan 
pemerintah untuk berpihak pada pelaku ekonomi rakyat yang kecil. Keberpihakan 
pemerintah terhadap pengusaha besar sudah menjadi suatu konspirasi legal yang 
dibangun secara berjamaah. Banyak pihak yang menunjuk kebijakan pembayaran 
bunga obligasi yang dilakukan oleh pemerintah setiap tahun sebesar lebih dari 
Rp 50 triliun sebagai keberpihakan yang salah alamat. Karena pada saat yang 
sama perekonomian rakyat tidak mendapat keberpihakan dengan jumlah sebesar 
angka tersebut (mohon koreksi kalau salah).

Keempat, keberpihakan setengah hati. Mungkin juga tertular virus 
"kehati-hatian" kalangan perbankan, banyak pemerintah daerah seperti ingin 
sekali membantuperekonomian rakyat kecil di daerah tapi tidak pernah tulus dan 
tuntas. Orang Kupang bilang "hati tar kasih". Saya melihat ada gejala seperti 
pokoknya harus ada program pemberdayaan ekonomi rakyat (PER) dalam nomenklatur 
perencanaan pembangunan, kemudian program dimaksud di-"blow-up" biar mendapat 
respon positif publik. Tapi kalau dibandingkan dengan besaran dana pemerintah 
daerah yang diparkir di perbankan jumlahnya jauh lebih kecil. Sebagai contoh, 
sejak tahun 2003 saya sudah menggugat keberadaan dana cadangan Pemerintah 
Daerah NTT yang diparkir di Bank NTT yang saat ini telah mencapai besaran 
nominal Rp30 miliar. Sejak awal saya lebih setuju jika jumlah dana yang cukup 
besar itu dimanfaatkan untuk menggerakkan sektor riil bagi peningkatan kinerja 
perekonomian rakyat (Disampaikan pada Forum Diskusi terbatas Pos Kupang, 
29/12/2003).

Dan saya bersyukur bahwa dalam penyampaian pokok-pokok pikiran Komisi C DPRD 
NTT sebagai masukan bagi pemerintah dalam penyusunan APBD 2007, menyerukan 
penghentian penyertaan modal pemerintah daerah ke Bank NTT, dan dialihkan bagi 
kepentingan rakyat secara langsung. Bahkan data menunjukkan bahwa walaupun 
dalam pembahasan APBD NTT 2004 antara pemerintah dengan DPRD NTT telah 
disetujui dana sejumlah Rp 10 miliar yang diperuntukan untuk kredit sektor UMKM 
NTT, tapi dalam perubahan RAPBD malah dialihkan untuk penyertaan modal bagi 
Bank NTT. Sekali lagi ini suatu bukti tentang komitmet keberpihakan pemerintah 
terhadap sektor ekonomi rakyat yang masih setengah hati (Pos Kupang, 2005).

Kelima, perampasan hak-hak ekonomi sejumlah pelaku ekonomi rakyat berskala 
kecil. Fenomena ini merupakan suatu fenomena nasional. Setiap hari kita boleh 
mengikuti berita tentang penggusuran para pelaku ekonomi kecil, menengah, dan 
marginal. Hampir semua daerah mempunyai cerita sendiri-sendiri tentang 
bagaimana sejumlah pedagang kecil, marginal harus "digusur" sebagai bentuk 
peniadaan sektor ini hanya karena dianggap sebagai suatu yang informal, tidak 
berizin, tidak sesuai tata ruang, dan sebagainya. Tapi anehnya dalam banyak 
kesempatan kita semua (termasuk pemerintah) mengakui tentang sumbangan yang 
cukup berarti bagi perekonomian nasional maupun daerah yang diperankan oleh 
sektor ekonomi rakyat ini. Sekali lagi, fenomena seperti ini kembali menegaskan 
tentang proposisi bahwa semua pihak mempunyai kemauan untuk memberdayakan 
sektor ekonomi rakyat tetapi kurang komitmen.*

* Penulis, staf pengajar Undana, Kupang


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to