dapet kiriman nech bagi2 azza dech yaaach, silah!
   
  Hari Kamis, (21/9/2006), saya diundang untuk membedah buku Prof. Dr. Quraish 
Shihab yang berjudul “Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa 
Lalu dan Cendekiawan Kontemporer”. Tempatnya di Pusat Studi Al-Quran, Ciputat, 
lembaga yang dipimpin oleh Quraish Shihab sendiri. Hadir sebagai pembicara 
adalah Quraish Shihab, Dr. Eli Maliki, Dr. Jalaluddin Rakhmat, dan saya sendiri.
  Acara ini mendapat sambutan yang cukup hangat. Ruangan yang tersedia tidak 
mampu menampung ratusan hadirin. Banyak peserta harus berdiri, karena kehabisan 
tempat duduk. Bertindak sebagai moderator adalah Dr. Mukhlis Hanafi, doktor 
tafsir lulusan Universitas al-Azhar Kairo, yang baru beberapa bulan kembali ke 
Indonesia. Ketika masih di Kairo, Mukhlis Hanafi sendiri sudah menulis satu 
makalah yang mengkritik pendapat Quraish Shihab tentang jilbab. Dr. Eli Maliki, 
doktor bidang fiqih -- yang juga lulusan Al-Azhar – mendadak menggantikan Dr. 
Anwar Ibrahim, anggota Komisi Fatwa MUI yang berhalangan hadir.
  Prof. Quraish Shihab – seperti biasanya – dengan tenang mengawali paparannya 
yang ‘kontroversial’ tentang jilbab. Sudah lama ia mempunyai pendapat bahwa 
jilbab adalah masalah khilafiah – satu pendapat yang ganjil menurut pandangan 
para ulama Islam terkemuka.
  Dalam bukunya tersebut, Quraish menyimpulkan, bahwa: “ayat-ayat al-Quran yang 
berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi.” Juga, dia 
katakan: “bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau 
badan wanita bersifat zhanniy yakni dugaan.”
  Masih menurut Quraish, “Perbedaan para pakar hukum itu adalah perbedaan 
antara pendapat-pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi 
zaman serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta pertimbangan-pertimbangan 
nalar mereka, dan bukannya hukum Allah yang jelas, pasti dan tegas.
  Di sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita 
merupakan salah satu masalah khilafiyah, yang tidak harus menimbulkan 
tuduh-menuduh apalagi kafir mengkafirkan. (hal. 165-167). Dalam bukunya yang 
lain, “Wawasan Al-Quran”, (cetakan ke-11, tahun 2000), hal. 179), Quraish juga 
sudah menulis: “Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun 
ketika membahasnya berbeda pendapat.”
  Pandangan Quraish Shihab tersebut mendapat kritik keras dari Dr. Eli Maliki. 
Membahas QS 24:31 dan 33:59, Eli Maliki menjelaskan, bahwa Al-Quran sendiri 
sudah secara tegas menyebutkan batas aurat wanita, yaitu seluruh tubuh, kecuali 
yang biasa tampak, yakni muka dan telapak tangan. Para ulama tidak berbeda 
pendapat tentang masalah ini. Yang berbeda adalah pada masalah: apakah wajah 
dan telapak tangan wajib ditutup? Sebagian mengatakan wajib menutup wajah, dan 
sebagian lain menyatakan, wajah boleh dibuka.
  Saya sendiri berkeberatan dengan kesimpulan Quraish Shihab bahwa jilbab 
adalah masalah khilafiah. Saya katakan, yang menjadi masalah khilafiah adalah 
masalah muka dan telapak tangan, telapak kaki dan sebagian tangan sampai 
pergelangan, jika ada hajat yang mendesak.
  Kesimpulan Quraish Shihab – bahwa jilbab adalah masalah khilafiah -- 
seyogyanya diklarifikasi, bahwa yang menjadi masalah khilafiyah diantara para 
ulama tidak jauh-jauh dari masalah “sebagian tangan, wajah, dan sebagian kaki”; 
tidak ada perbedaan diantara para ulama tentang wajibnya menutup dada, perut, 
punggung, paha, dan pantat wanita, misalnya.
  Kesimpulan ini perlu dipertegas, agar tidak ada salah persepsi diantara 
pembaca, bahwa ‘batas aurat wanita’ memang begitu fleksibel, tergantung situasi 
dan kondisi.
  Menurut Yusuf Qaradhawi, di kalangan ulama sudah ada kesepakatan tentang 
masalah ‘aurat wanita yang boleh ditampakkan’. Ketika membahas makna “Dan 
janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak 
daripadanya” (QS 24:31), menurut Qaradhawi, para ulama sudah sepakat bahwa yang 
dimaksudkan itu adalah “muka” dan “telapak tangan”.
  Imam Nawawi dalam al-Majmu’, menyatakan, bahwa aurat wanita adalah seluruh 
tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Diantara ulama mazhab Syafii ada 
yang berpendapat, telapak kaki bukan aurat. Imam Ahmad menyatakan, aurat wanita 
adalah seluruh tubuhnya kecuali wajahnya saja.
  Diantara ulama mazhab Maliki ada yang berpendapat, bahwa wanita cantik wajib 
menutup wajahnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab. Qaradhawi 
menyatakan -- bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak 
tangan – adalah pendapat Jamaah sahabat dan tabi’in sebagaimana yang tampak 
jelas pada penafsiran mereka terhadap ayat: “apa yang biasa tampak 
daripadanya.” (Dikutip dari buku Fatwa-Fatwa Kontemporer (Terj. Oleh Drs. As’ad 
Yasin), karya Dr. Yusuf Qaradhawi, (Jakarta: GIP, 1995), hal. 431-436).
  Pendapat semacam ini bukan hanya ada di kalangan sunni. Di kalangan ulama 
Syiah juga ada kesimpulan, bahwa ‘’apa yang biasa tampak daripadanya’’ ialah 
‘’wajah dan telapak tangan’’ dan perhiasan yang ada di bagian wajah dan telapak 
tangan. Murtadha Muthahhari menyimpulkan, “… dari sini cukup jelas bahwa 
menutup wajah dan dua telapak tangan tidaklah wajib bagi wanita, bahkan tidak 
ada larangan untuk menampakkan perhiasan yang terdapat pada wajah dan dua 
telapak tangan yang memang sudah biasa dikenal, seperti celak dan kutek yang 
tidak pernah lepas dari wanita.” (Lihat, Murtadha Muthahhari, Wanita dan Hijab 
(Terj. Oleh Nashib Musthafa), (Jakarta: Lentera Basritama, 2002).
  Bahkan, dalam buku Wawasan Al-Quran, Quraish Shihab sendiri sudah 
mengungkapkan, bahwa para ulama besar, seperti Said bin Jubair, Atha, dan 
al-Auza’iy berpendapat bahwa yang boleh dilihat hanya wajah wanita, kedua 
telapak tangan, dan busana yang dipakainya. (hal. 175-176).
  Membaca kesimpulan buku Quraish Shihab tersebut, dapat menimbulkan 
pengertian, bahwa konsep “aurat wanita” dalam Islam bersifat “kondisional”, 
“lokal” dan temporal”. Kesimpulan ini “cukup riskan” karena bisa membuka pintu 
bagi “penafsiran baru” terhadap hukum-hukum Islam lainnya, sesuai dengan asas 
lokalitas, seperti yang sekarang banyak dilakukan sejumlah orang dalam 
menghalalkan perkawinan antara muslimah dengan laki-laki non-Muslim, dengan 
alasan, QS 60:10 hanya berlaku untuk kondisi Arab waktu itu, karena rumah 
tangga Arab didominasi oleh laki-laki.
  Sedangkan sekarang, karena wanita sudah setara dengan laki-laki dalam rumah 
tangga – sesuai dengan prinsip gender equality – maka hukum itu sudah tidak 
relevan lagi. Bahkan, berdasarkan penelitian, lebih baik jika istrinya yang 
muslimah, dibandingkan jika suaminya yang muslim tetapi istrinya non-Muslim. 
Sebab, sekitar 70 persen anak ternyata ikut agama ibunya.
  Dari pendapat para ulama yang otoritatif, bisa disimpulkan, bahwa ayat-ayat 
al-Quran yang berbicara tentang aurat dan pakaian wanita adalah bersifat 
universal, berlaku untuk semua wanita, sebagaimana ketika ayat-ayat al-Quran 
dan hadits Nabi yang berbicara tentang salat, jual beli, pernikahan, haid, dan 
sebagainya. Ayat-ayat itu tidak bicara hanya untuk orang Arab. Makanya yang 
diseru dalam QS 24:31 adalah “mukminat”. Itu bisa dipahami, sebab tubuh manusia 
juga bersifat universal. Tidak ada bedanya antara tubuh wanita Arab, wanita 
Jawa, wanita Amerika, wanita Cina, wanita Papua, dan sebagainya. Bentuknya juga 
sama.
  Karena itu, pakaian dan aurat wanita juga bersifat universal. Sebuah koran 
nasional pernah memberitakan, sebuah sekolah menengah di AS melarang wanitanya 
mengenakan pakaian yang memperlihatkan belahan dadanya, karena dapat mengganggu 
konsentrasi para pelajar laki-laki, yang lebih suka melihat belahan dada wanita 
ketimbang pelajaran di kelas.
  Hingga kini, di Inggris misalnya, tidak boleh melakukan aksi demonstrasi di 
jalan raya dengan bertelanjang bulat.
  Karena sifatnya yang universal, maka tidak bisa dibenarkan – di daerah mana 
pun – wanita betelanjang dada – dengan alasan sudah menjadi “kebiasaan” 
sukunya. Pakaian koteka tetap salah, dan mereka yang berkoteka diupayakan 
secara bertahap supaya menutup auratnya.
  Jika disepakati bahwa konsep teks al-Quran adalah bersifat “universal” dan 
“final” maka hukum-hukum yang dikandungnya juga bersifat “final” dan 
“universal” – tentu dengan memperhatikan faktor ‘illah.
  Sebagai taushiyah, saya sampaikan kepada Prof. Quraish Shihab, bahwa 
melontarkan pendapat seperti itu tentang jilbab, bukanlah tindakan yang bijak. 
Di tengah arus budaya pornografi dan pornoaksi dan melanda masyarakat, dan 
munculnya arus budaya jilbab di kalangan wanita muslimah, penerbitan buku 
Jilbab karya Quraish Shihab ini, menurut saya, bukanlah tindakan yang 
bijaksana. Apalagi, diterbitkan oleh sebuah lembaga yang terhormat seperti 
Pusat Studi Al-Quran.
  Ditambah lagi, meskipun ini hanya sebuah pendapat, tetapi pendapat ini bukan 
keluar dari seorang Inul Daratista atau seorang Asmuni, melainkan keluar dari 
seorang mufassir Al-Quran yang paling terkenal saat ini di Indonesia.
  Pendapat Prof. Dr. Quraish Shihab tentang jilbab dan fakta seorang putrinya 
yang tidak mengenakan jilbab dijadikan legitimasi oleh satu Majalah untuk 
melegitimasi tentang tidak perlunya wanita mengenakan jilbab. Majalah ini pada 
22 Maret 2005, menulis judul
cover: “TERHORMAT MESKI TANPA JILBAB.”
  Dr. Eli Maliki juga mengkritik sikap Prof. Quraish Shihab yang tidak 
mentarjih satu pendapat di antara para ulama, dan menyerahkan sepenuhnya kepada 
masyarakat luas untuk memilih pendapat-pendapat yang bermacam-macam. Padahal, 
kata Dr. Eli, tugas ulama adalah memimbing masyarakat, dengan menunjukkan mana 
pendapat yang lebih kuat, dibandingkan dengan yang lain. Seorang mahasiswi yang 
hadir mengaku bingung membaca buku Quraish dan takut membawa buku itu ke tempat 
asalnya, karena buku itu ia nilai bisa membingungkan.
  Menghadapi semua kritik itu, Quraish Shihab tidak berubah dengan pendapatnya. 
Ia tetap menyatakan, bahwa jilbab adalah masalah khilafiah. Padahal, dalam 
bukunya, Quraish hanya merujuk kepada pemikiran seorang pemikir liberal Mesir 
yaitu Muhammad Asymawi.
  Quraish bersikap kritis terhadap Muhammad Syahrur, tetapi tidak kritis 
terhadap Asymawi. Quraish tetap bertahan dengan pendapatnya, bahwa mengenakan 
jilbab yang menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan adalah 
‘sebuah anjuran’, bukan kewajiban.
  Eli Maliki juga mengkritik pendapat Quraish ini, dan menyatakan, bahwa 
mengenakan jilbab adalah sebuah kewajiban, yang jelas-jelas dinyatakan dalam 
Al-Quran. Quraish Shihab, meskipun bertahan dengan pendapatnya, bahwa jilbab 
adalah sebuah anjuran, namun dia mengaku telah mengajurkan keluarganya untuk 
memakai jilbab.
  Dan ia berharap, para muslimah yang berjilbab, tidak lantas melepas 
jilbabnya, karena membaca pendapatnya. Quraish juga menekankan, bahwa 
‘daerah-daerah rawan wanita’ tetap wajib untuk ditutup.
  Menurut saya, karena begitu jelasnya perintah Al-Quran, dan padunya pendapat 
para sahabat Nabi, para tabiin, tabi’ut tabi’in, dan para ulama sesudahnya, 
tentang kewajiban mengenakan jilbab, lebih aman jika kita mengikuti pendapat 
yang menyatakan bahwa jilbab adalah kewajiban yang jelas. Jika ada yang belum 
mampu mengenakan jilbab – karena berbagai alasan – sebaiknya tidak mengubah 
hukum jilbab. Lebih baik mengakui bahwa ada kekurangan dalam menjalankan 
perintah Allah SWT.
  Walhasil, diskusi itu memang belum tuntas. Quraish Shihab tetap dengan 
pendapatnya semula. Kita pun sudah menyampaikan nasehat dan pendapat-pendapat 
untuk Quraish Shihab secara langsung. Kewajiban kita sudah selesai. Sekarang 
kita serahkan kepada Allah SWT.
  Semoga masyarakat tidak dibuat bingung dengan pendapat Quraish Shihab tentang 
jilbab. Lebih aman jika masyarakat mengikuti pendapat para ulama yang sejak 
zaman Sahabat Nabi hingga kini telah bersepakat tentang kewajiban wanita 
menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangannya. Bagaimana pun, 
harus diakui, pendapat Quraish Shihab tentang jilbab, adalah pendapat yang 
ganjil, di kalangan ulama kaum Muslimin. Meskipun dia dikenal sebagai pakar 
tafsir, namun dalam hal ini, menurut saya, pendapatnya jelas keliru. 
Mudah-mudahan di masa mendatang, Quraish Shihab bersedia meralat pendapatnya. 
Wallahu a’lam. (Jakarta, 23 September 2006)
 


"Fa maadza ba'da-lhaqq, illa-dl_dlalaal"Leo ImanovAbdu-lLahAllahsSlave
                
---------------------------------
How much free photo storage do you get? Store your holiday snaps for FREE with 
Yahoo! Photos. Get Yahoo! Photos

[Non-text portions of this message have been removed]




***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke