Date: Mon, 9 Oct 2006 21:11:24 -0700 (PDT)
Subject: Request: Koran Tempo 9 Okt 2006 Hal A7

  Berikut Tulisan dari Koran Tempo Tanggal 9 Oktober 2006 Hal. A7, Penulis: 
Yophiandi
   
  Senin, 09 Oktober 2006

  Nasional

  Rekonsiliasi Setengah Hati
   
  Tanpa ada kata maaf, sebagian orang yang terhalang pulang memilih tetap 
menjadi warga asing.
   
  Kabar bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan bertandang ke Helsinki, 
Finlandia, 11 September lalu, disambut penuh antusias oleh Tom Iljas dan 
kawan-kawan. Ia bersama ratusan bekas mahasiswa ikatan dinas yang tersebar di 
Eropa karena statusnya sebagai warga Indonesia telah dicabut sejak 1965 sepakat 
untuk menyampaikan aspirasi mereka secara tertulis.
   
  Tepat pukul 17.30 waktu setempat, Tom, yang mengenakan setelan jas warna 
gelap, telah siap di ruang pertemuan kantor Kedutaan Besar RI di kota itu. Tiga 
pucuk surat untuk Presiden digenggamnya erat di dalam map. Namun, ketika 30 
menit kemudian pertemuan dibuka, dia dan kawan-kawan harus kecewa. Presiden 
Yudhoyono hanya melakukan monolog selama 25 menit. Tak ada tanya-jawab. 
"(Padahal) saya sangat berharap bisa berbicara langsung dengan Presiden," kata 
Tom mengungkapkan perasaannya kepada Tempo melalui telepon Rabu pekan lalu.
   
  Tom tak kehilangan akal. Ia kemudian menghampiri Menteri Hukum dan Hak Asasi 
Manusia Hamid Awaludin, yang turut hadir dalam acara itu. Hamid menyambut 
dirinya dan beberapa teman dengan hangat. Satu per satu dibukanya surat dari 
Tom. Begitu usai membaca, "(Air) mukanya berubah," kata Tom. Hamid menyatakan 
isi surat itu tak bisa dikabulkan. "Kalau mau paspor, kami urus. Kalau ini, 
tidak bisa," begitu respons Hamid.
   
  Dalam tiga pucuk surat itu, Tom dan kawan-kawan antara lain menguraikan nasib 
para eks mahasiswa ikatan dinas yang terlunta-lunta di negeri orang. Mereka 
juga menyambut baik terbitnya Undang-Undang Kewarganegaraan baru. Melalui 
peraturan pelaksanaan undang-undang itu diharapkan mereka bisa kembali menjadi 
warga negara Indonesia dengan lebih mudah. Tapi ada syarat sebelum hak mereka 
dipulihkan: pemerintah harus mengakui bahwa rezim Orde Baru telah melakukan 
pelanggaran hak asasi manusia dengan mencabut kewarganegaraan mereka.
   
  Sejak akhir 1950-an hingga awal 1960-an, Kementerian Pendidikan dan 
Kebudayaan mengirimkan sekitar 700 mahasiswa ke negeri komunis, seperti Uni 
Soviet (sekarang Federasi Rusia), Cina, dan Kuba. Tom, misalnya, mempelajari 
seputar mesin diesel di Jurusan Teknik Mesin Universitas Beijing pada 1958. 
Pada 1965, kontrak belajar ayah tiga anak itu serta mahasiswa lainnya berakhir. 
"Saya sudah ngepak barang, mau pulang, tapi paspor saya ditahan ketika melapor 
ke kedutaan," katanya.
   
  Rupanya, di Tanah Air baru saja meletus Gerakan 30 September 1965. Pelakunya 
disebut-sebut Partai Komunis Indonesia, yang saat itu ikut menguasai 
pemerintah. Akibatnya, semua hal yang berhubungan dengan pemerintah Soekarno 
dianggap sebagai bagian darinya.
   
  Setelah terkatung-katung tanpa kewarganegaraan di Cina, Tom bersama istrinya 
hijrah ke Swedia. Ia menjadi warga negara itu pada 1975 setelah menunggu lima 
tahun proses kewarganegaraan. "Setahun kemudian, saya bersama keluarga bisa 
mudik ke Padang (Sumatera Barat)," tuturnya.
   
  Bagi Sobron Aidit, rencana pemberian kewarganegaraan bagi orang yang 
terhalang pulang sejak 1965 bukan hal yang esensial. Selain ada kata maaf, 
menurut adik kandung tokoh PKI Dipa Nusantara Aidit itu, Ketetapan MPRS Nomor 
XXV Tahun 1966 harus dicabut. "Kalau tidak, selalu ada alasan terhadap kami 
untuk ditangkap kalau kembali ke Indonesia," ujar Sobron, yang kini bermukim di 
Prancis.
   
  Andai pemerintah mengabulkan semua syarat yang mereka minta, sebetulnya tak 
serta-merta Tom dan Sobron kembali ke Tanah Air. Sebab, itu berarti mereka 
harus melepas pekerjaan yang telah puluhan tahun dilakoni. Juga soal jaminan 
sosial hari tua yang tak mungkin didapat di Indonesia. "Kami ini sudah tua, 
cuma menyusahkan negara dan saudara saja," kata Sobron.
   
  Menteri Hamid menyebut rencana pemberian kewarganegaraan bagi mereka yang 
terhalang pulang sebagai ikhtiar dari Presiden Yudhoyono untuk mencapai 
rekonsiliasi. Namun, kalau harus meminta maaf, apalagi mencabut ketetapan MPR, 
"Tuntutan itu hal yang berbeda lagi, itu sudah politik. Yang memperlakukan 
mereka begitu kan masa lalu," katanya. Kalau demikian, rekonsiliasi hanya 
setengah hati? 

  (YOPHIANDI)

  koran 
=====================================
   
  Senin, 09 Oktober 2006

  Nasional

  Setelah Enam Tahun Berlalu
   
  Keharuan membekap ruang pertemuan Kedutaan Besar RI di Den Haag, Belanda, 17 
Januari 2000. Untuk pertama kalinya setelah puluhan tahun, seorang petinggi 
negara bercengkerama dengan sekitar seratus orang bekas mahasiswa dan pengajar 
ikatan dinas yang dicabut statusnya sebagai warga negara Indonesia di awal 
rezim Orde Baru berkuasa. Mereka bersama menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan 
khidmat.
  "Saya tidak sanggup menahan air mata dan tidak mampu mengeluarkan kata-kata 
dalam bait lagu kebangsaan. Ternyata air mata bukan milik saya semata, tapi 
milik semua yang hadir," tulis mantan Duta Besar RI untuk Belanda, Abdul Irsan, 
dalam memoarnya, Hubungan Indonesia-Belanda: Antara Benci dan Rindu.
   
  Petinggi negara yang dimaksudnya adalah Menteri Hukum dan Perundang-undangan 
Yusril Ihza Mahendra. Kala itu, 15-18 Januari 2000, Yusril mengadakan kunjungan 
dinas ke Belanda. Ia antara lain bertemu dengan Menteri Kehakiman Belanda A.H. 
Korthals dan Menteri Kerja Sama Pembangunan Ms. E.L. Herfkens. Di luar agenda 
resmi, ternyata Yusril tak keberatan berdialog dengan sebagian warga Indonesia 
yang dihalangi pulang pada awal rezim Orde Baru berkuasa. Padahal, "Umumnya 
mereka menolak disebut terlibat G-30-S/PKI, tapi membenarkan disebut sebagai 
Soekarnois," tulis Irsan.
   
  Di hadapan sekitar seratus orang bekas mahasiswa dan pengajar ikatan dinas 
yang umumnya telah renta itu, Yusril mengungkapkan pintu bagi mereka untuk 
pulang dan menjadi warga Indonesia siap dibuka kapan saja. Presiden Abdurrahman 
Wahid, kata Yusril, menginginkan adanya perubahan dan kebijakan baru dalam 
perundang-undangan.
   
  Klausul penangkalan warga Indonesia kembali ke Indonesia dalam Undang-Undang 
Keimigrasian, misalnya, akan dihapus. Gagasan ini telah dibicarakan dalam 
sidang kabinet bidang politik dan keamanan yang dihadiri Kepala Badan 
Koordinasi Intelijen Negara.
   
  Namun, data masih harus terus di-update. Sebab, dalam data pemerintah tentang 
mereka, masih tercantum seseorang yang bernama Agus Kartasasmita. "Padahal Agus 
Kartasasmita ini sudah lama pulang ke Tanah Air dan sudah menjadi konglomerat," 
tuturnya, seperti ditulis Umar Said dalam Angin Segar di Cakrawala Indonesia, 
31 Desember 2000. "Tawa riuh pun meledak atas guyonan Yusril tersebut," tulis 
mantan wartawan Indonesia Raja dan Harian Rakjat yang bermukim di Paris, 
Prancis, itu.
   
  Sayang, proses updating itu tak jelas kelanjutannya, lantaran Yusril keburu 
dicopot Abdurrahman. Tak lama berselang, giliran sang Presiden dilengserkan 
oleh MPR. Yusril kemudian masuk lingkaran elite kabinet, tapi kebijakan 
Presiden Megawati rupanya tak seprogresif Abdurrahman.
   
  Kini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ingin melanjutkan apa yang dirintis 
Abdurrahman Wahid. Akhir September lalu, dia memberikan waktu empat pekan 
kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin untuk menuntaskan 
peraturan pemerintah yang telah dirintis enam tahun lalu. (YOPHIANDI)
   
  koran 
=============================================
   
  Senin, 09 Oktober 2006

  Nasional

  Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin: Tuntutan Itu Sudah Politis
  Setelah 40 tahun hidup terkatung-katung di negeri orang, para mantan 
mahasiswa Indonesia yang dicabut paspornya oleh rezim Orde Baru kini berpeluang 
kembali menjadi warga negara Indonesia. "Tanpa naturalisasi seperti masa lalu," 
kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin.
   
  Namun, peluang dan tawaran itu tak begitu saja diterima. Beberapa di antara 
bekas mahasiswa yang kini umumnya sudah renta dimakan usia itu mengajukan 
syarat: pemerintah meminta maaf atas pelanggaran hak asasi yang dilakukan rezim 
Orde Baru. Bagaimana respons pemerintah? Berikut ini penjelasan Hamid kepada 
pers seputar kebijakan tersebut pada Jumat lalu.
   
  Bagaimana kesiapan peraturan pemerintah bagi mantan mahasiswa ikatan dinas 
yang ingin kembali ke Indonesia?
   
      Penerima beasiswa itu semua akan diproses di luar negeri. Saya sudah 
kirim semua keputusan menteri dan formulir pendaftaran ke Departemen Luar 
Negeri. Selanjutnya Departemen Luar Negeri akan mendistribusikan ke kantor 
perwakilan di luar negeri. 
   
  Mereka menuntut pemerintah mengakui adanya pelanggaran hak asasi manusia dan 
mencabut Tap MPR Nomor XXV Tahun 1966?
   
      Saya kira lebih baik konsentrasi dulu tentang status mereka kalau mereka 
mau. Kami tidak memaksa. Tuntutan itu hal yang berbeda lagi, itu sudah politik. 
Yang memperlakukan mereka begitu kan masa lalu. Saya cenderung kalau mereka mau 
(kembali ke Indonesia), kami proses supaya mereka bisa mendapatkan kembali 
status mereka sebagai warga Indonesia. Jadi bagi yang mau, kalau yang tidak, 
tidak dipaksa. 
   
  Kabarnya Anda akan menemui mereka di Belanda?
      Ya, saya tetap akan bertemu. Tapi, soal waktunya, bisa sebelum atau 
sesudah Lebaran. 
   
  Agenda yang akan dibicarakan?
   
      Menjelaskan adanya perubahan Undang-Undang Kewarganegaraan yang membuka 
peluang bagi mereka untuk memperoleh kembali status kewarganegaraannya. 
  Hingga saat ini berapa orang jumlah mereka?
   
      Dari penelusuran kami yang tercatat ada 579 orang. Itu tersebar di Eropa 
(Belanda, Prancis, Jerman) dan Kuba. 
   
  Kepada yang sudah kerasan di luar negeri, akan dibujuk pulang?
   
      Mereka pada umumnya ingin kembali. Memang ada yang memilih hal itu, tapi 
jumlahnya tidak signifikan. 
   
  Kalau mereka mengajukan syarat permintaan maaf dan ... ?
   
      Kembali menjadi warga Indonesia adalah yang mereka nantikan sejak dulu. 
(Kini) mereka diberi kesempatan mendapat kewarganegaraannya kembali. Ini 
berlaku untuk semua orang yang kehilangan status kewarganegaraan Indonesia di 
atas lima tahun. Kebijakan ini tidak melihat latar belakang (politik) yang ada. 
Presiden beranggapan hal ini sebagai ikhtiar rekonsiliasi. 
   
  Kalau memang untuk rekonsiliasi, kenapa tuntutan mereka tak dipenuhi?
   
      Anda sudah bertanya tadi dan saya sudah menjawab. 
   
  (Yophiandi ) 




Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   
http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ 






                                
---------------------------------
Want to be your own boss? Learn how on  Yahoo! Small Business. 

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke