Sumber             : Independent Media Center Jakarta
Menu               : Berita
Keterangan         : 21 September 2006


Kronologis Terjebaknya Tibo Cs

Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva dan Marinus Riwu
rencananya akan
menghadapi eksekusi malam hari 21 September 2006.
Berbagai kontroversi
menyertai pelaksanaan hukuman mati ini. Berikut ini
adalah kutipan
kesaksian yang pernah dinyatakan oleh Fabianus Tibo
dan dibenarkan oleh
Dominggus Da Silva serta Marinus Riwu. Kutipan ini
dibuat sebagai press
release dari pihak terhukum dan disampaikan kepada
berbagai pihak,
termasuk Komisi Hak Asasi Manusia sebagai pembelaan
dan juga informasi
bagaimana ketiganya bisa ditahan dan dijadikan
tersangka kasus 
kerusuhan
Poso.

<b>Kronologis Terjebaknya FABIANUS TIBO, DOMINGGUS DA
SILVA dan MARINUS
RIWU dalam kerusuhan Poso III</b>

<i><b>Menurut Keterangan Fabianus Tibo dan Dibenarkan
oleh Dominggus 
dan
Marinus Riwu</b></i>

Pada pertengahan Mei 2000, kami kedatangan seorang
utusan dari Tentena
yakni: Sdr.Janis Simangunsong, yang bersangkutan
membawa kabar bahwa
Gereja Sta. Maria Poso akan dibakar dan umatnya akan
dibunuh. Sebagai
orang tua/wali murid kami merasa kuatir dan gelisah
memikirkan nasib
anak-anak panti asuhan, para guru, suster, pastor dan
lainnya. Pada 
saat
itu pula kami mengadakan pertemuan sesama orang
tua/wali murid. Hadir
pada pertemuan itu 23 orang. Kami sepakat untuk
secepat mungkin
menjemput anak-anak bahkan seluruh penghuni yang
berada di Gereja Sta.
Theresia, Desa Moengko Baru, Poso.

Tanggal 21 Mei 2000, kami 17 orang berangkat menuju
lokasi Gereja Sta.
Theresia. Dalam perjalanan itu kami singgah di Tentena
bertemu dengan
Janis Simangunsong, si pembawa berita. Kami tanyakan
kembali perihal
beritanya, dan sdr Janis menjawab: <i>"Terserah Om
Tibo mau pecaya atau
tidak, tapi yang pasti berita itu benar"</i>. Sayapun
balik menentang
Sdr. Janis dengan mengatakan seperti : <i>"Bila berita
tersebut hanya
issu kamu harus menerima resikonya, kami akan lapor ke
kantor polisi
sebagai provokator"</i>. Hari itu kami dan rombongan
bermalam di
Tentena.

Keesokan harinya pada tanggal 22 Mei 2000 kami dan
rombongan berangkat
memakai mobil kijang menuju Gereja St. Theresia Poso.
Sekitar jam 3 
sore
kami tiba dan langsung menanyakan berita tersebut
kepada Pastor serta
Suster dan para Guru, jawab mereka : <i>"kami belum
tahu"</i>. Kalau
begitu, bagaimana kalau Pastur, Suster, Guru serta
lainnya ikut kami
saja sekarang kembali ke Beteleme bersama anak-anak,
dan mereka katakan
<i>"tanggung"</i> karena besok hari ujian akan
berakhir, bagaimana 
kalau
habis ujian? Kami semua menyetujui, dan kami bermalam
di asrama Gereja
karena baru besok akan kembali ke Beteleme.

Tanggal 23 Mei tahun 2000, sekitar jam 04.00 (jam 4
subuh) kami
terbangun oleh teriakan histeris minta tolong berlari
memasuki halaman
gereja langsung naik ke gunung di belakang gereja. Ada
yang memanggil
nama saya seperti <i>"Om Tibo tolong kami, tolong
kami"</i>. Saya tidak
habis pikir kenapa, sebagian massa ada yang memanggil
nama saya.

#2Saat itu pula saya keluar halaman, tiba-tiba lampu
mobil mengena muka
saya dan terdengar teriakan <i>"siapa itu" (maksudnya
saya)</i>, saya
jawab <i>"ini saya Om Tibo"</i>. Polisi-polisi
langsung mendekat kepada
saya, salah satunya saya kenal yaitu Bapak Anton.
Terjadi perbincangan
dengan para polisi. Mereka mengira kamilah yang
mengadakan penyerangan
semalam, tetapi saya jawab kami semua penghuni yang
ada di dalam tidak
tahu apa-apa, kami mempersilahkan bapak polisi
memeriksa ke dalam.

Sementara berbicara dengan para polisi, masa dari
Kelompok Putih sudah
mulai memasuki halaman gereja, bahkan sudah
mengelilingi saya di 
hadapan
para polisi. Sekali lagi saya mencoba menjelaskan
bahwa para Suster,
Guru yang ikut keluar asrama mau menjelaskan kepada
polisi serta massa
dari Kelompok Putih, tetapi penjelasan tersebut
sia-sia, massa sudah
mulai emosi, sebagian meneriaki seperti <i>"Sudah dia,
om Tibo yang
melakukan penyerangan dan telah membunuh polisi serta
mantan lurah
Kaimanya"</i>, bahkan ada yang mau memukul dan sudah
mengancam dengan
parang kepada Suster dan Para Guru yang mau menolong
menjelaskan duduk
persoalan yang sebenarnya. Saat itu pula saya menyuruh
suster dan para
guru untuk masuk ke dalam karena saya berpikir situasi
sudah lain. Saya
mengenal salah satu Tokoh Islam yang saat itu ada di
TKP bernama Abdul
Gafar. Saya sempat menyapa sebagai seorang sahabat.

Selang, beberapa saat para polisi mau membawa saya ke
kantor polisi
dengan alasan perintah langsung Kapolres lewat HT akan
tetapi saya 
tidak
mau karena tujuan kami dan para orang tua/wali
termasuk Marinus dan
Dominggus yang berada di asrama Gereja adalah membawa
dan menyelamatkan
anak-anak Panti Asuhan. Saat itu pula para polisi
mulai meninggalkan
saya sendirian di tengah massa Kelompok Putih. Polisi
tidak membubarkan
massa saat itu dan selang beberapa lama polisi
tinggalkan saya, 
mulailah
massa menjadi-jadi bahkan dengan beringasnya mereka
merusak bahkan
membakar semua asset-asset gereja, bahkan rumah Gereja
Katolik itu
sendiri.

#3Di tengah-tengah amukan massa yang sudah tidak
terkendali lagi, saya
tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya berdoa supaya
saya dan penghuni
yang ada di dalam bisa selamat dan oleh kemurahan
Tuhan sajalah saya
bisa menerobos di tengah-tengah massa dan kembali ke
dalam asrama, saat
itu saya sudah tidak melihat lagi seluruh penghuni
asrama. Rupanya
mereka sudah menyelamatkan diri lewat belakang asrama
naik ke gunung,
tinggal saya sendirian di dalam asrama, saya tetap
hanya berdoa
<i>"Tuhan lindungilah kami"</i>. Tiba-tiba saya
dikejutkan oleh
seseorang yang memakai sepati lars, berkaos loreng,
juga bercelana
loreng seperti seorang tentara yang mengatakan kepada
saya <i>"Om cepat
lari selamatkan diri"</i>, saya jawab terima kasih.
Saat itu pula lewat
belakang asrama saya menuju gunung menyelamatkan diri.

Tanpa disangka kami bisa bertemu dan berkumpul di atas
gunung. Puji
Tuhan, teman-teman lain menyangka bahwa saya sudah
mati, tetapi Tuhan
menyelamatkan saya, berkumpul dengan anak-anak,
Pastur, Suster dan Para
Guru, kamipun menengok ke bawah, gumpalan-gumpalan
asap tebal sudah
menghanguskan rumah gereja, asrama tinggal, aula dan
lainnya.
Selanjutnya kami mulai berjalan bersama dengan
anak-anak Panti Asuhan
berjumlah 85 (delapan puluh lima) orang anak, tidak
terhitung para
wali/orangtua, guru, suster, pastur. Akan tetapi
Pastur, Suster serta
Sopir Pastur sudah terlebih dahulu berpisah di kebun
milik Daeng Hulle.

Saya dan rombongan tetap berjalan walaupun belum
sempat makan, kami
harus selamat. Dalam hati saya berpikir bahwa
jebakan-jebakan kepada
kami sudah disusun rapi. Rupanya mereka ingin supaya
kami terlibat 
dalam
setiap masalah yang terjadi. Saya yakin Sdr. Janis
Simangunsong, bahkan
petugas-petugas di Tentena terlibat langsung dalam
skenario penyerangan
semalam! Mereka sengaja mau melibatkan kami padahal
kami hanya 
pendatang
yang mau mencari kehidupan buat anak-anak kami.
Semakin jauh kami
berjalan semakin pula menguras tenaga, hanya buah-buah
dan makanan apa
adanya yang kami dapati untuk menguatkan tubuh kami
disertai Doa kepada
Tuhan.

Akhirnya kami tiba di pinggir kali. Sambil melepas
lelah kami bertemu
dengan seorang masyarakat yang nama: Henry Mangkawa
warga desa Tambaru,
saya katakan tolong kami, karena kami dikejar oleh
Kelompok Putih,
mereka menuduh kami yang menyerang di desa Kaimanya
semalam bahkan
mereka juga mengatakan bahwa kamilah yang membunuh
polisi serta mantan
lurah Kaimanya. Akibatnya Gereja kami St. Theresia
Poso dibakar oleh
massa kelompok Putih. Tapi syukurlah anak-anak, serta
Pastur, Suster 
dan
Guru dapat diselamatkan. Bapak Herry katakan: <i>"kami
akan menolong
bersama seluruh warga Desa Tambaru, akan tetapi kami
menolong dulu
rombongan yang lebih dahulu, yang dipimpin oleh Ir.
Lateka, itu 
orangnya
yang lagi duduk di bawah pohon kelapa yang kepalanya
diikat dengan
handuk"</i>. Rupanya Sdr. Lateka sudah terluka parah
dan seorang 
perawat
di desa Tambaru merawatnya. Setelah pertolongan warga
kepada Sdr. 
Lateka
dan anggotanya selesai, mereka langsung menuju
Tentena, karena mobil
mereka sudah datang. Sdr. Lateka selalu memegang Radio
(HT) untuk
komunikasi. Saya yakin benar dialah orangnya yang
menyerang semalam
bersama anggota-anggotanya.

Sesudah rombongan Lateka pergi barulah saya dan
rombongan ditolong oleh
Bapak Herry serta seluruh warga desa Tambaru. Saat itu
pula seluruh
warga, juga Bapak Herry mengatakan bahwa penyerangan
di desa Kaimanya
dilakukan oleh Saudara Lateka beserta pasukannya,
terbukti 1 (satu)
pucuk pistol milik anggota polisi yang terbunuh ada di
genggaman Sdr.
Lateka.

Selanjutnya jam menunjukkan 03.30 wita (subuh) tanggal
24 Mei tahun 
2000
kami meninggalkan desa Tambaru menuju Tentena, sampai
di Tentena jam
06.00 wita, sebelumnya kami mampir di desa Kuku Umbu
menurunkan
anak-anak Panti Asuhan yang tinggal di desa Kuku.

Setelah kami tiba di Tentena kami langsung ditahan
serta diancam akan
dibunuh bila tidak mengikuti semua petunjuk yang
dilakukan oleh Sdr.
Paulus Tungkanan. Rupanya beliau sangat dihormati oleh
Kelompok Merah
sebagai Panglima atau Pimpinan Perang yang sangat
ditakuti. Kami tidak
bisa berbuat apa-apa apalagi kami hanya sebagai warga
pendatang yang
tujuannya untuk mencari hidup untuk masa depan
anak-anak kami. Syukur
anak-anak Panti Asuhan yang kami bawa dari Poso
diperbolehkan pulang ke
rumah beserta para Guru, Suster, Pastur dan lainnya.
Sedangkan kami
tetap tinggal di Tentena dengan maksud dan tujuan yang
tidak jelas. 
Saya
dan Marinus juga Dominggus saat itu sudah
dipisah-pisahkan di Tentena,
oleh Saudara Paulus Tungkanan sebagai Panglima Perang
Kelompok Merah.

#4Suatu ketika saya ikut pertemuan di desa Kelei,
kurang lebih 4 
(empat)
km dari Tentena di rumah anaknya Sdr. Herman Parito.
Hasil pertemuan
tersebut saya diperintahkan untuk menuju Desa Tagolu,
saya sempat
bertanya, untuk apa saya mau kesana?. <i>"Untuk apa
tanya-tanya?"</i>
Hardik Sdr. Paulus Tungkanan. Terus terang saya sangat
rindu berkumpul
dengan keluarga saya, tetapi saya tidak bisa berbuat
apa-apa, nyawa 
saya
dan keluarga saya sangat terancam. Untuk Marinus dan
Dominggus saya
sudah tidak tahu lagi keberadaannya. Saya mencoba
mengikut Petunjuk 
Sdr.
Paulus Tungkaman apa maunya dia. Sekira jam jam 15.00
wita (jam 3 sore)
saya berangkat ke desa Tagolu, saya mampir dulu di
desa Sayo, oleh 
Bapak
Lurah serta masyarakat memberi saya makan bahkan
sempat didoakan oleh
Ibu Pendeta Sayo.

Saya berangkat dari Desa Sayo jam 7 malam dan tiba di
desa Tagolu sudah
malam. Nanti ketemu Ir. A. Lateka sudah larut malam.
Di situ ada Sdr.
Erik Rombot, Soni Rumead yang sibuk bicara via HT.
Sdr. Lateka 
berbicara
kepada saya yaitu menggantikan dia dalam melaksanakan
tugas, tetapi 
saat
itu pula saya tidak menerima tugas tersebut karena
tidak ada kejelasan.
Saya tetap waspada karena ternyata saat ke Tagolu
hanya semata-mata
untuk menggantikan tugas dari Sdr. Ir. A. Lateka. Saya
tahu setelah 
saya
menolak tawaran mereka yang bertentangan dengan hati
nurani, gerak 
gerik
saya selalu dimonitor oleh Sdr. Paulus Tungkanan
beserta anak buahnya
serta petinggi-tinggi kelompok Merah (Kristiani).

Pada tanggal 28 Mei 2000 sekitar jam 07.30 di rumah
Sdr. Bate Lateka di
Desa Tagolu, kami kedatangan 5 (lima) orang anggota
Polres Poso yang
dipimpin oleh Kapten Mandagi dan 4 (empat) anak
buahnya membawa 
perintah
langsung dari Bapak Kapolres Poso sekaligus memohon
bantuan kelompok
Merah
(Kristiani) yang ada di Desa Tagolu untuk mengevakuasi
seluruh 
perempuan
dan anak-anak yang berada di KM.9, Komp. Wali Songo
dan akan diamankan
di Asrama Kompi Kawu, sedangkan para lelaki tetap
ditempat untuk 
menjaga
lokasi tersebut. Bapak-Bapak Polisi tersebut diterima
oleh Saudara Erik
Rombot, Bate Lateka, Angke Tungkanan, serta Ventje
Angkouw. 
Perbincangan
tetap berlanjut, saya mohon pamit karena mau menuju
Desa Sayo atas
perintah langsung Panglima Perang, Paulus Tungkanan
via telepon yang
diterima oleh Sdr. Erik Rombot.

Saya dan kurang lebih 60 (enam puluh) orang berangkat
ke Desa Sayo 
untuk
menjemput 9 orang yang sudah tak berdaya akibat
gempuran massa dari
kelompok putih. Sekembalinya saya dan teman-teman dari
Desa Sayo, di
ujung kampung kami dihadang oleh sebahagian masyarakat
desa Tagolu yang
menyampaikan bahwa di Km.9, komp. Wali Songo sudah
terjadi penyerangan
yang dilakukan oleh kelompok Merah (Kristiani) yang
dipimpin oleh Sdr.
Erik Rombot, Bate Lateka, Angki Tungkanan, Ventje
Angkouw. Saya tidak
mengerti mengapa bisa terjadi penyerangkan di Km.9
(komp. Wali Songo)?

Rupanya perintah langsung Bapak Kapolres untung
mengevakuasi massa
perempuan dan anak-anak di km.9 ternyata merupakan
suatu rekayasa dan
permainan politik yang rapi, bahkan masyarakat
mengatakan bahwa 
kejadian
di km.9 (komp. Wali Songo) adalah pembuatan Kapten
Mandagi dan 4 
(empat)
anggotanya yang telah memprovokasi massa kelompok
Merah (Kristiani),
yang saat penyerangan dipimpin langsung oleh Sdr. Erik
Rombot, Bate
Lateka, Angki Tungkanan, dan Ventje Angkouw, bahkan
sebelumnya ada 
salah
satu anggota polisi bernama Peter Pasepe yang
berteriak-teriak sambil
menangis yang tujuannya mencari simpati massa kelompok
Merah 
(Kristiani)
katanya "Rumahnya habis terbakar dibakar Kelompok
Putih (Islam) di 
Poso.
Mulai saat itu disertai emosi yang meluap-luap terjadi
penyerangan di
Km.9 (komp. Wali Songo) mengakibatkan pembunuhan,
pembakaran rumah, di
Km.9 (komp. Wali Songo) tidak terelakkan lagi, tetapi
ada sebahagian
masyarakat yang beragama Kristiani di Desa Tagolu
tidak mau mengikuti
penyerangan tersebut yang saya yakin semata-mata
disuluh oleh api
provokasi dari Kapten Mandagi dan 4 (empat)
anggotanya. Perintah
langsung bapak Kapolres kepada Kapten Mandagi, saya
bisa artikan yaitu
Perintah Penyerangan.

Ada beberapa hal yang bisa saya sampaikan sehubungan
dengan peristiwa
penyerangan di Km. 9 (komp. Wali Songo), sebagai
berikut :<i> 1. Apa
betul Bapak Kapolres Poso (Pa Basaopu) memerintahkan
Kapten Mandagi
untuk mengevakuasi seluruh perempuan dan anak-anak di
Km.9 (komp. Wali
Songo) serta harus dibawa di asrama Komp. Kawua?
Tetapi mengapa bukan 
di
asrama Polres, karena yang evakuasi tersebut adalah
Bapak Kapolres? 
Atau
kenapa pihak TNI tidak dilibatkan untuk pelaksanaan
evakuasi? 2. 
Mengapa
perintah Bapak Kapolres hanya ditujukan kepada Massa
Kelompok Merah
(Kristen) sedangkan yang mau dievakuasi adalah kaum
perempuan dan
seluruh anak-anak yang beragama Islam?</i>

Saya menduga lanjutan pembicaraan Kapten Mandagi dan 4
(empat) anak
buahnya bersama pimpinan Kelompok Merah yang bisa saya
sebut Sdr. Erik
Rombot, Angki Tungkanan, Bate Lateka dan lainnya,
setelah saya
tinggalkan menuju Desa Sayo, merupakan strategi
penyerangan yang akan
dilakukan di km. 9 (komp. Wali Songo).

Perlu saya sampaikan juga bahwa untuk diketahui
kehidupan antar umat
beragama di km. 9 (komp. Wali Songo) sebelumnya sangat
damai, rukun dan
tidak konflik. Akan tetapi mengapa kehidupan yang
damai rukun bisa
mengakibatkan kehancuran?. Apalagi mayoritas di km.9
(komp. Wali Songo)
adalah warga pendatang. Semua ini terjadi karena ada
kepentingan-kepentingan tertentu baik pribadi maupun
organisasi/
kelompok. Begitupun karena api provokasi yang sengaja
diciptakan,
orang-orang yang tidak mau bertangung jawab karena
tidak suka damai, 
dan
hanya mau mementingkan diri sendiri.

#5Saya sangat berharap apa yang saya sampaikan dapat
dipertimbangkan,
karena saya yakin jeritan saya ini merupakan jeritan
begitu banyak
orang-orang yang tertindas, teraniaya, terancam karena
tidak bisa 
bicara
tentang kebenaran dan semuanya ditimpahkan dan
dituduhkan kepada kami.

Sayapun sangat berterima kasih bila penyampaian saya
ini boleh menjadi
pertimbangan Bapak guna pengusutan lebih lanjut, dan
saya tiap menjadi
saksi apapun resiko yang akan saya terima demi
keadilan dan 
kebenaran!!!

Sayapun sempat kecewa karena suara hati kami mulai
persidangan tingkat
pengadilan negeri, sampai peninjauan kembali ke
Mahkamah Agung, belum
diperhatikan secara hukum, semoga saatnya sekarang
kebohongan publik
tidak akan terjadi lagi. Semua yang melanggar hukum
harus taat pada
hukum dan perundangan yang berlaku di Negara Republik
Indonesia.

Inilah yang dapat saya sampaikan dengan sebenarnya
semoga teriakan hati
nurani kami dapat didengar sehingga bisa terungkap
kebenaran yang
sebenarnya.

Terima kasih.


Palu, April. 2005

<b>Yang menyampaikan,</b>
Fabianus Tibo

<b>Dibenarkan oleh</b>
Dominggus da Silva
Marinus Riwu



Terlepas dari benar tidaknya pernyataan dan pembelaan
yang disampaikan
Fabianus Tibo Cs diatas dan dalam persidangan selama
ini, pemerintah RI
memiliki "hutang" untuk mengungkap 16 nama yang selama
ini dinyatakan
Tibo Cs sebagai saksi atau dalang kerusuhan Poso. Bila
pemerintah tutup
mata dan tidak bertanggung jawab mengungkap semua ini,
berarti
pemerintah RI berani mencurahkan darah rakyatnya tanpa
mau membereskan
masalah yang sesungguhnya. Hanya itukah model dan
nilai pemerintah
Indonesia?.

Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 


***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke