--- In ppiindia@yahoogroups.com, "Lina Dahlan" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > Lina: Masalahnya orang tua juga sedih kalau putrinya jadi perempuan > tua (gak laku). Masih banyak di Indonesia ini ortu yang rela anaknya menjadi madu untuk kiyai2 terkenal. Bahkan para ortu itu yang > mengajukan (ngasongin) anaknya. >
Saya jadi ingat sebuah kisah ketika saya masih di SMP. Paman saya,menjabat Kepala Polisi Sumatra Barat, dimasa PRRI, dimana beliau lalu menggabung dengan pasukan pusat. Paman ini, seperti dalam keluarga besar kami lazim, yang rata rata berpendidikan Belanda, 100% monogami. Tiba tiba beliau mendapat kunjungan dari satu kelompok ninik mamak. Pasalnya, beliau dilamar oleh sebuah marga dari Kotogadang. Beliau menolak, dan setengah mati memilih kata, agar tidak menyakitkan, maklum ini diwilayah adat yang berbeda. Setiap pria Jawa akan bingung kalau pihak wanita yang melamar, apalagi untuk istri kedua. Tetapi justri disana, pihak keluarga wanita yang melamar, karena garis keluraga mengikuti wanita (matrilineal). Menyambung ke argumentasi anda, disini bukan ortu yang mempunyai perawan tua sebagai putri, namun putri sangat muda dan terpelajar, cukup berharta lagi. Tanya punya tanya, tante lalu menerangkan kepada saya yang masih anak SMP ter-bengong bengong, bahwa yang utama disini kelihatannya adalah posisi jabatan (panglima polisi daerah kepolisian Sumatra Barat), yang signifikant dalam masyarakat adat. Juga dikalangan bangsawan Jawa, polygami dahoeloe adalah lazim dalam artian meningkatkan derajat. Kita ingat RA Kartini, yang sendiri putri kanjeng bupati, namun sudi dipersunting sebagai istri kedua juga seorang kanjeng bupati. Namun dalam kesadaran generasi muda sudah banyak terjadi perubahan pola pemikiran. > Lina: Bukannya Poligami ini malah memperkecil kesenjangan > sosial?...:-) Hmmmm .. tergantung bagaimana meniliknya. Kesenjangan yang saya maksud adalah, antara kelompok yang pasti tak mampu berpolygami walau ingin, dan ini pasti sebagian besar masyarakat kita, yang masih miskin, dan sekelompok kecil pria, yang karena kemampuan materiil, bisa berpolygami. Apabila, pria, baik kaya maupun miskin hanya beristri satu, maka kesenjangan ini tidak diperlebar. Sama dengan yang mampu beli mobil mewah dan yang rata rata naik kendaraan umum, menonjolkan kesenjangan sosial. Di Vienna, dari pegawai kecil sampai kepala bagian, naik bus kota, tram atau subway. yang berkendaraan dinas hanyalah anggauta dewan direksi. Di Vienna, tak ada mall mewah ala Jakarta, walaupun pendapat nasional Austria berlipat kali pendapatan Indonesia. Austria termasuk 4 termakmur didunia, setelah Norway. jadi, kita semua, pejabat tinggi sampai buruh migran belanja ke toserba yang sama. Salam danardono