Wari Atun <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Date: Tue, 14 Nov 2006 21:00:19 -0800 (PST) From: Wari Atun <[EMAIL PROTECTED]> Subject: Re: ketika ribuan oranghutan dan siamang jadi bangkai To: sangumang kusni <[EMAIL PROTECTED]>, desa praya <[EMAIL PROTECTED]>, istiyawatun khasanah <[EMAIL PROTECTED]>, susdinarjanti tri <[EMAIL PROTECTED]>, chozin moh <[EMAIL PROTECTED]>, [EMAIL PROTECTED], iwan mahmud <[EMAIL PROTECTED]>
Tulisan Pak Kusni betul-betul memaksa saya untuk duduk sejenak di depan komputer mengingat-ingat beberapa kejadian atas diri saya akhir-akhir ini. Pertama, saya terlahir sebagai orang Jawa, thothok. Ibu saya dari Klaten, bapak saya dari Bantul. Kedua, mertua saya juga asli Jawa, otomatis suami saya Jawa thothok. Namun karena Jawa tidak lagi menjanjikan kehidupan yang layak bagi mereka, maka saat usia suami saya 1,5 tahun, mereka hijrah ke belantara Sumatra. Pemerintah bilang, mereka harus ikut transmigrasi untuk hidup lebih baik. Nyatanya apakah kehidupan mereka sekarang lebih baik? Saya kira y-a. Tapi mohon maaf, bukan pemerintah yang membuat kehidupan itu lebih baik. Menurut cerita mertua dan para tetangganya, mereka harus kerja keras, membabat hutan belantara agar menjadi kebun tempat mereka menggantungkan hidup. Sesekali mereka juga harus sedikit salah paham dengan penduduk dusun (suku asli) karena perebutan lahan. Acapkali kesalahpahaman tersebut harus dibayar nyawa. Bukankah begitu? Saya tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Tanah-bumi memang separo nyawa bagi pemiliknya. Tidak salah kalau orang Jawa bilang Sedhumuk Bathuk Senyari Bumi. Dan itu tidak hanya berlaku bagi orang Jawa saja saya kira, tentunya orang Sumatera, Kalimantan, Irian, sama. Ketiga, pertengahan September 2006, saya pulang ke Jambi. Itu adalah perjalanan kali pertama saya seumur hidup ke pulau Sumatera, setelah sebelumnya ke Makasar. Tapi perjalanan saya kali ini betul-betul membuat saya menghadapi kenyataan sebagai orang Jawa. Dalam beberapa kali perjalanan itu, saya merasakan bertemu dengan kampung halaman sendiri meski sudah berbeda pulau. Saya bertemu orang dengan berlogat jawa, kulit dan postur tubuhnya Jawa meski beberapa hampir tidak nampak lagi. Di sisi lain, saya asing dan sepi; sejauh mata memandang adalah kebun-kebun karet atau tonggak-tonggak kayu yang telah jadi arang, kadang sedikit hutan belantara. Tak ada penerangan listrik, jalan berlobang tanpa aspal, panas dan berdebu. Sulitnya transportasi dan komunikasi bisa jadi juga menjadi salah satu alasan tidak berlama-lamanya saya di Sumatera. Jawa yang saya rasakan di sana ternyata hanya pada orangnya bukan pada jalannya, sekolahnya, penerangannya, alat komunikasinya, transportasinya. Sudah pantas kalau teman saya bernama Ali dari Lampung sekitar 2 tahun silam bilang, " Tun, kalau kamu ingin lihat betapa jauh perbedaan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa, sekali waktu kau harus ke luar Jawa." Apa yang tersirat dari ucapannya waktu itu saya kira adalah keirian. Tapi itu SAH. Banyak kejadian sebetulnya yang membuat saya telah tertampar berkali-kali sebagai seorang Jawa. Satu hal yang masih saya ingat secara dalam dari kepergian saya ke Jambi tempo lalu, adalah persoalan lahan. Betapa saya merasa negara tidak sanggup menengahi antara mereka yang Jawa sebagai pendatang dan penduduk asli di luar Jawa. Keduanya manusia; butuh makan, butuh tempat tinggal, butuh aman. Keduanya beranak pinak. Apa yang bis amereka lakukan untuk dapat tempat tinggal? Sementara lahan-lahan trans juga sudah menjadi barang dagangan para developer tak ubahnya di Jawa. Saya sendiri tak tahu api itu dari atau milik siapa? Yang saya temui tinggal arang tonggak kayu yang menghitam. Dan itu tak mungkin bicara bukan? Apakah api menjadi pilihan di saat sabit dan cangkul sudah tidak mampu bekerja? Saya kira kok tidak. Api bukanlah milik orang yang butuh lahan hanya untuk 1 sampai 7 orang anggota keluarganya termasuk anak cucunya, apalagi milik penduduk dusun- dalam bahasa mertua saya. Sungguh saat saya pulang ke Jambi, saya ternganga., hutan yang dibangga-banggakan dalam buku-buku pelajaran SD hingga SMP saya dulu ternyata telah habis dan bersisa arang kayu. Saat memulai perjalanan pulang ke Yogya itulah, kebakaran hutan mulai terjadi di Jambi dan semakin besar saat saya tiba di Yogya. Tulisan Pak Kusni telah menampar saya kesekian kalinya sebagai orang Jawa dan memaksa saya memosting tulisan ini. Tapi saya sungguh sadar seharusnya bukanlah saya dan tidak harus saya yang malu atas tamparan itu. Tapi memang tembok-tembok itu terlanjur tuli dan bebal sehingga saya sendiri sudah tidak tahu lagi bahasa apa yang harus digunakan untuk me-ngata-ngata-inya. Mungkin bahasa monyet, bahasa si amang atau bahasa babi hutan - yang saya temui di kebun mertua saya lebih tepat, tapi mungkin juga bahasa sastra lebih sangat tepat, karena keindahannya bisa melipur lara yang tersembunyi. Bukankah begitu? Yogya, 15 November 2006 atn sangumang kusni <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Pulau Asap Sansana Shangrila: KETIKA RIBUAN ORANGHUTAN DAN SIAMANG JADI BANGKAI barangkali kau katakan aku terlalu etnosentris. senyum-senyum mesem sinis kau mendugaku menciutkan dunia seluas dayak ketika bicara tentang asap hutan terbakar menjadi gurun, sungai bening air hidup membanjir airraksa enggang terbuang dari sarang, ribuan oranghutan dan siamang membangkai tak pernah kuduga saat belajar sejarah gerilyawan mengenang bagaimana mereka di siksa sepatu belanda kemudian sekarang alam pulau menjadi warisan petaka betang tak pernah kuduga kemudian republik dan negeri ini mengolok-olok suku tukang ejek vulger merendahkan martabat diri sendiri mengurung kita di sekian penjara bukit raya jauh di hulu katingan bukit keramat orang bilang puncak tertinggi bersarang awan. perutnya, o isi perutnya menggiurkan lebih dari perut gadis-gadis kota hanya mempertontonkan pusar ikut mode bangga menggusik birahi lelaki seperti kekenesan cendekiawan tanggung cobalah datang ke bukit raya kemudian jujur tuturkan ke semua negeri jujur artinya kau menolak sogokan yang umum menyumbat nurani jujur artinya kau menolak berdalih pada diri sendiri yang bertuhan bertahun mengabad kami di sini hidup sejak keluar meninggalkan rahim sama sekali bukan tradisi kami menghancurkan pulau apalagi bunuhdiri kami mau hidup dan mencintai hidup yang lebih menantang dari mati apalagi segala keramat di sini sudah sirna di hadapan uang dan kuasa tuhan dan dewa dipalsukan. dijadikan drug paling keras cinta tinggal birahi di karaoke dan motel-motel pulau dijadikan gasing mata dadu perjudian sulap kepentingan politik bukan adat kami membunuh janin dan anak-anak sendiri gantungan esok kernanya aku hanya bisa geleng-geleng menyaksikan kegilaanmu tersenyum tenang melempar tuduhan ketidakacuhan di atas tumpukan emas pulau rampokan pada kemilau gedungmu di kota-kota aku sempat mencium amis darah kami bau ari-ari anakku lahir tak sempurna -- kau jadikan sarapan sangu perjalanan studi banding ke luarnegeri bagiku ini bukan republik bagiku ini bukan indonesia lukisan yang sekarang masih amorp samar-samar belum selesai jika republik dan indonesia mengapa aku dibunuh dan dibuang mengapa warganegara dibeda-bedakan aku memang tak bisa ingkar lahir sebagai dayak sambil menatap matamu di kedua bolanya yang bertanya kutegakkan kepala menyatakan di mana aku lahir, aku siapa, berhak apa berbalik tanya: kau siapa gerangan maka tanpa malu tak hormati yang lain serta-merta mau jadi pengangkang tapi juga kenyataan sampai hari ini aku memang indonesia di hati kembara membuka mataku lebar jadi anak bumi kembara tak membuatku anak terbuang lupakan tepian aku hanya geleng-geleng melihat sanggupmu menuding memperbodohkan penduduk sederhana mendalihkan rampok dan kesewenangan dengan sekian teori barat andalan memerosotkan negeri dan republik maling dan pembunuh jadi pahlawan sekarang kalibata diaduk-aduk tuhan dan para dewa diajak berkomplot saling bertengkar negeri kian kacau para pejabat sibuk berdagang dan merampok apa kau tahu berapa negara di wilayah ini yang saling rebut kuasa orang pertama hanyalah simbol abstrak seperti kandungan alam pulau dan katingan nurani siapa pun hamil janin harapan harga diri sanggup meledakkan gempa. waktu menyokongnya paham alam kita dimerdekakan mengapa kau tantang-tantang aku, o bocah baru semalam mengenakan pangkat mengapa tinjumu anak perampok kau acungkan ke langit hidup penduduk? masih mengalir di nadiku darah dayak dan manusia maka yang bisa kukatakan: jakarta berhentilah bermain-main mari menjadi republik dan indonesia sebagai anak bumi kembalikan republik ke republik kembalikan indonesia ke indonesia ya tentu saja masing-masing memasang kuda-kuda kata penghabisan dicadangkan kerna sepakat melukis peta baru kemungkinan di tengah topan tapi catat baik-baik: aku tak bisa lagi toleran dengan lecehan mayoritas yang mencoba mengganti dewa aku juga tidak bisa terus-menerus jadi budak kekinian nah, ambillah ini cipoa dan hitung baik-baik bagaimana agar semua jadi manusia tuhan kembali jadi tuhan indonesia menjadi indonesia suku-suku bersatu dan bangkit di isyarat siang di tanda-tanda malam di tanda-tanda lalulintas kehidupan tak digubris di sini agaknya kita memang sedang mencari indonesia lagi aku meduga-duganya di antara kegalauan warna buram dan kegaduhan Paris, November 2006 ----------------------------- JJ. Kusni --------------------------------- Yahoo! Movies - Search movie info and celeb profiles and photos. [Non-text portions of this message have been removed]