Jalaludin Rakhmat:




Rahmat Tuhan Tidak Terbatas




10/10/2006

Saya sering bicara tentang Islam di banyak 
gereja. Lalu banyak orang yang bertanya, sejak 
kapan Islam mengajarkan pluralisme? Kalau dalam 
Katolik baru dimulai sejak John Paul II atau Paus 
Johanes Palus II. Saya lalu katakan, pluralisme ada sejak zaman Rasulullah.

Seorang pluralis adalah orang yang mengakui 
adanya banyak jalan menuju Tuhan. Lewat jalan 
yang beragam itu, masing-masing pemudik 
disemangati oleh etos bermusabaqah dalam 
kebajikan. Rahmat Tuhan yang tak terbataslah yang 
nantinya akan menentukan mana yang terbaik di 
antara para pemudik itu, tanpa memandang 
perbedaan agama dan golongannya. Demikian 
perbincangan Novriantoni dari Kajian Islam Utan 
Kayu (KIUK), Kamis (28/9) lalu, dengan Jalaluddin 
Rakhmat, intelektual Islam-Syiah yang meluncurkan 
buku Islam dan Pluralisme, pertengahan September lalu.

Kang Jalal, apa yang mendorong Anda menulis buku 
Islam dan Pluralisme yang diluncukan pertengahan 
September lalu di Universitas Paramadina?

Dr. Jalaluddin Rakhmat
Saya ingin memberi tunjangan atau support 
teologis dengan rujukan Alqur’an langsung untuk 
membenarkan pluralisme. Sebab, kalau bicara soal 
Islam, rujukan utama kita adalah Alqur’an. Karena 
itu, bab pertama buku itu bicara soal ayat-ayat 
Alqur’an tentang pluralisme. Jadi buku ini ingin 
memberi argumentasi keislaman tentang pluralisme 
dan seakan-akan menjadi sebuah jawaban terhadap 
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kalau MUI 
mengatakan pluralisme haram, pleace tunjukkan 
dalilnya dari Alqur’an dan hadits. Kalau saya 
yang mendukung pluralisme ditanya dalil bisa 
dibenarkankannya pluralisme dalam Islam, nah buku inilah jawabannya.

Saya jadi ingat buku Gamal Al-Banna Doktrin 
Pluralisme dalam Alqur’an yang (terjemahan dari 
Arab). Di situ antara lain ditegaskan al-i`tirâf 
biwahdaniyatilLâh yaqtadlî al-i’tirâf 
bita`addudiyyati ghairihi (pengakuan akan keesaan 
Tuhan mensyaratkan pengakuan akan kebhinekaan 
lainnya). Apakan proposisi seperti itu bisa dibenarkan?

Salah satu buku yang banyak saya kutip juga untuk 
penulisan buku ini termasuk buku Gamal Al-Banna 
itu. Menurut saya, buku Al-Banna itu sangat 
menarik. Pertama, karena posisi Al-Banna yang 
mendukung pluralisme memang menarik bagi kita. 
Sebab, dia pernah juga menjadi seorang 
fundamentalis. Dia pernah masuk penjara dan 
bekerja untuk pembenahan instalasi listrik 
bersama tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimun lainnya di Mesir.

Saya kira, Gamal Al-Banna pasti punya hubungan 
kekeluargaan dengan Hasan Al-Banna (Gamal memang 
adik bungsu Hassan Al-Banna, pendiri kelompok 
Ikhwanul Muslimin, Red). Kita tahulah bahwa 
Hassan Al-Banna adalah idolanya kaum 
fundamentalis. Dan adiknya ini pernah pula masuk 
penjara demi mempertahankan fundamentalismenya. 
Nah yang menarik bagi saya, dalam posisi yang 
sangat fundamentalis itu, kita masih menemukan 
dalam dirinya pandangan-pandangan yang sangat 
pluralistik. Dia hafal Alquran dan memberi 
argumennya dari Alquranul karim sendiri.

Saya akan beri contoh tentang pandangan Al-Banna 
yang saya kutip juga dalam buku saya. Dia 
mengatakan, Thomas Alva Edison itu pasti akan 
masuk surga. Sebab, berkat temuannya jutaan umat 
manusia dapat diterangi dan kita menikmati 
kenyamanan-kenyamanan hidup seperti kulkas dan 
AC. Itu semua berkat jasa Alva Edison. 
Orang-orang fundamentalis di sekelilingnya 
menyangkal, ”Tak mungkin si Thomas masuk surga. Dia kan kafir?!”

Dengan mengutip Alqur’an, Al-Banna menjawab: 
“Sekiranya manusia punya wewenang untuk mengelola 
perbendaraan kasih sayang Tuhannya (khazâinna 
rahmati Robbi), pastilah mereka akan menahannya 
untuk kelompoknya saja.” Lalu diujung ayat itu 
dikatakan, ”Sesungguhnya manusia itu memang bahil 
(kaana qatûrâ).” Karena bakhil, surga pun akan 
mereka tahan dan kavling-kavling untuk kelompok 
mereka saja. Bagi orang Islam, surga hanya 
diperuntukkan bagi orang Islam. Dan bagi orang 
Kristen, mungkin ia hanya untuk orang Kristen. 
Masing-masing mereka menahan perbendaraan kasih 
sayang Tuhannya; enggan berbagi-bagi. Nah, ketika 
membicarakan pluralisme, saya selalu teringat 
akan ayat itu: Tuhan tidak ingin membatasi 
rahmat-Nya hanya untuk kelompok tertentu saja.

Apa yang Anda maksud dengan pluralisme ketika menulis buku itu?

Isme itu adalah sebuah paham. Ekslusivisme, 
inklusivisme, dan pluralisme, di dalam dunia 
akademis sebetulnya masih bagian dari religious 
studies atau pendekatan yang sekular untuk 
memahami gejala-gejala keberagamaan. Pluralisme 
itu bisa berupa paham tapi bisa juga disebut 
orientasi keberagamaan. Kita memang harus bisa 
membedakan pluralisme dan pluralitas. Pluralistas 
adalah kenyataan sosial ketika kita menyaksikan 
adanya masyarakat yang plural atau majemuk. Tapi 
pluralisme adalah sebuah paham dalam religious studies.

Banyak orang menyangka pluralisme itu punya 
definisi macam-macam. Sebenarnya tidak! Di dalam 
dunia akademis, sudah ada kesepakatan dan 
batasan-batasan dalam defenisinya. Misalnya, ada 
penegasan bahwa pluralisme itu bukanlah 
sinkretisme. Pluralisme juga bukan menganggap 
semua agama sama. Bukan pula menganggap semua 
benar. Biasanya, pluralisme dibicarakan dalam 
tiga bagian atau dalam posisi berhadapan dengan 
dua posisi lainnya, yaitu ekslusivisme dan inklusivisme.

Jadi, ekslusivisme, inklusivisme, dan pluralisme, 
menjawab satu pertanyaan mendasar di dalam studi 
keagamaan. Yaitu, siapakah yang akan selamat di 
akhirat nanti? Atau siapa yang kelak akan masuk surga?

Karena itu, kalau bicara soal pluralisme, pleace 
pembicaraan itu dipahami dalam konteks siapa yang 
akan selamat di akhirat nanti saja. Bagi kaum 
ekslusivis, hanya golongan dan agama mereka saja 
yang akan selamat. Menurut kaum inklusivis, yang 
masuk surga hanya orang Islam dan orang-orang 
lain yang berakhlak islami. Tapi bagi mereka, 
Islam tetap sebagai kriteria pertama. Nah, kaum 
pluralis berpendapat bahwa orang yang selamat 
adalah siapa saja, apapun agamanya, selama 
memberi kontribusi yang baik bagi kemanusiaan di dunia ini.

Itu kan pertanyaan metafisis. Yang penting bagi 
kehidupan sosial kan hanya implikasi atau dampak 
sosial masing-masing pandangan. Apa pentingnya 
perspektif pluralis di dalam kehidupan sosial kita?

Dalam masyarakat yang sangat pluralistik, atau 
ketika kita berhadapan dengan keragaman dalam 
teologi, kepercayaan, dan keyakinan, hanya 
pluralisme yang dapat diharapkan akan memberi 
ruang bagi toleransi. Tapi banyak sekali orang 
yang menolak pluralisme. Seorang kiai NU di Jawa 
Timur pernah mengatakan, “Sudahlah, kita tak usah 
mengurus apakah orang masuk surga atau tidak. Itu 
bukan urusan kita. Serahkan saja urusannya ke 
pada Tuhan!” Beliau lupa, jawaban tentang siapa 
yang akan masuk surga itu akan sangat 
mempengaruhi kita dalam memandang agama lain, dan 
itu akan menjadi bingkai untuk memahami ajaran-ajaran agama lainnya.

Ketika saya berpendapat bahwa semua orang, apapun 
agamanya, asalkan beramal saleh, akan masuk 
surga, apa yang akan terjadi pada diri saya 
setelah itu? Saya tentu tidak akan menilai orang 
lain dari label-label keagamaannya. Saya jadi tak 
peduli apakah dia Katolik, Kristen, atau Hindu. 
Kalau berakhlak mulia, beramal saleh, saya akan 
berikan segala kemuliaan kepadanya.

Tapi bagi orang Islam yang berpandangan ekslusif, 
hanya orang Islam saja yang akan masuk surga. 
Orang lain tak akan. Apa yang akan tumbuh dari 
sikap demikian tak lain hanya prasangka-prasangka 
sosial. Nanti, kalau ada orang Kristiani yang 
membantu orang Islam, kita langsung curiga. 
Bahkan, akan ada dampak etis yang sangat fatal 
kalau kita merasa hanya orang Islam saja yang 
kelak masuk surga. Ketika kita melihat perilaku 
kita jauh lebih buruk dari perilaku orang 
beragama lain, kita akan selalu mencari 
justifikasi (pembenaran) untuk kekurangan kita. 
Kita katakan, ”mereka berbuat baik, tapi pasti tetap masuk neraka.”

Padahal, Alquran sendiri pernah menyindir 
orang-orang yang berkata demikian. Berkatalah 
orang-orang Yahudi: ”lan tamassana an-nâr illâ 
ayyâman ma`dûdât (kami tidak akan tersentuh api 
neraka kecuali sebentar saja). Sebab, kita adalah 
kekasih-kekasih Allah. Demikian pandangan 
sebagaian orang Yahudi.” Orang Yahudi juga 
mengklaim laisat an-nashârâ `alâ syai’ 
(orang-orang Nasrani itu tidak bakal mendapat 
apa-apa). Orang-orang Nasrani membalas, laisat 
al-yahûd `alâ syai’ (orang Yahudi juga tidak akan 
dapat apa-apa). Tapi di ujung ayat, Alqur’an 
menegaskan: ”Tilka amâniyyuhum!” (itu hanya 
angan-angan mereka saja). ”Waman ya`mal sû’an 
yuzâ bih” (siapa saja yang berbuat buruk, tidak 
perduli apapun agamanya, ia akan tetap memperoleh balasan).

Apakah gagasan atau sikap pluralistis hanya 
penting bagi kelompok minoritas, mereka yang 
merasa tertindas, dan tidak dapat menentukan hitam-putihnya kehidupan sosial?

Kalau kita baca buku-buku karangan Karen 
Armstrong, kita akan tahu bahwa di saat kaum 
muslimin berada dalam puncak kejayaan 
peradabannya, justru mereka sangat percaya diri 
untuk menganut pluralisme. Armstrong pernah 
bercerita tentang sindrom martir. Di situ dia 
terangkan bahwa dulunya, justru orang-orang 
Kristen yang selalu siap-siap untuk mati sahid. 
Dan demi mati syahid, mereka rela mengecam Islam, 
memaki-maki Rasulallah, dan melakukan tindakan 
lainnya. Tapi waktu itu, raja-raja Islam 
santai-santai saja, tuh. Sebab mereka tahu, 
mereka ingin syahid. Mereka dibiarkan saja dan tidak dihukum mati.

Adakah perbenturan antara konsep pluralisme 
dengan teologi masing-masing agama yang sudah 
dimapankan seperti konsep tauhid dalam Islam?

Bagi saya, seorang muslim yang pluralis, pasti 
akan menganut prinsip tauhid. Seorang kristiani 
yang pluralis, pasti akan percaya bahwa Yesus 
adalah juru selamat semua umat manusia. Jadi 
pluralisme itu adalah sebuah orientasi 
keberagamaan. Kelompok pluralis itu akan ada di 
kalangan Islam, ada juga di kelompok Kristiani 
dan agama lain. Kalangan ekslusivis juga ada di 
berbagai agama dan masing-masing bisa merujuk pada kitab suci masing-masing.

Jadi pluralisme adalah sebuah paham dan paham itu 
berakibat pada perilaku sosial kita. Tapi 
pluralisme bukan juga menganggap semua agama sama 
saja karena dalam Alquran juga sudah dikatkan, 
”walikullin ja`alna minkum syir`atan wa minhâja.” 
Artinya, bagi tiap-tiap agama, telah Kami 
tetapkan aturan hidup dan syariat masing-masing. 
Ditegaskan juga, ”walau syâ’alLâh laja`alakum 
ummatan wâhidah” (kalau Allah menghendaki, Dia 
akan jadikan seluruh agama itu satu saja). 
Artinya, Allah bisa menjadikan seluruh agama sama saja.

Tapi Alqur’an menjelaskan lebih lanjut, ”walâkin 
liyabluwakum” (Dia ingin menguji kalian), ”bimâ 
âtâkum” (dengan agama yang datang kepada kalian). 
Karena itu, kita dianjurkan untuk ”fastabiqul 
khairât” (berlomba-lombalah dalam berbuat 
kebajikan), karena ”ilayya marji`ukum jamî`an” 
(hanya kepada-Ku seluruh agama akan berpulang). Ayat ini perlu dikomentari.

Menurut saya, hampir tak pernah terdapat kata 
jamî`an setelah kata marji`ukum kecuali di dalam 
ayat ini saja. ”Ilayya marji`ukum fa unabbiukum 
bimâ kuntum ta`malûn; inna ilaynâ iyâbahum, 
tsumma inna `alaynâ hisâbahum.” Kepada-Ku juga 
kalian akan berpulang dan di situlah Aku akan 
memberitahu apa yang engkau lakukan. Semuanya 
akan berpulang pada Allah dan dia yang akan membuat perhitungan.

Nah, kemarin, saya dikritik Pak Adian Husaini, 
calon doktor dari ISTAC Malaysia itu. Katanya, 
pandangan bahwa hanya kepada Allah seluruhnya 
akan menuju itu adalah keliru. Saya tidak 
tanggapi statemennya itu secara serius dan menganggapnya dagelan saja.

Kalau ada beberapa ayat Alqur’an yang bisa 
dianggap bercorak pluralis, sejak kapan pluralisme mulai dikenal dalam Islam?

Saya sering bicara tentang Islam di banyak 
gereja. Lalu banyak orang yang bertanya, sejak 
kapan Islam mengajarkan pluralisme? Kalau dalam 
Katolik baru dimulai sejak John Paul II atau Paus 
Johanes Palus II. Saya lalu katakan, pluralisme 
ada sejak zaman Rasulullah. Dan menurut Karen 
Armstrong, ketika kaum muslimin berada dalam 
posisi yang kuat, mereka berwawawan sangat 
pluralistis. Kaum muslimin mulai berpikir dan 
bersikap ekslusif ketika mereka dipojokkan dan merasa dikalahkan.

Konon, di zaman Rasullah ada seorang sahabat 
Ansar bernama Abu Husain. Dia punya dua anak. 
Tiba-tiba kedua anaknya pindah agama ke Kristen 
karena terpengaruh pedagang dari Suriah. Lalu dia 
membawa kedua anaknya kehadapan Rasulullah. ”Anak 
saya masuk Kristen. Apa boleh saya paksa masuk 
Islam?” tanyanya. ”Tidak,” kata Rasulullah. Lalu 
dibacakanlah ayat lâ ikrâh fid dîn (tidak boleh ada paksaan dalam agama).

Kang Jalal, kalangan syariat sering khawatir akan 
ditinggalkannya syariat masing-masing agama kalau 
kita berpikiran pluralistis. Apa perlunya saya 
salat dan puasa Ramadan bila semua jalan menuju 
Allah adalah valid dalam perspektif kalangan pluralis?!

Saya jawab dengan analogi juga. Saya punya 
sekolah SMU plus Muthahhari. Saya katakan pada 
anak-anak bahwa semua anak-anak SMU plus 
Muthahhari berhak ikut ujian akhir, dan anak-anak 
sekolah lain pun berhak ikut ujian akhir. Tapi 
soal lulus atau tidaknya, tidak ditentukan oleh 
SMU plus Muthahhari. Yang memutuskan hasil 
akhirnya, pada prinsipnya adalah amal kita, kerja 
keras kita. Semua anak Muthahhari akan mengerti 
itu. Mereka pasti tidak akan pindah sekolah hanya 
untuk mendapat hasil baik dalam ujian.

Artinya, kalau semua agama beranggapan bisa 
beramal saleh di dalam agamanya sendiri-sendiri, 
itu tidak berarti kita mesti pindah-pindah agama; 
pagi Islam, sore Kristen. Tidak sama sekali. Itu 
juga tidak berarti kita perlu menjalankan 
ritual-ritual keagamaan yang berbeda-beda. Setiap 
umat Islam menjalankan syariat Islamnya, tapi tak 
boleh menggunakan syariat itu untuk menilai agama lain.

Jadi pola pikir seperti yang tergambar dalam 
pertanyaan di atas adalah sebuah kekeliruan. 
Kalau kita menganut Islam, kita harus menjalankan 
syariat Islam semampu kita. Sebab Alqur’an 
menyatakan bahwa setiap agama ada syariatnya 
masing-masing. Dan di antara bagian dari syariat 
Islam sebagaimana yang dirumuskan para ulama 
fikih adalah tidak bolehnya seorang muslimah 
menikah dengan laki-laki nonmuslim.

Tapi itu kan urusan syariat, bukan urusan 
pluralisme. Namun begitu, meski mengaku sebagai 
seorang pluralis, saya masih mengikut paham fikih 
seperti itu. Artinya, anak saya yang muslimah 
tidak akan saya kawinkan dengan laki-laki nonmuslim.

Tapi kalau dia punya pandangan berbeda dengan 
Anda dan memilih jalan hidupnya sendiri?

Saya akan beri dia kebebasan karena ada prinsip 
lâ ikrâh fid dîn (tidak ada paksaan dalam 
beragama). Komentar saya begini aja deh. Kan ada 
ayat Alqur’an yang berbunyi wamâ arsalnâka illâ 
rahmatan lil `âlamîn. Kami tidak utus engkau 
Muhammad kecuali untuk menebar kasih ke seluruh 
alam. Namun, sebelum sampai pada tahapan rahmatan 
lil `alamin, kayaknya kita, kaum muslimin ini, 
mesti melewati dua tahapan sebelumnya. Tahap 
pertama adalah rahmatan lil mutamadzhibin. 
Artinya, yang kita anggap mendapat rahmat dan 
akan masuk surga hanya madzhab tertentu saja 
seperti Ahlus Sunnah. Sementara yang lain dianggap tidak akan masuk surga.

Lebih tinggi tari tahapan itu adalah rahmatan lil 
muslimîn (rahmat bagi semua orang Islam saja, 
Red). Di sini, surga itu dianggap khusus bagi 
orang atau pengikut Islam. Tapi bagi saya, yang 
diinginkan Alqur’an dari kita dan nabi kita 
sangat sederhana: wamâ arsalanâka illâ rahmatan 
lil `âlamîn (menjadi rahmat bagi alam semesta). 
Itu penjelasan yang menurut saya sangat sederhana.

Referensi: 
<http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1148>http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1148


At 01:20 PM 11/8/2006, you wrote:

>Assalamu'alaikum wr wb,
>Di Suara Pembaruan disebutkan bahwa "Cendekiawan 
>Muslim" Dawam Rahardjo mengatakan bahwa pindah agama tidak murtad:
>
>===
>JAKARTA - Kebebasan beragama berarti kebebasan 
>untuk berpindah agama, berpindah pilihan dari 
>satu agama tertentu ke agama lain. Berpindah 
>agama tidak berarti murtad, melainkan menemukan 
>kesadaran baru dalam beragama. Berpindah agama 
>tidak kafir. Istilah kafir bukan berarti 
>beragama lain, tetapi karena menentang perintah 
>Tuhan. Demikian dikatakan Cendekiawan Muslim, 
>Prof Drs Dawam Rahardjo dalam Sidang Majelis 
>Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-gereja di 
>Indonesia yang berlangsung di Pekanbaru, Riau, Rabu (25/1).
><http://www.suarapembaruan.com/News/2006/01/26/index.html>http://www.suarapembaruan.com/News/2006/01/26/index.html
>===
>
>Jelas ucapan Dawam sudah menyimpang dari ajaran 
>Islam dan menyesatkan. Dari ucapannya itu tidak 
>pantas kita menambah kata "Cendekiawan" dengan 
>Muslim untuk Dawam Raharjo karena ucapannya sudah menyimpang dari Islam.
>
>Berikut tulisan saya di situs www.media-islam.or.id yang membantah itu:
>
><http://www.media-islam.or.id/content/view/17/28/>http://www.media-islam.or.id/content/view/17/28/
>Agama yang Diridhai Allah Hanya Islam Written by 
>Media Islam Agama yang Diridhai Allah Hanya Islam
>Saat ini beberapa kelompok munafik mau pun non 
>Muslim berusaha menanamkan kepercayaan kepada 
>ummat Islam bahwa semua agama sama 
>benarnya/pluralisme. Setelah ummat Islam percaya 
>hal itu, maka sebagian non Muslim mengajak ummat 
>Islam untuk masuk ke agama mereka. Toh semua 
>agama sama benarnya, jadi tidak masalah jika 
>pindah agama. Padahal jika mereka benar meyakini 
>itu, kenapa bukan mereka yang masuk Islam?
>Itulah perbuatan orang yang ingin memadamkan agama Islam.




[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke