Diajeng Aris,

Main ke Papua? Tentu saja mau.. tapi siapa yang mensponsori saya? biaya
hidup disana mahal bukan? Transportasi antar daerah menjadi kendala. SMU
adek itu saya lupa?

yk: Banyak cara untuk bisa ke Papua, salahsatunya melalui kerjasama riset.
Banyak sekali yg perlu diteliti disana.

Sekolah gratis yang berada di atas bukit dan kalau sedang bersekolah dia
bisa melihat perbedaan warna air laut dibawahnya (sangking indahnya).

yk: Ada bbrp sekolah yg spt itu. Ok-lah, itu tdk pentingpenting amir.
Nitip saja adik dari Jayapura itu. Saya tahu kalau prosentasi kegagalan mhs
asal Papua di IPB termasuk sangat tinggi, yg tidak semuanya disebabkan oleh
kekurangan kepandaian.

Terima kasih atas diskusi ini. Akhirnya dari diskusi mas Yohannis, saya
memahami kesulitan teman-teman IPB saat mau membantu kerawanan pangan di
Yakohimo. Saya dulu tak habis berpikir, kenapa hanya berhenti pada skala
kebun percontohan saja.

Menurut sebuah diskusi, IPB telah berbuat sesuatu tapi saya berkata dalam
hati malu juga sih, Apa yang dilakukan IPB? ko nggak berhasil atau tak ada
imbasnya. Padahal katanya IPB telah pernah membantu dengan cara budidaya
berbagai jenis ubi dan teknologi pembuatan produk pangan (cake, bolu,
brownies, sereal dll) dari ubi, jauh bahkan sebelum kasus Yakohimo.

yk: It is Yahukimo - atau Yahokimo. Tidak terlalu jauh dari Yahukimo ('tidak
terlalu jauh' ini bukan ukuran normal spt sepengisapan rokok - sapangudutan.
Lebih tepatnya spt ala betawi... noh di balik gunung sono noh) ada proyek
penelitian umbiumbian (kentang, ubi jalar, dll) yg dilakukan peneliti UNIPA
di bawah pimpinan pak Narto (Dr. Sunarto), jg di dalamnya ada ahli tanah pak
Soemono. Mrk berdua ini pasti mudah mbak Aris kenali. Mrk saya kira sdh
banyak berusaha... dlm bidang riset tentunya tapi msh sangat kurang dlm hal
sosialisasi hasil riset. Dengan Yahukimo (dan banyak wilayah lain lagi) dan
permasalahannya di depan mata, kerjasama sosialisasi hasil riset mungkin
hanya perlu initiator saja.

Oh ya, kini departemen Teknologi pangan sedang mengembangkan formula tepung
ubi jalar. Dulu waktu bantu teman penelitian buatnya sulit, 100 kg ubi hanya
jadi 20 kg pati dan terjadi browning (pencoklatan), jelek mutunya. Kini ada
metode lain, namun masih belum sempurna. Bogasari flour kayaknya sedari dulu
menunggu hasilnya ..

yk: Teknologi per-pati-an mestinya nggak mahal/sulit shg dlm hemat saya bisa
'langsung diambil' dari negara yg sdh advance, Jepang misalnya. Cobalah
nge-link dng JICA. Knp hrs Bogasari? Apa nggak ada start-ups yg prospective?
Ayolah, sekalian bikin bisnis inkubasi. Kalau nyantolnya ke yg gedhegedhe,
dampak sosialnya akan minimum.

Ubi jalar sebetulnya pilihan terbaik dari yg buruk. Dia rakus hara. Dia
dipilih krn 'pas' dng mentalitas 'tongkat kayu dan batu jadi tanaman',
tanaman yg hanya minimum memerlukan nurturing. Sejalan dng berkembangnya
daya kreasi, semestinya ada upaya memperkenalkan sumber makanan utama lain,
spt gandum misalnya yg tdk memerlukan banyak air.

Cara efektif menangani krisis di Papua sekarang memang memberi bahan baku
langsung. Tapi kan tak bisa terus-terusan begitu. Rekan-rekan papua harus
mandiri untuk melakukan budidaya biar survive. Mengandalkan hasil alam pun
juga sulit, makin hari, jumlah pangan di alam berkurang apalagi kalau
kemarau.CMIIW

Begitu pula kata media masa, pemerintah lambat membantu. Kuncinya putra
daerah sendiri yang melakukan edukasi dan perubahan. Yang lain bekerja
dibelakang layar, mendukung dan mendorong. Denger2 dari Mentan ada proyek
swasembada gula di sana? semoga saja berhasil.

yk: Milieu (lingkungan fisik dan non fisik) Papua tlh banyak berubah menjadi
tdk sehat. Ini akan segera teramati begitu menginjak tanah itu. Sebabnya
banyak, salahsatunya adalah masalah 'wong' dalam hal 'ngewongake'. Orang
Papua scr umum tidak merasa telah disetarakan. Ini salahsatu alasan
penggalian kembali sumbersumber identitas lokal. Kalau proces ini dibiarkan
dilakukan oleh local agent of change, suatu saat nanti kita akan menemukan
sebuah komunitas yg kental dng nilai tradisional lengkap dng segala
baikburuknya - fundamentalism in different sense.

Kuncinya, bukan soal siapa di depan siapa di belakang tapi lebih ke synergy
dan orientasi kegiatannya. Apakah memanusiakan manusia Papua atau tidak.

Dari setengah uwong,

yk

On 9/19/06, aris solikhah <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

>
> salam,
> aris
>
>
> Yohanis Komboi <[EMAIL PROTECTED] <ykomboi%40gmail.com>> wrote:
> On 9/19/06, aris solikhah wrote:
>
> Iya terima kasih-terima kasih atas pencerahan matoa-nya. Kenapa saya harus
> pergi jauh-jauh. Pada akhirnya, seorang mahasiswi baru asal Jayapura
> menunjukkan di depan fakultas kehutanan IPB ada pohon matoa (ada 2 pohon
> yang baru bisa diidentifikasikan). Sedang berbuah lagi, tapi masih hijau.
> Ada yang mau membantu metik nanti sebelum diserobot codot (kelelewar
> buah)?
> ^_^
>
> yk: Sudah kukatakan bukan kalau di lingkungan IPB ada pohon matoa? Lbh
> banyak lagi di sekitar CIFOR.
>
> Tapi tidak tahu jenis kelapa atau pepela (bener nggak), yang jenis kelapa
> katanya sangat manis dan tak bisa dikatakan dengan kata-kata. Satu kilo Rp
> 40 ribu, kenapa tak coba budidaya ya dan mengekspor, ini ide yang cerdas.
>
> yk: 'Investment - investasi', untuk orang Papua kebanyakan yg hidup
> dimanja
> alam kata ini kurang bermakna. Dulu pernah ada proyek percontohan
> pertanian
> di daerah Wamena yg dimotori oleh BPPT dan LIPI yg dikomandoi oleh bu
> Astrid
> Soesanto dr BAPPENAS. Proyek ini bisa dibilang 'sukses'. Lelah dng
> berbagai
> usaha meningkatkan ketrampilan masyarakat sekitar karena rendahnya animo,
> akhirnya peneliti LIPI dan BPPT memutuskan untuk memfokuskan diri ke kebun
> percobaannya tanpa repotrepot melibatkan masyarakat. Tanaman tumbuh subur
> dan nampak banyak hasilnya. Tapi hasil panen ternyata sangat sedikit,
> terlalu sedikit untuk volume yg terlihat sebelumnya. Apa yg terjadi?
>
> Selang sebulanan peneliti gabungan itu menemukan banyak ladangladang baru
> yg
> tampak tumbuh subur dng tanaman dr varietas unggulan spt yg awalnya
> ditanam
> di kebun percobaan. Rupanya hasil panen kebun percobaan itu tlh dijarah
> terlebih dulu oleh masyarakat sekitar, menjadikannya sbg bibit dan
> menanamnya... heheheh... baik-buruk memang relatif. Sampai di titik ini
> ternyata semua oke saja. Sayangnya semangat tanam itu tdk bertahan lama
> karena kehabisan bibit utk tanam berikutnya. Menyimpan panen untuk
> dijadikan
> bibit, apalagi untuk tanaman asing rupanya belum membudaya.
>
> Dia juga menceritakan di rumah asalnya ada buah matoa, tapi jauh nian ya.
> Dan dia juga cerita masalah perang antar suku, iyah masalah kehormatan dan
> anggaplah ego nya tinggi. Tapi kalau sudah disentuh hidayah dan dibina
> baik,
> penduduk papua itu cerdas-cerdas dan berkarakter kuat. Yah mendengarnya,
> saya membayangkan suku Khajraj dan Aus yang tinggal di Madinah, bawaannya
> perang suku melulu. Bahkan hanya karena sapi yang terbunuh saja mereka
> bunuh-bunuhan, tapi kebanyakan karena provokasi Yahudi di Madinah.
>
> yk: Sesuai fithrah manusia dibekali kecerdasan. Tapi proses learning,
> spt halnya pembangunan, sangatlah path dependent untuk bisa mencapai
> dampak.
> Bbrp perkecualian tentu ada, spt bbrp genius Papua yg bergabung dalam
> 'Papua
> Frontiers' tapi itu saja tdk cukup. Ttg 'software' mbak Aris, pribadi saya
> lbh suka melihat orang Papua kembali ke system of belief asli mrk....
> betapapun naifnya system itu di mata Anda. Paling tidak agama tradisional
> ini tidak melahirkan dichotomy di kepala manusiamanusia sederhana itu.
>
> Tapi ketika di sentuh ISlam yang dibawa MUsha'b bin Umair.. mereka menjadi
> kompak, hebat dan pahlawan tangguh. Maaf lho ya mas Yohannis..., but saya
> bisa melihat karakter itu ketika studi banding dosen UNIPA dan mahasiswa
> Uncen yang berkunjung ke sini. ^_^.
>
> yk: Kalau ada waktu berkunjunglah. Biar lebih tahu kondisi riil.
>
> Pada akhirnya seorang adek mahasiswa baru asal jayapura itu mengeluhkan
> ketidakbolehan pakai kerudung di sekolah SMU Jayapuranya. Dia cerita ubi
> yang dibakar di batu panas.
>
> yk: Dia dari Jayapura? SMU brp? Terusterang saya tdk percaya ada aturan
> spt
> itu di SMUN. Tentu saja mslhnya jadi lain kalau dia belajar di sekolah
> kristen.
>
> Jadi saya kira itu juga tidak perlu dirubah teknologi ini, bila ternyata
> kandungan gizinya malah masih bagus daripada dikukus.
>
> yk: Tentang Barapen - ini istilah utk masak ala bakar batu itu. Di Jepang,
> masak bakar batu dipromosikan utk memberikan flavor exotic di resortresort
> dan daerah camping. Tentu saja ditambahi info lebih sehat dll. Kalau di
> Jepang semua materi dipersiapkan dng detil dan hygienis, di Papua kurang
> begitu. Ya, aspek ini dan estetik sj lagi yg perlu diperbaiki.
>
> Dia ketawa ketika saya tanya mengenai RUU APP, karena dia bilang yang
> memakai koteka itu sekarang sangat sedikit, daerah yang sangat pedalaman.
> Malah dia dkk pun ikut mendukung aksi RUU APP. Beda dengan media masa ya?
>
> yk: Ya dan tidak. Kalau mhs Anda itu hanya berkutat di seputar Jayapura
> saja, mungkin itu picture Jayapura di kepala dia. Coba dia mau sedikit ke
> luar ke arah barat atau barat daya, ke kantongkantong hunian migrant dari
> gunung tentu gambaran itu akan sangat lain. Koteka di sana dijadikan
> sumber
> identitas. Bahkan adikadik yg kuliah di Jkt, Yogya pun akan dng ringan
> hati
> melepaskan pakaiannya dan ganti mengenakan koteka saat kembali ke kampung.
> Kita melihat hal ini dr perspective berbeda mbak. Koteka has absolutely
> nothing to do dng sex atau sexuality. Dia cuma pakaian lain yg lagi naik
> pamor sbg identitas pemberontakan, shg kurang tepat memaknainya sbg act of
> obscenity.
>
> Toh dalam pandangan saya memakai busana muslim (bukan pengaturan busana di
> RUU APP ya) itu kan hanya diwajibkan muslim. Kalau soal pakaian,
> perkawinan,
> ibadah, makan dan minum semua diserahkan bagaimana masing-masing agama
> mengaturnya. ^_^ Sorry...jadi cerita panjang lebar, tapi memang disana
> banyak kenekaragaman hayati. Paling bagus produk pertaniannya kata dia di
> Wamena. CMIIW. Dia juga ketawa soal rumbia buat busana muslim ^_^
>
> yk: Anda mengatakan halhal yg benar, tapi realita sering tdk sebenar itu.
> Ramadan sebentar lagi (selamat berpuasa ya). Dan kita akan memperoleh
> tayangan lengkap ttg realita.
>
> Tanah Wamena termasuk subur, tapi kurang cocok untuk pertanian
> besarbesaran
> krn masalah kemiringan lahan yg menyulitkan pertanian/perkebunan intensif.
> Ini akan lbh bermasalah lagi saat nanti tekanan demografi lbh besar.
> Karenanya skrngpun sdh bisa kita hitung kapan kirakira akan ada konflik
> krn
> resource scarcity.
>
> Dia juga cerita soal lobi-lobi, kalau ini mah saya sudah mencicipi. Asem
> banget yah, tapi asyik kalau buat rujak he he he.
>
> yk: Wah... langsung mulai berliur nih...
>
> 'lam,
>
> yk
> .
>
> 
>


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke