Lydia kawanku yang hilang..... (8) Uuuh.... seketika kudengar suara merintih yang memilukan, lalu aku menoleh kearah Debi lantas memandang kearah temannya. Kulihat wajah pucat temannya bahkan badannya mulai doyong mau jatuh kearah Debi, yang sedang berdiri disampingnya. Tanpa berpikir lagi lalu dengan cepatnya aku menghampiri temannya itu yang sudah menyandarkan tubuhnya ke badan Debi. Tentu maksudnya supaya aku bisa segera menahan tubuhnya yang sudah tidak bertenaga lagi. Debi kelihatan terkejut dan menjadi bingung menghadapi keadaan temannya yang sudah lemas lunglai tidak berdaya kemudian jatuh dalam pelukannya. Dia semakin bertambah panik ketika mengetahuinya bahwa temannya juga mengalami sesak nafas. Dirangkulnya temannya itu erat-erat, dan sementara itu aku mencoba menahan tubuh temannya itu supaya kedua temanku itu tidak jatuh tersungkur ke bawah. Ayo...Kita mesti cepat keluar dari pasar ini!!. seruku sambil mengisyaratkan tanganku ke arah keluar pertokoan. Debi berusaha mengembalikan posisi badannya untuk bisa mengangkat bahu temannya dari sisi kiri, sembari pula melingkarkan lengan tangan temannya kelehernya, sedangkan aku melakukan yang sama dari sebelah kanan. Untunglah ada dua orang lainnya, yang langsung menghampiri kami serta membantu menggotongnya sampai ke pintu keluar pertokoan. Sebenarnya temannya itu masih menunjukan tanda-tanda setengah siuman tapi aku tetap mengkhawatirkan keadaannya, yang kuanggap sesak nafasnya itu belum pulih kembali. Lalu aku menawarkan ke Debi untuk sementara waktu mampir ke salah satu rumah makan terdekat. Sembari menganggukan kepalanya dia mengarahkan langkahnya berjalan masuk kedalam tenda warteg (Warung Tegal) tapi bukan untuk ke rumah makan yang kumaksudkan. Padahal usulku adalah untuk pergi ke rumah makan atau ke restoran terdekat, yang kupikir akan lebih aman dan nyaman buat temannya itu yang belum berpengalaman mencicip makananan di warteg. Tentu warteg yang kami kunjungi itu jaraknya sangat dekat dengan pintu keluar pasarnya, juga kelihatannya masih baru dan lagi pula terlihat bersih. Sedangkan untuk ke rumah makan, kita harus berjalan dengan jaraknya lumayan jauh dan kami pun mesti pula menyeberangi jalan raya. Namun biar bagaimana pun juga, aku masih tetap terheran-heran dengan perubahan kebiasaan interesnya Debi. Yang kuanggap dia terakhir ini mempunyai cara hidupnya menjadi lebih fleksibel dan bisa menerima apa adanya yang ada disekitar lingkungannya. Sebagai anak tunggal yang dimanja dengan fasilitas kehidupan kemewahan dari orang tuanya, rupanya dia menjadi jera untuk terus menerus hidup cara bergengsi. Suatu kali dinyatakannya warteg sudah menjadi tempat makan favoritnya. Dan menurut ceritanya, warteg itu menjual makanannya murah-meriah-meledak. Yang tentunya dimaksudkan harga makanannya jauh lebih murah dari pada harga makanan di restoran, juga porsi makanannya pun dianggap banyak bahkan rasanya pun dianggap lezat dan sedap. Tapi yang menjadi alasan utama makan di warteg katanya bisa dibayar dikemudian hari, yang maksudnya untuk makan di warteg itu si pembeli boleh ngutang. Padahal setahuku dia tak pernah kekurangan uang. Sehingga aku pun menjadi tidak mengerti, apa sebenarnya yang ada dalam benaknya. Lain halnya dengan temanku Lydia, yang sepengetahuanku selalu memperlihatkan rasa simpatinya terhadap kehidupan orang kecil. Lydia tahu persis bahwa pedagang kaki lima itu kemampuan untuk menyambung hidupnya jauh lebih minimal dari standart kehidupan dalam keluarganya. Jadi kalau dia beli makanan dari warteg selalu membayar kontan. Dan, mudah-mudahan untuk kali ini alasannya buat Debi memang karena letak wartegnya ada di sekitar trotoar jalan raya, yang mungkin akan lebih mudah menyetop taksi untuk bisa segera pulang kerumah.
Wah...gimana nih gara-garaku dia jadi pingsan begini? Tiba-tiba tanya Debi dengan nada suara mengkhawatirkan keadaan temannya. Sementara itu aku menyibukan diri membantu temannya untuk direbahkan di kursi panjang warung. Untung saja ketika itu hanya kami bertiga yang berada di tenda warung tersebut. Sehingga kita bisa lebih leluasa menunggu temannya sadar kembali dari pingsannya. Mungkin karena penyakit astmanya kambuh hingga tak tahan dengan ruangan tertutup dan pengap di pasar itu. Aku juga dulu pernah pingsan di tempat bagian penjualan daging-daging di pasar. Jawabku seadanya, yang sebenarnya hanya untuk sekedar menghiburnya. Ya... mungkin kau betul, lagi pula hari ini kita belum makan siang. Jawabnya sambil sibuk membasuh disekitar wajah temannya yang sedang berkeringat basah kuyup. Ooo...alá nak, rupanya belum makan siang? tanya Ibunya sambil memandang kami secara bergantian. Sedangkan aku sibuk menggosok temannya Debi dengan minyak gosok ke bagian dahi, sekitar hidungnya dan lehernya. Tentunya aku tak pernah luput membawa balsam tersebut karena setiap saát aku selalu membutuhkannya buat mengurangi rasa pusingku yang selalu menyerangku. Ooooh...Ibu, kami engga punya cukup uang buat bayar makanannya, ndak usah saja lah. Kami masih bisa tahan lapar koq. jawab Debi cepat sambil menoleh ke arahku sambil mengedipkan sebelah matanya. Seketika aku merasa khawatir dan merasa tidak enak hati mendengar jawaban Debi yang kuanggap a-sosial itu. Namun Ibu penjualnya tidak mereaksinya bahkan seakan-akan tidak peduli dengan jawaban Debi. Dengan sigapnya si Ibu menyiapkan makanan lalu menyodorkannya piring yang berisi nasi lengkap dengan sayur lodeh dan ikan teri pedas buat kami bertiga. Bersamaan waktunya, kulihat temannya Debi mulai menggerakkan badannya sambil perlahan-lahan membuka matanya. Biarpun pancaran matanya masih kelihatan layu tapi sepertinya dia bingung tidak mengerti tentang keberadaannya. Secara perlahan temannya itu menggeliat yang kelihatannya sedang berusaha untuk bangun dari rebahannya di kursi panjang. Sementara itu Debi membantu mengangkat bahu badannya lalu di dudukkannya temannya itu supaya bisa duduk disampingnya di kursi panjang yang sama. Tanpa kutawari lagi, aku langsung menyodorkan segelas teh panas manis, tentu maksudnya juga untuk supaya dia bisa menjadi pulih kembali dari rasa lemasnya. Sementara itu kulihat Debi sedang sibuk melahap dan menikmati makanan dari masakan ibu penjual di warung. "Mulailah, kau makan itu...!" sapa Debi kemudian sambil tetap terus menyantap jatah makanannya. Aku menjadi salah tingkah dan kutatap piring yang berisi makanan enaknya buat jatahku. Lalu aku menoleh ke arah Ibu yang sedang sibuk dengan gorengannya dibalik tirai samping tendanya. "Bagaimana aku bisa makan nikmat kalau aku tidak bisa membayarnya?" tanyaku menggumam sembari memandang temannya itu yang masih belum menyentuh hidangan makanan untuknya. Bersambung.... MiRa Amsterdam, 5 November 2006 Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/ http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ --------------------------------- Check out the New Yahoo! Mail - Fire up a more powerful email and get things done faster. [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/