SUARA MERDEKA
Jumat, 15 September 2006

      Otoriterisme Pemahaman Keagamaan
        a.. Oleh Ahmad Fuad Fanani 
      KALAU kita kaji secara jeli, teliti, dan mendalam, sebetulnya dalam Islam 
tidak pernah ada penafsiran tunggal dalam memahami wahyu serta ajaran yang 
diturunkan oleh Tuhan dan disampaikan oleh Rasul-nya. Bila terjadi perbedaan, 
ada kalanya yang bisa diselesaikan dengan jalan dialog dan saling melakukan 
tabayyun, namun ada juga yang berakhir dengan peperangan dan penindasan satu 
pihak terhadap pihak lainnya. Sejarah telah memberikan cerminan bagaimana 
perbedaan pandangan antara kaum Syi'ah, Sunni, Khawarij, Murji'ah, dan 
Mu'tazilah tampil berkontestasi wacana dan pemeluk di dunia ini. 

      Ada kalanya yang diselesaikan dengan saling membiarkan eksistensi 
kelompok masing-masing. Ada juga yang secara ekstrem menganggap yang lainnya 
kafir dan keluar dari Islam, seperti kelompok Khawarij yang dengan yakinnya 
menganggap kelompok di luar dirinya tidak menegakkan hukum Tuhan dan oleh 
karenanya wajib dibunuh.

      Dari semua perbedaan penafsiran itu, tentu saja jalan kekerasan dan 
pengkafiran terhadap kelompok lainnya bukanlah solusi yang bermanfaat secara 
positif bagi eksistensi kelompok maupun ajaran mereka. Hal itu terbukti dari 
kelompok Khawarij yang tega membunuh Ali bin Abi Thalib serta mencoba membunuh 
Mu'awiyah bin Abu Sufyan dan Amr bin Ash meski gagal, ajarannya tidak banyak 
mendapat simpati dari umat Islam dan justru dianggap sebagai ajaran sempalan 
yang mengajarkan terorisme dan kekerasan. 

      Begitu juga dengan ajaran Mu'tazilah yang ketika sedang berkuasa dan 
menemukan zaman keemasannya, banyak melakukan penganiayaan dan pemaksaan 
terhadap kelompok yang lain guna menerima paham dan penafsirannya, akhirnya 
ketika kekuasaan tidak lagi berpihak kepadanya ajaran itu seperti lenyap disapu 
bumi.

      Justru Malapetaka

      Pengalaman di atas menunjukkan, sebetulnya hegemoni dan pemaksaan paham 
sebuah kelompok terhadap kelompok lainnya dengan tindakan kekerasan, pada 
dasarnya justru membuat malapetaka dan kerugian pada dirinya sendiri. Ketika 
sebuah paham keagamaan tertentu menjadi dominan, nomor satu, dan merasa paling 
unggul, biasanya mereka akan kebal terhadap kritik dan melakukan segala cara 
untuk mempertahankan kekuasaannya. 

      Jika fase itu dipertahankan dan dijadikan sebagai acuan utama gerakannya, 
maka tinggal menunggu saatnya untuk terbenam dan mengalami kebangkrutan. 

      Meski kelihatannya mudah dikendalikan dan banyak diam serta menurut saja 
pada ajakan para pemimpin agama, sebetulnya secara sadar dan teliti, umat dan 
masyarakat meneliti dan menimbang sejauh mana unsur kemaslahatan dan kebaikan 
sebuah ajaran itu berguna pada kehidupan dan kemajuan peradaban. 

      Tidak heran jika mereka dapat dengan tiba-tiba memberontak, melawan, dan 
melakukan pemboikotan pada para pemimpin agama dan kelompok yang banyak 
menggiring umatnya guna mencapai ambisi pribadinya.

      Adanya beberapa fatwa dan pernyataan yang mengatakan beberapa golongan 
dan kelompok tertentu sesat dan menyesatkan, oleh karenanya wajib diluruskan 
dan dikembalikan ke ajaran Islam atau membentuk agama baru, sebetulnya itu 
sudah memasuki wilayah hak Tuhan. Sebab yang bisa menetapkan ajaran itu 
diterima atau ditolak di sisi-Nya hanyalah Tuhan saja. Sedangkan para 
makhluknya hanya diberikan kebebasan untuk menafsirkan, memahami, dan 
menjalankan ajaran agama itu untuk bekal menciptakan kehidupan yang harmoni di 
muka bumi ini. 

      Maka yang berhak menghukum apabila sekelompok orang itu sesat dan bisa 
dihukum dengan tegas, bukanlah manusia atau pimpinan agama. Yang boleh kita 
lakukan sebagai umat beragama, adalah sebatas melakukan dakwah atau mengajak 
kepada jalan kebaikan yang diridai Tuhan. 

      Jika mereka tetap berpegang teguh dan bersikeras dengan keyakinannya, 
sesuai dengan ajaran dakwah yang pernah dipraktikkan Nabi Muhammad, tugas kita 
adalah mendoakan dan mengajaknya berdialog secara bijaksana dan cerdas (bil 
hikmah, wa mauidzatil hasanah, wa jadilhum billati hiya ahsan).

      Toleransi dan Dialog 

      Khaled Abou El Fadl pernah menyatakan, ketika sebuah kelompok atau 
individu sudah menganggap dirinya paling otoritatif dalam menafsirkan ajaran 
keagamaan, pada dasarnya mereka dengan mudah akan terjerumus pada tindakan yang 
bersifat otoriter. Sebab batasan antara yang otoritatif dan otoriter sangatlah 
tipis dan mudah berubah. 

      Orang yang otoritatif, justru biasanya akan bersikap bijaksana, toleran, 
dan membuka diri berdialog dengan yang lainnya. Yang otoritatif pun dalam 
setiap tindakannya akan mengedepankan pengkajian secara mendalam, belajar 
secara sungguh, serta mendahulukan moralitas daripada nafsu. 

      Sedangkan orang yang otoriter, dengan segala cara dia akan menunjukkan 
dirinya dan paham kelompoknyalah yang paling otoritatif dan wajib diikuti oleh 
yang lainnya (Speaking in God's Name, 2001). 

      Kalau kita kaji dari pengalaman dakwah Nabi maupun ajaran Tuhan dalam 
Alquran, sebetulnya ajaran Islam sangat bertujuan untuk menciptakan rahmatan 
lil alamin (kebahagiaan dan kedamaian bagi semua). 

      Hal itupun dipertegas oleh Al-Ghazali yang menyatakan bahwa tujuan Islam 
adalah melindungi lima pokok kehidupan yaitu agama, kehidupan, akal (kebebasan 
berpikir), keturunan, dan harta benda. 

      Bila ajaran agama yang kita praktikkan dan kita yakini bertentangan dari 
kelima hal itu, sesungguhnya identitas keislaman kita patut dipertanyakan. Maka 
penganiayaan dan penindasan terhadap eksistensi kelompok tertentu baik dalam 
Islam maupun agama lainnya, sudah seharusnya dihentikan dan diakhiri dengan 
jalan dialog yang mencerahkan dan membuka wawasan hati serta pikiran yang 
bertikai. 

      Kita memang bisa sangat tidak setuju, misalnya dengan tiga ajaran pokok 
Ahmadiyah yang menimbulkan kontroversi dari dulu hingga sekarang, yaitu: Mirza 
Ghulam Ahmad yang dianggap sebagai Nabi, penggunaan kitab Tadzkiroh sebagai 
ajaran utama mereka, serta pemahaman Jihad yang mendukung imperialisme Inggris 
di negara Islam. 

      Namun bukan berarti kita tidak boleh hidup toleran dengan mereka dan 
ketidaksetujuan itu diturunkan dengan tindakan kekerasan atau fatwa yang 
mengaggap bahwa mereka itu sesat dan menyesatkan. 

      Mestinya yang kita lakukan adalah mengkaji, meneliti, dan mempelajari 
aspek-aspek positif adari ajaran mereka guna memajukan peradaban umat. 

      Misalnya semangat keilmiahan mereka yang tinggi sehingga melahirkan sosok 
Abdus Salam yang memperoleh Nobel dan semangat filantropi mereka yang tinggi, 
sebetulnya bisa ditiru dan ditransfer oleh umat Islam lainnya di seantero dunia 
guna memajukan peradaban Islam.

      Selain itu pemerintah dan negara dalam hal ini hendaknya berlaku dan 
bertindak secara netral dan tidak malah memprovokasi umat Islam guna melakukan 
penganiayaan terhadap kelompok agama minoritas atau pinggiran. 

      Negara mestinya berdiri di tengah-tengah menjadi regulator untuk urusan 
etika dan kehidupan sosial kemasyarakatan, dan tidak bertindak sebagai polisi 
akidah yang dengan mudah memberi cap pemahaman seseorang sesat dan lurus. 

      Pengikut ajaran tertentu yang bukan menjadi mainstream, hendaknya 
diberikan perlindungan yang sama dan setara sebagaimana warga negara lainnya 
dan tidak perlu mencari suaka ke negara lainnya, sehingga mereka bisa bebas 
menjalankan keyakinan agamanya sebagaimana yang dipertegas oleh konstitusi kita 
yang mengatur kebebasan beragama untuk semua warga negaranya. 

      Buya Syafii Maarif pernah menyatakan, bahwa fatwa sesat, di luar Islam, 
dan penghancuran tidak banyak menolong soal kontroversi keagamaan di negeri 
ini. Sebab, tindakan itu hanya akan melahirkan disharmoni lintas iman, padahal 
semua agama mengajarkan hidup harmoni sesama manusia. (11)

      --- Ahmad Fuad Fanani Presidium Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah 
(JIMM)
     


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke