Belajar Toleransi dari Kelenteng
Oleh Muh Kholid AS
28/08/2006

Melihat ketidakharmonisan yang dilandasi alasan agama itu, rasanya 
tak berlebihan jika masyarakat perlu menengok ke Kelenteng untuk 
belajar soal toleransi terhadap keyakinan "yang berbeda". Sebab 
tempat ini mengajarkan tentang keterbukaan, toleransi, serta menjadi 
arena percontohan praktik demokrasi yang cukup elegan dalam 
menjalankan keyakinan agama masing-masing. 

Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tentang "Toleransi 
Sosial Masyarakat Indonesia" yang dilaksanakan di 33 provinsi dengan 
1.200 responden, menunjukkan tingkat toleransi antarumat beragama di 
negeri ini cukup rendah. Sebanyak 42,3% responden menyatakan 
keberatan jika penganut agama lain mendirikan tempat ibadah di 
lingkungannya. Hanya 38,1% saja yang tidak merasa keberatan. 
(detik.com, 7 Agustus 2006)

Hasil survei ini menunjukkan bahwa penghargaan masyarakat terhadap 
keyakinan orang lain yang berbeda dengan mereka masih tergolong 
rendah. Berbagai konflik bernuansa agama di negeri ini, 
mengindikasikan bahwa toleransi memang menjadi entitas 
yang "langka". Belum lagi ditambah dengan konflik internal agama. 
Semuanya memperlihatkan bahwa kehidupan beragama di negeri ini belum 
berkembang secara "dewasa".

Melihat ketidakharmonisan yang dilandasi alasan agama itu, rasanya 
tak berlebihan jika masyarakat perlu menengok ke Kelenteng untuk 
belajar soal toleransi terhadap keyakinan "yang berbeda". Sebab 
tempat ini mengajarkan tentang keterbukaan, toleransi, serta menjadi 
arena percontohan praktik demokrasi yang cukup elegan dalam 
menjalankan keyakinan agama masing-masing. Di tempat inilah bisa 
disaksikan betapa harmoninya hubungan antara mayoritas dengan 
minoritas, dengan tidak adanya ruang bagi tegaknya tirani mayoritas.

Berbeda dengan tempat ibadah agama-agama misionaris, Kelenteng punya 
karakteristik tersendiri yang unik. Dalam sejarahnya, Kelenteng 
merupakan tempat ibadah bersama warga Tiongkok yang beragama Tao, 
Kong Hu Cu, dan Buddha. Di Indonesia, tempat ini juga populer dengan 
sebutan Kelenteng Tri Dharma, untuk menggambarkan 
adanya "kolaborasi" tiga agama tersebut. Dikarenakan pengaruh dari 
ketiga ajaran itu, antara Kelenteng yang satu dengan lainnya 
memiliki "patung pemujaan" yang berbeda-beda pula.

Tapi jangan dibayangkan bahwa mereka yang beribadah di dalam 
Kelenteng adalah penyembah patung-patung. Menurut Sidharta 
Adhimulya, tokoh agama Tao Indonesia dari Surabaya, patung-patung 
tersebut tidak lain hanyalah simbolisasi manusia untuk mencapai 
Tuhan yang memang tidak terdefinisikan, sebagaimana salat dalam 
tradisi Islam yang menghadap ke Kakbah (kiblat) tidak dimaksudkan 
untuk menyembah bangunan yang terletak di kota Mekah itu.

Dengan kata lain, Kelenteng sebenarnya juga tempat ibadah agama yang 
menganut monoteisme sebagaimana agama-agama lain yang memuduhnya 
agama Tri Dharma sebagai penganut politeisme. Hal ini secara mudah 
dapat dilihat dari ritual para pengunjung yang dilakukan saat masuk 
Kelenteng. Sebelum melakukan pemujaan terhadap Dewa/Dewi, mereka 
selalu mengawalinya dengan menghadap ke langit. Maksudnya adalah 
memohon lebih dahulu kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang memang 
seringkali diyakini bersemayam di langit ('Arsy). 

Dengan demikian, keberadaan berbagai patung yang ada di dalam 
Kelenteng tidaklah dimaksudkan untuk disembah sebagai Tuhan, karena 
kedudukan mereka hanyalah sebagai pelambangan Dewa/Dewi yang diutus 
oleh-Nya. Implikasi dari posisi ini adalah wujudnya berbagai patung 
di dalam Kelenteng yang begitu variatif; tergantung orientasi 
leluhur yang mendirikannya. Namun biasanya, patung yang diabadikan 
adalah Dewa/Dewi yang berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari 
masyarakat sekitar, yang tentunya sangat berkaitan dengan soal 
keberuntungan hidup. 

Hal inilah yang membuat bangunan Kelenteng didominasi oleh warna 
merah sebagai lambang keberuntungan, dan kuning sebagai simbol 
kemuliaan. Kedua hal inilah yang memang banyak dicari dan diidam-
idamkan oleh manusia dalam kehidupan di dunia. Tokoh-tokoh sejarah 
nyata yang ikut diabadikan sebagai patung Dewa/Dewi di Kelenteng, 
tak lain merupakan salah satu cara orang Tionghoa dalam menghormati 
leluhurnya. Mereka melihat tokohnya tersebut, apa pun agama, ras, 
atau sukunya, tetaplah leluhur yang layak dihormati. Bahkan, ada 
semacam keyakinan bahwa tokoh besar yang telah meninggal dunia akan 
mengalami reinkarnasi seorang Dewa/Dewi, akibat dari amalannya 
selama menjalani kehidupan dunia.

Makanya, tak mengherankan jika di dalam beberapa Kelenteng terdapat 
patung Sam Poo Kong atau Laksamana Cheng Ho yang notabene adalah 
seorang pemeluk Islam yang taat. Terlepas dari identitasnya sebagai 
seorang muslim, dalam keyakinan masyarakat Tionghoa, dia tidak hanya 
layak dipuja dan dikagumi sebagai bahariwan, tapi sudah dianggap 
telah mengalami reinkarnasi menjadi Dewa utusan Tuhan, oleh 
sebagian. Bahkan Laksamana yang juga manusia itu, dideskripsikan 
sebagai manusia nyaris sempurna, laiknya di dunia mitologi.

Tapi nuansa toleransi di dalam Kelenteng baru jelas terlihat ketika 
mengamati altar yang dibangun untuk ibadah. Meski terdapat 3 agama 
yang menggunakannya untuk "berkomunikasi" dengan Tuhan, dan 
banyaknya patung Dewa/Dewi di sana, masing-masing agama dan patung-
patung itu telah disediakan tempat tersendiri. Jika leluhur yang 
mendirikannya kebetulan beragama Tao, mungkin saja altar untuk agama 
Buddha dan Kong Hu Cu berada di sampingnya, dan begitu seterusnya.

Selain itu, kebiasaan "khotbah" yang sering diyakini 
sebagai "kewajiban" oleh agama misionaris, ternyata tak berlaku di 
Kelenteng. Tidak ada ajakan-ajakan tokoh agama tertentu yang 
menganjurkan pengunjungnya untuk berpindah ke agama tertentu dari 
yang kini dianutnya. Karena itu, tak mengherankan kalau dalam sebuah 
Kelenteng di Surabaya yang pernah saya kunjungi terdapat penjaga 
yang tetap teguh memeluk Islam meski telah bertugas di sana selama 
14 tahun.

Melihat gambaran sepintas tersebut, tak berlebihan jika menyebut 
Kelenteng sebagai "negeri impian" dalam menjamin kebebasan 
menjalankan keyakinan dan agama masing-masing orang. Tidak ada 
perlakuan istimewa terhadap kalangan mayoritas, sebagaimana tidak 
adanya diskriminasi yang diberlakukan terhadap minoritas. Ini 
menunjukkan bahwa Kelenteng mengajarkan agar setiap manusia tak 
melakukan diskriminasi dan menyuburkan intoleransi yang 
mengatasnamakan agama atau kepercayaan tertentu. 

Kelenteng justru menganjurkan bahwa agama harus dipraktikkan sebagai 
kegiatan spiritual yang menghadirkan rasa damai dan aman dalam 
kehidupan sehari-hari, bukan konflik maupun pertikaian.

*) Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) Surabaya, 
Alumnus Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Surakarta.







***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke