REFLEKSI: Buta aksar atau buta huruf dibutuhkan oleh penguasa negara karena mudah mengembala rakyat sebagai kambing yang hanya bisa berteriak beee beee beee!
SUARA MERDEKA Selasa, 12 September 2006 Buta Aksara dan Perkembangan Teknologi a.. Oleh M Yunus BS KEMEROSOTAN suatu bangsa sebenarnya dapat diukur dalam statistik tentang kejahatan, anak-anak tanpa orang tua, hasil dan kesempatan pendidikan yang direduksi, distruth (rasa tidak percaya), yang semakin menggejala, serta minimnya daya peka masyarakat setempat terhadap ilmu pengetahuan. Rendahnya persentase jumlah masyarakat yang melek huruf merupakan bagian substansial dari kritik Francis Fukuyama sebagai salah satu faktor krusial kemerosotan suatu bangsa. Oleh karena itu dalam rangka memperingati Hari Aksara (8/9/06), mengoreksi kembali perkembangan melek huruf masyarakat menjadi penting sebagai upaya untuk mengubah kondisi Indonesia yang kian merosot ini. Jumlah masyarakat yang buta aksara memang masih berada pada level tertinggi dibanding masyarakat di negara-negara lainnya. Masih banyak masyarakat kita yang belum mampu menfungsikan daya inderanya untuk menangkap barisan huruf dalam satu kata apalagi kalimat. Terlepas apakah fenomena tersebut terjadi secara alamiah, karena dilatarbelakangi sikap kurang responsif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, atau karena adanya tekanan struktural yang mengharuskan rela menerima keadaan apa adanya. Yang pasti fenomena buta aksara atau huruf merupakan salah satu problem krusial di tengah-tengah masyarakat kita yang mesti ditekan semaksimal mungkin hingga mencapai pada titik persentase terbawah, nol. Sejumlah data memperlihatkan bahwa hingga akhir tahun 2004 lalu persentase jumlah masyarakat kita yang masih tergolong buta aksara masih mencapai angka 10,5 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Data terakhir yang diperlihatkan Balitbang Diknas, hingga akhir 2005 jumlah angka tersebut masih mencapai 5,39 juta orang yang terdiri dari 2,80 juta orang berusia 10-44 tahun, dan 2,59 juta orang dalam usia 44 tahun ke atas. Jumlah tersebut tentu saja sangat besar, hingga wajar jika persoalan buta aksara pada masyarakat kita menjadi bagian dari sekian faktor lambannya proses kemajuan di negeri ini. Di Jawa Barat saja, jumlah penduduk yang masih buta aksara mencapai 216.758 orang, sementara di Jawa Timur lebih parah lagi. Data Dinas P dan K Jawa Timur menunjukkan, bahwa jumlah penduduk Jawa Timur yang belum melek huruf masih mencapai 4,5 juta orang yang berkisar pada usia antara 45-70 tahun . Jumlah tersebut kemudian memosisikan Jawa Timur sebagai propensi tertinggi tingkat buta hurufnya yang kemudian disusul Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Di beberapa wilayah lainnya, fenomena yang sama sebenarnya juga terjadi dalam skala yang begitu besar, meski tidak dipaparkan di sini. Artinya di setiap pelosok negeri tak satu pun yang steril dari yang namanya buta aksara. Itu berarti pula negeri ini masih tergolong sebagai negeri nir-ilmu pengetahuan. Maka wajar, jika dalam setiap persoalan yang ada mesti menyisakan problem yang akut dan sulit untuk diselesaikan. Dalam ranah politik misalnya, ketidakjelasan orientasi kebijakan politik pemerintah, di satu sisi, sebenarnya bukan hanya disebabkan pemerintah itu sendiri yang kurang populis, manipulatif dan lain sebagainya. Akan tetapi pada sisi lain juga disebabkan oleh masyarakat yang kurang memahami alur dan orientasi kebijakan tersebut. Logikanya mana mungkin mereka akan memahami arah kebijakan politik pemerintah sementara untuk membaca saja mereka tidak bisa. Ketidakjelasan orientasi kebijakan politik pemerintah, di satu sisi, sebenarnya bukan hanya disebabkan pemerintah yang kurang populis, manipulatif dan lain sebagainya. Akan tetapi pada sisi lain juga disebabkan oleh masyarakat yang kurang memahami alur dan orientasi kebijakan tersebut. Logikanya mana mungkin mereka akan memahami arah kebijakan politik pemerintah sementara untuk membaca saja mereka tidak bisa. Melalui alat pendengaran mungkin iya, namun dampaknya adalah mereka akan memahaminya secara sepotong-sepotong. Apalagi dalam rangka membangun masyarakat yang sadar akan pemanfaatan information and communication technology (ICT), fenomena buta aksara merupakan faktor paling problematis yang bisa menghambat proses upaya tersebut. Alih-alih akan terlibat, bahkan upaya tersebut bisa jadi mengalami misinterpretasi pada diri mereka sehingga bermuara pada timbulnya sikap negative thinking terhadap pemerintah. Tanggung Jawab Pemerintah Sekali lagi buta aksara merupakan persoalan yang sangat dilematis bagi bangsa Indonesia. Meski, pada akhirnya pemerintah itu yang memang semestinya bertanggung jawab untuk mendongkrak jumlah angka dan persentasenya. Dalam ungkapan lain, sungguh pun persoalan buta aksara merupakan fenomena nir-kesadaran individu setiap masyarakat, namun untuk mengubahnya menjadi masyarakat yang melek huruf adalah merupakan tanggung jawab pemerintah secara utuh. Pemerintah tidak boleh lepas tanggung jawab dari persoalan ini. Apalagi hal itu sangat bersinggungan dengan upaya untuk membangun sumber daya manusia sebagai prakondisi elementer untuk memperbaiki segala problem yang melingkupi seluruh sistem kehidupan bangsa. Dengan demikian beberapa hal yang semestinya dilakukan pemerintah, di antaranya adalah, pertama; memberdayakan setiap lokus-lokus yang dianggap cukup potensial untuk mengakomodasi masyarakat setempat supaya "kembali" pada "kesadaran barunya" tentang pentingnya memahami barisan setiap huruf dalam satu kata hingga kalimat. Dikatakan "kembali" pada "kesadaran barunya," karena masyarakat pada dasarnya sudah memahami bahwa belajar membaca merupakan bagian dari kewajiban setiap insan beragama, apalagi agama Islam. Hanya saja lingkungan sosiallah yang terkadang menjadikan mereka lupa akan kewajiban tersebut, sehingga ia seolah menjadi hal yang baru lagi. Tentang lokus-lokus apa saja yang dianggap potensial, tentunya masing-masing pemerintah daerah yang lebih tahu. Artinya, pendidikan formal tidaklah cukup untuk mendongkrak tingkat persentase jumlah penduduk yang buta aksara . Pendidikan formal masih menyisakan bintik-bintik negatif stratifikasi sosial baik secara biologis maupun ekonomis; bahwa pendidikan formal hanya berfungsi untuk kalangan anak-anak usia dini atau muda, atau pendidikan formal hanya bisa ditempuh oleh segelintir orang yang taraf perekonomiannya menengah ke atas. Berbeda dengan lokus-lokus nonformal lainnya, ia bisa mengakomodasi seluruh masyarakat tampa memandang usia maupun kelas ekonomi. Kedua, sebagai jalur utama yang harus ditempuh bagi anak-anak muda atau usia dini, maka pemerintah semestinya membuat kebijakan baru tentang pendidikan formal, terutama yang menyangkut persoalan biaya pendidikan. Selama ini pemerintah belum membuktikan janjinya secara total untuk menghapus biaya pendidikan. Yang terjadi di lapangan biaya pendidikan justru semakin jauh dari jangkauan masyarakat. Tak ayal banyak anak-anak di usia sekolah yang terpaksa hanya gigit jari melihat teman-temannya berangkat ke sekolah, sementara mereka berangkat ke tempat kerja. Sebabnya mereka tak cukup dana untuk memenuhi biaya sekolah. (11) - M Yunus, staf pengajar di PP. Hasyim Asy'ari, Yogyakarta [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/