Surat Mawar Merah Café Bandar:

HALIM HD MASIH SEORANG PEMIMPI SETIA


10.


Berikut adalah lanjutan dari artikel Halim HD tentang kebudayaan Mandar.

Mandar dalam Strategi Budaya hingga Terorisme Ekologi (10)
SANDEQ DAN IRONI PEJABAT MANDAR
Oleh: Halim HD. Pekerja Budaya
Sandeq Race kedelapan pada tahun 2006 yang nampaknya dikaitkan dengan 
peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia makin menarik. Jika pada tahun 
yang lalu hanya diikuti oleh sekitar 30-an peserta, kali ini terdapat 
penambahan peserta sekitar 25%. Total peserta tahun 2006 yang saya dengar dari 
panitia sekitar 48 peserta; dan terlibat juga beberapa peserta dari negeri 
lain. Jerih payah dan kampanye panitia, khususnya Horst Liebner pribadi yang 
telah menekuni dunia sandeq selama belasan tahun berbuah positif dan wilayah 
Mandar dengan budaya baharinya makin dikenal, bukan hanya untuk dunia 
kepariwisataan. 
Lebih dari itu, pengenalan melalui sandeq kepada bangsa-bangsa lain akan 
mengantarkan suatu peninjauan ke dalam perspektif yang luas menyangkut 
pengembangan sosial, ekonomi, tradisi dan kebudayaan. Dan hal itu nantinya akan 
kita rasakan pada tahun-tahun dimasa yang akan datang. Kita bisa mengharapkan 
Sandeq Race dan aspek dunia sandeq lainnya sebagai major event di dalam 
pengembangan khasanah kebudayaan dan tradisi dengan berbagai seginya.
Untuk itu betapa pentingnya bagi pemda propinsi Sulbar memikirkan dan 
benar-benar memasukan Sandeq Race ke dalam agenda kerja dan anggaran propinsi, 
yang juga ditunjang oleh setiap pemda kabupaten yang berkaitan dengan dunia 
pesisir. Sebab, jika kita mengamati peristiwa Sandeq Race tahun 2006, seperti 
yang dinyatakan oleh salah seorang panitia, Ridwan Alimuddin, membuat saya 
terkejut: panitia hanya mampu mengumpulkan dana sebesar 600-an juta - di antara 
target 900-an juta - sudah termasuk hadiah pada setiap Sandeq Race Segitiga 
yang digelar di Mamuju, Malunda, Majene, Pare-Pare, Barru dan Makassar. Yang 
paling mengejutkan saya adalah hadiah tertinggi bagi pemenang Sandeq Race yang 
diluncurkan dari Mamuju ke Makassar itu sebesar 15 juta rupiah! 
Ada banyak dalih, argumentasi dan sejumlah lip service dan apologi yang bisa 
kita semburkan kehadapan siapa saja, jika kita bicara tentang angka atau jumlah 
hadiah. Sebagian orang menganggap bahwa hadiah itu hanyalah sekedar perangsang 
dan bukan hal yang utama yang ingin diraih oleh setiap peserta. Sandeq Race 
memang sudah menjadi bagian terpenting dalam kehidupan warga Mandar di Sulbar 
khususnya yang berada di pesisir. 
Mereka mengikuti untuk membuktikan bahwa tradisi itu perlu dan mesti 
diteruskan, walaupun perhatian pemda tidaklah cukup. Dan ketidakcukupan 
perhatian itu terletak pada bantuan dana setiap pemda yang hanya berupa hadiah 
ala kadarnya. Sementara itu, untuk berbagai persiapan, panitia mengalami 
lintang pukang untuk mencari tambahan dana. Bahkan dana yang diberikan oleh 
pemda propinsi itupun baru diserahkan satu hari menjelang Sandeq Race digelar, 
setelah selama berbulan-bulan menunggu dan bolak-balik antara Makassar-Mamuju, 
seperti yang disampaikan oleh salah seorang peserta.
Birokrasi kita memang tuli dan kurang peduli. Bisanya hanya dan selalu pidato 
serta menepuk dada sebagai pengemban dan penerus budaya kebaharian. Sementara 
itu perhatian dalam bentuk bantuan dana sangat minim. Ironisnya, ada banyak 
pejabat dan bupati yang bisa mengeluarkan uang jutaan dengan gampang untuk 
elekton tunggal beserta goyang pinggul yang setiap malamnya harus dibayar 
sebesar 2-3 juta rupiah untuk acara nonton bareng sepakbola dunia selama 
sebulan pada bulan Juni-Juli yang lalu. Sedangkan hadiah yang diberikan kepada 
para pejuang bahari itu yang menempuh bahaya dan mengemban seluruh citra 
tentang kehidupan kebudayaan Mandar hanya antara 3-4-5 juta rupiah jika mereka 
memenangkan lomba segitiga. 
Itupun dengan resiko tenggelam atau mengalami kecelakaan di laut, patah tiang 
layar dan sejumlah resiko lainnya; sementara itu setiap keluarga para pejuang 
bahari menunggu selama dua minggu dan hanya diberi bekal dua ratus ribu rupiah 
!! Betapa murahnya nyawa para pejuang bahari itu dibandingkan dengan para 
pemain elekton tunggal beserta penyanyi goyang pinggulnya yang selalu 
mendapatkan tepuk tangan dan sajian di rujab atau gedung-gedung mewah milik 
pemda pada setiap acara resmi maupun informal. 
Lihatlah juga nasib pengemban khasanah seni tradisi ganrang balla bullo; sebuah 
grup hanya diberi honor sebesar 500 ribu dan uang makan 30 ribu setiap hari; 
mereka harus tampil beberapa kali dalam setiap etape. Inikah bukti dari para 
elite lokal, pemimpin formal yang senantiasa pidato tentang perlunya 
melestarikan tradisi. Sementara itu, sekali lagi, elekton tunggal diberi honor 
berkali-kali lipat besarnya dan selalu mendapatkan tepukan tangan yang meriah, 
di antara senyum simpul dan aroma parfum.
Kita perlu merenungi makna kebudayaan Mandar dalam aspek kebahariannya, 
memeriksa diri kita kembali, apakah benar bahwa diri kita sudah bersikap adil, 
dan benar-benar menerapkan konsep serta nilai-nilai ke-Mala'bi-an, jika kita 
melihat realitas dalam Sandeq Race yang dipelopori oleh Horst Liebner selama 
belasan tahun? Adakah kita masih memiliki rasa malu dan tanggungjawab dan 
martabat, harga diri ketika para pejuang bahari berlayar ditengah-tengah laut 
dengan perkasa yang membawa nama harum suatu bangsa? saya jadi teringat apa 
yang diungkapkan oleh pengarang besar kita, Pramoedya Ananta Toer (alm), dalam 
suatu obrolan di teras rumahnya belasan tahun yang lampau, ketika kami bicara 
tentang kehidupan kebudayaan kita, bahwa diri kita masih kurang dan jauh dari 
harapan di dalam penghargaan kepada kebudayaan bahari. 
Jika seorang pengarang yang jelas-jelas lahir dari elite lokal Jawa yang 
berlatar belakang kebudayaan agraris, dari sebuah kota yang jauh dari laut 
namun memiliki komitmen pemikiran terhadap dunia kebaharian, sebagaimana 
almarhum selalu dan senantiasa menyatakan, belajarlah dari orang-orang Mandar, 
Bugis, Madura tentang laut dan kebudayaan bahari, seperti juga dinyatakan oleh 
Prof. Christian Pelras yang sangat paham tentang kebudayaan Bugis dan Mandar, 
mungkin diri kita perlu melakukan suatu otokritik total, agar kita benar-benar 
bisa menghargai dan memberikan suatu posisi yang bermartabat kepada para 
pejuang bahari itu. 
Atau kita membutuhkan tindakan radikal seperti apa yang dinyatakan oleh Prof. 
Dr. Darmawan Mas'ud: rekonstruksi jihad total, agar konsep dan nilai-nilai 
ke-Mala'bi-an benar-benar diterapkan, dan kembali kehidupan kemasyarakatan 
serta birokrasi dan sosial-politik bisa bersih dan menghargai miliknya sendiri. 
Dan saya yang lahir di Banten dan besar dalam perantauan di berbagai wilayah, 
saya ingin benar menangkap inspirasi dan spirit kebaharian yang dilandasi oleh 
ke-Mala'bi-an yang selalu berada diujung lidah para elite lokal Mandar, yang 
semoga terwujud dalam tindakannya secara nyata kepada para pejuang bahari kita.
Mandar dalam Strategi Budaya hingga Terorisme Ekologi (11)
PENGEMBANGAN DUNIA PARIWISATA
Oleh: Halim HD. Pekerja Budaya
Jika kita mengamati suatu daerah dan berminat untuk mengamati kehidupan 
pariwisatanya, satu hal yang banyak kita temui adalah bahwa informasi tentang 
suatu daerah yang ingin kita kunjungi demikian minimnya, hanya terbatas sejauh 
hal itu sudah dikenal secara umum. 
Sementara itu rincian tentang banyak hal jarang bisa kita dapati dari dinas 
pariwisata maupun institusi seperti hotel, agen perjalanan. Mungkin hanya Bali 
yang agak canggih karena profesionalisme yang nampaknya sudah berjalan puluhan 
tahun, dan ditambah oleh data base yang lumayan akurat. Hal yang terakhir 
itulah yang rupanya belum digarap benar oleh para pengelola dunia pariwisata di 
berbagai daerah di nusantara, khususnya di Sulbar dan kabupaten Polman, seperti 
yang disinyalir oleh seniman kelahiran Tinambung, Asmadi Alimuddin, sutradara 
teater dan direktur artistik laboratorium seni peran di Palu. 
Ada hal yang bisa kita pelajari jika kita mengunjungi Singapura, negara kota 
yang hanya seperti sebuah titik kecil dalam peta dunia itu, merupakan suatu 
wilayah pariwisata dan bisnis yang sangat akurat dalam informasi. Dengan 
gampang kita bisa mendapatkan informasi setiba kita di bandara Changi, dari 
soal jenis makanan dengan harga yang sudah tercantum serta alamat dan kapasitas 
tempat duduk, tempat hiburan yang santai sampai dengan sejumlah mall serta 
pusat kesenian beserta acaranya. 
Bahkan jika kita ingin menelpon mereka, secara gratis dan gampang kita 
mendapatkan jawaban melalui mesin penjawab (answering machine), apa yang kita 
butuhkan. Yang lebih menarik lagi, apabila kita hanya stop over beberapa jam 
dan kita ingin mengetahui secara selintas tentang Singapura, maka jasa 
pelayanan bis keliling kota dengan hanya membayar beberapa puluh dollar kita 
bisa menikmati perjalanan yang sangat menarik, dan sejumlah buku petunjuk kita 
dapatkan. Dari hasil stop over itu saja, pemerintah Singapura bisa mendapatkan 
seratusan juta dollar devisa lebih setiap tahunnya! Hal yang sama kita dapatkan 
di Hong Kong dan Taiwan; demikian juga dengan beberapa negeri lainnya.
Lalu bagaimana dengan Sulbar, bagaimana dengan Mamasa dan Polman yang dianggap 
sebagai kantong atau wilayah kebudayaan Sulbar yang paling kaya dalam hal 
khasanah tradisi dan kebudayaan? Tidakkah pemda propinsi dan kabupaten berpikir 
untuk membuat pusat informasi dengan data base yang akurat dan menarik agar 
bukan hanya informasi itu menciptakan suatu image, citra tentang kehidupan 
kebudayaan tapi juga bisa menghasilkan devisa lokal secara ekonomis yang bisa 
dinikmati oleh warga dan pemda? 
Untuk hal itu, sudah saat kiranya pemda propinsi Sulbar dan berbagai kabupaten 
di Sulbar membuat website, situs jagat maya yang selalu di update yang bisa 
diakses oleh siapa saja dari berbagai penjuru dunia. Disamping itu, buku 
panduan yang dirancang dengan disain yang menarik yang bisa disebarkan bukan 
hanya di wilayahnya saja. Dan buku panduan, poster, leaflet, flier ini justru 
mesti disebarkan di berbagai kota atau wilayah pariwisata lainnya seperti 
Yogyakarta, Jakarta, Bali, Makassar, Toraja, di hotel-hotel dan agen 
perjalanan, agar turis domestic maupun mancanegara yang kebetulan singgah di 
daerah tersebut mengetahui secara rinci tentang wilayah Sulbar beserta obyek 
pariwisatanya, yang kita harapkan suatu ketika para turis itu akan datang 
mengunjungi wilayah Sulbar. 
Informasi kepariwisataan yang kita kemas hendaknya bukan informasi yang 
bersifat sloganistik; akurasi diperlukan berdasarkan kehidupan yang benar-benar 
ada. Hal ini perlu dibedakan dengan banyak poster atau buku petunjuk yang 
dengan glamour menyampaikan gambar-gambar suatu wilayah namun ketika turis 
datang mendapatkan kenyataan yang buruk: wilayah yang kotor dan bahkan jorok, 
acara senibudaya tidak didapatnya, dan harga-harga disodorkan dengan seenak 
perut para pengelola hotel dan restoran serta jasa lainnya. 
Dan dalam kemasan informasi itu pula kita mesti cerdas dalam memilih materi 
sebagai prioritas informasi yang kita jadikan icon, pilihan utama dan tema 
kepariwisataan. Misalnya wisata sandeq dalam berbagai aspeknya, dari proses 
pembuatan sampai dengan ritual serta pelayaran sandeq bisa menjadi sesuatu yang 
sangat menarik. Untuk itu kampong kehidupan para pembuat sandeq harus 
benar-benar dalam keadaan favourable, seperti penyediaan peturasan atau wc umum 
yang bersih, warung yang tidak perlu mewah tapi menyediakan makanan lokal yang 
berkualitas dan dengan harga yang wajar, transportasi yang gampang dicari, dan 
rasa aman. 
Sebab, dua hal yang terpenting dalam dunia pariwisata adalah soal kesehatan dan 
keamanan. Bukankah Bali dan wilayah nusantara lainnya pernah diguncang oleh 
informasi rasa tidak aman lantaran berbagai kegiatan terorisme dan epidemic 
penyakit, yang akhirnya bisa mengalihkan para turis ke negeri lain, dan kita 
kehilangan bukan hanya jutaan, tapi juga puluhan dan bahkan ratusan juta dollar 
dalam setahunnya? 
Wilayah Sulbar dengan bentangan dan kekayaan baharinya bisa menjadi tema utama; 
dan sandeq bisa menjadi icon dalam dunia pariwisata wilayah Sulbar dalam skala 
internasional, disamping berbagai hal yang terdapat dalam kehidupan khasanah 
tradisi. Dari sandeq itu, sebagaimana dikerjakan oleh Horst Liebner yang telah 
banyak berjasa, kita bisa menggali cara dari sosok itu tentang bagaimana 
jaringan internasional diciptakan, dan bagaimana pula kehidupan sandeq dan para 
pendukungnya benar-benar dapat dinikmati oleh siapa saja yang akan berkunjung 
ke wilayah Sulbar. Dari situ pula, hendaknya pemda Sulbar dan kabupaten seperti 
Polman atau Mamasa dan lainnya juga ikut menyiapkan khasanah dan wilayah 
pariwisata. 
Sekali lagi, dari Singapura, Taiwan, Hong Kong dan Thailand kita bisa belajar: 
para turis tidak hanya dikungkung dan dikangkangi oleh pengelola suatu daerah; 
pengelola turisme justru harus "merayu" secara cerdas agar bagaimana sang turis 
itu lebih lama tinggal dan mau mengunjungi daerah lainnya di Sulbar, sehingga 
lebih banyak merogoh kocek dan banyak pula mengetahui berbagai hal tentang 
kepariwisataan di Sulbar. 
Pemda propinsi Sulbar dan kabupaten mesti belajar dari berbagai kekeliruan yang 
ada di dalam pengelolaan dunia turisme di berbagai daerah di Indonesia. Ada 
banyak daerah dan kota yang membuat hotel-hotel mewah, mall, super market yang 
"konon" bisa menarik turis untuk datang. Jenis omong kosong ini hanya bisa 
dipercaya oleh anak kecil yang tidak mengetahui apa-apa. Jika mall atau super 
market serta hotel mewah jadi acuan, maka dunia pariwisata kita akan selalu 
kalah oleh Thailand, Taiwan, Jepang, Hong Kong dan Singapura. 
Maka strategi pengembangan pariwisata di Sulbar hendaknya mengandalkan dan 
mendasarkan diri kepada khasanah dan milik dirinya, misalnya jika membangun 
suatu hotel atau penginapan ter/di-buat dari bahan-bahan lokal dan dengan 
disain yang menarik. Yang paling penting adalah bagaimana melayani dengan baik, 
dan bagaimana kebersihan selalu di/ter-jaga. Bagi turis mancanegara, kemewahan 
bukanlah sebuah hotel yang menjulang. Tapi keramahtamahan dan sajian yang khas 
Sulbar. Kalau soal yang glamour, di negeri mereka lebih banyak dan jauh lebih 
bermutu. Mereka mencari yang tidak ada dinegerinya. Dan kenapa kita melupakan 
milik kita sendiri, sandeq dan khasanah tradisi Mandar dan Mamasa? 



Paris, Oktober 2006.
---------------------------
JJ. Kusni


[Bersambung......]




[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke