Kudeta -- Yang Sutra, Yang Brutal & Yang Merangkak

Aboeprijadi Santoso


Dalam tempo hanya dua pekan, Jenderal Sonthi Boonyaratglin di Bangkok 
dan mantan Presiden B.J. Habibie di Jakarta telah memperkaya khasanah 
pengetahuan kita tentang kudeta. 

Jenderal Sonthi memimpin perebutan kekuasaan di Thailand dengan apa 
yang belakangan disebut "kudeta sutra". Dan Habibie, lewat 
bukunya, "Detik Detik Yang Menentukan", mengungkap sebuah upaya 
kudeta yang gagal pada 22 Mei 1998 - yang barangkali boleh disebut 
sebagai "kudeta brutal yang gagal".

Kedua kudeta itu menjadi kontroversi. Di Negeri Gajah, permainan 
kudeta pernah menjadi tradisi yang berkepanjangan, sedangkan di 
Negeri Garuda, kudeta militer menjadi tabu sejak Orde Baru berkuasa 
tahun 1960an. Keduanya, baik Thailand mau pun Indonesia, tengah 
memantapkan demokrasi. 

Sepintas, kudeta Jenderal Sonthi yang sukses itu tampak amat berbeda 
dengan kudeta gagal yang diungkap Habibie. Disimak lebih mendalam, 
ternyata ada persamaannya yang hakiki.


Kudeta Sutra


Jenderal Sonthi bertindak terbuka, terang-terangan merebut kekuasaan 
negara, dengan mengerahkan tank-tank ke gedung pemerintahan, lalu 
membelot terhadap perintah PM Thaksin Shinawatra dari New York, 
kemudian meminta restu Raja Bhumipol. Di negeri yang santun ini, 
Dewan Militer yang dibentuk Jenderal Sonthi mengambil langkah politik 
yang brutal, yang memerlukan dukungan - paling sedikit, isyarat 
dukungan - dari Raja Bhumipol, penguasa tertinggi negara yang 
berstatus Dewa-Raja dan sangat populer di kalangan rakyat. Jenderal 
Sonthi mencatat sukses. Kudetanya mulus, tak berdarah, tanpa 
kekerasan, bahkan disambut kuntum bunga kuning.

Tapi kudeta sutra itu adalah sebuah kontradiksi. Betapa pun, "coup 
d'état" adalah suatu langkah yang tidak sah dalam suatu demokrasi. 
Bagaimana upaya perebutan kekuasaan yang per definisi tidak absah, 
seolah menjadi absah, adalah kunci magis yang dimungkinkan oleh 
wibawa sang Dewa-Raja. Pada akhirnya, meski kudeta itu tetap 
merupakan jalan yang tak absah, namun Raja telah memberikan isyarat 
restunya - seolah restu Raja dapat memaafkan sebuah langkah yang 
salah. Akhir-nya, sejarah harus mencatat bahwa langkah yang tak absah 
itu tampaknya cukup berkenan bagi sang Raja dan sebagian rakyat. 

Tetapi, Thailand akan harus membayarnya kelak dengan risiko dan 
konsekuensinya jika Raja Bhumipol tidak lagi berada di tengah mereka. 
Menurut para pengamat, rupanya penggulingan PM Thaksin sangat mungkin 
merupakan hasil rembugan para jendral dan Raja dalam rangka 
menyiapkan pelembagaan demokrasi untuk mencegah dominasi arogan ala 
Thaksin di masa mendatang, sekaligus mencegah stagnasi apabila peran 
dan wibawa Raja kelak tak mampu memberi solusi bagi krisis demokrasi. 
Singkatnya, inilah konspirasi Raja dan militer dalam rangka « 
memperkuat demokrasi » di masa mendatang.

Kudeta itu boleh saja semulus selendang sutra, tapi, apa pun alasan 
pembenaran-nya, itu berarti elit militer dan Raja telah mencemari 
proses demokrasi, dan tidak memberi ruang pembelajaran berdemokrasi 
bagi masyarakat. Di situ, legitimasi institusi Raja berkontradiksi 
dengan asas demokrasi. 

Dengan kata lain: ketika pemerintahan yang terpilih demokratis tapi 
berkuasa secara angkuh, serakah dan nyaris despotis, seperti 
pemerintah PM Thaksin, maka orang tak perlu lagi menunggu pemilu baru 
untuk menggantikannya. 

Kini, jalan pintas telah tersedia lewat kudeta militer dan restu Raja.


Gaya Brutal & Merangkak


Jalan pintas seperti itulah yang menghantui Presiden B.J. Habibie di 
Jakarta pada  22 Mei 1998, sehari setelah dia ditunjuk Soeharto untuk 
menggantikannya. 

Dalam kasus Indonesia, sang Raja, Soeharto, memilih mundur atas 
keputusan sendiri, tanpa memberi restu yang justru sedang dan amat 
didambakan oleh menantunya, Letjen Prabowo Subianto. Raja yang satu 
ini juga penentu seperti di Thailand, tapi dalam kualitas amat 
berbeda. Di Thailand, pelecehan terhadap Raja, yang dituduhkan pada 
Thaksin, merupakan tabu. Di Indonesia, menggelar kudeta secara 
terbuka, itulah tabu TNI/ABRI sejak Orde Baru. Soeharto pernah 
menggelar "kudeta merangkak" dan berhasil, maka logis, dia tak ingin 
orang lain akan melakukan hal yang sama terhadap dirinya. 

Habibie mengungkap, waktu itu ada sejumlah pasukan dikerahkan dan 
melakukan pengepungan dan Pangkostrad yang digusur, Letjen Prabowo 
Subianto, mendatangi-nya dengan marah marah. Prabowo mengakui ada 
pengerahan pasukan, tapi membantah telah memarahi Habibie dan 
melakukan pengepungan istana. Mayjen Syafrie Syamsuddin, waktu itu 
Pangdam Jakarta, membenarkan adanya penggalang-an pasukan olehnya, 
yang sebagian atas permintaan Prabowo, tetapi Syafrie diam tentang 
pengepungan, sedangkan Jendral Wiranto, waktu itu Menteri Pertahanan 
dan Pangab, berkelit. Yang terang, Jenderal Sintong Panjaitan, selaku 
staf pribadi presiden, meminta Prabowo pulang. Dan sebuah sumber yang 
dekat dengan Endri-artono Sutarto, mengatakan bahwa Endriartono, 
waktu itu Danpas-pampres (ko-mandan pengawal presiden)-lah yang 
mencegat dan melucuti senjata Prabowo sebelum masuk istana. 

Bukan mustahil, Wiranto juga menggerakkan sebagian pasukan. Beberapa 
hari sebelumnya, sekitar saat kerusuhan Trisakti dan pemerkosaan 
perempuan Tiong-hoa, Wiranto pergi ke Malang memeriksa pasukan 
Kostrad di sana. Habibie sendiri menekankan bahwa cerita yang 
diungkapnya itu baru sebagian saja. Pantas dia menolak desakan 
Prabowo agar merevisi ceritannya. Sementara Wiranto "atas nama TNI" 
memberi dukungan pada usul Habibie agar Amien Rais dicalonkan presi-
den. Amien mengaku, waktu itu, ada seorang jenderal, barangkali 
maksudnya Prabowo, yang mengancam "Tien An Men Kedua" jika Amien 
menggalang dukungan rakyat.

Dengan kata lain, besar kemungkinan, yang terjadi adalah upaya kudeta 
Prabowo yang gagal. Prabowo gagal karena Habibie sudah mengangkat 
Wiranto sebagai Pangab (Prabowo mengusulkan Soebagio HS) dan karena 
Soeharto toh tidak akan merestui menantunya ini. Perbedaan pendapat 
Habibie dan Prabowo yang ramai di media massa hanya menjadi semacam 
kabut untuk menutupi-nutupi agar kejadian itu tampak mulus bagaikan 
selendang sutra Thailand.

Di Bangkok, Jenderal Sonthi bertindak polos dan Raja Bhumipol 
mengisyaratkan restunya secara jelas. Di Jakarta, Habibie, Prabowo 
dan Wiranto berupaya menutup-nutupi sebuah upaya kudeta brutal yang 
gagal. Ketiga tokoh ini menyadari benar betapa tabu dan dosa-yang-tak-
termaafkan apabila sebuah kudeta militer digelar secara terbuka. 

Dengan kata lain, ketiganya adalah murid-murid yang baik dari 
Jenderal Besar yang berdarah, namun sukses dalam menggelar "kudeta 
merangkak" sejak September 1965 sampai 11 Maret 1966.


Diolah dari Kolom Ahad penulis
Radio Nederland Wereldomroep 02 Oktober 2006
http://www.ranesi.nl/arsipaktua/Asia/indonesia060905/kudeta_kolom_aboe
prijadi061002







***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke