--- In ppiindia@yahoogroups.com, "Listy" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > loh??.. kok ada yg marah-marah?? > > sabar.. sabar..:) >
hahahaha.... kasian mbak Listy.. di milis sering ada fenomena ini. jangan nanya kalau nggak siap tiba2 distempel dg cap lucu2 semacem "konspirasi yang sistematik untuk membangun citra negatif terhadap A atau B" hehehe... maunya memang dimanggutin terus dan bawaannya curigation melulu. ngomong soal takdir, dibawah ini aku copykan salah satu imel dari teman "ustadz" di milis ppi-jepang. I like his explanation. semoga bermanfaat. dah, aku juga berangkat kerja ya mbakku.. have a nice day untuk mbak2 disini semua... (sekali2 gender bias gak apa2 toh..) :D --- In [EMAIL PROTECTED], "ismet_san" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Saya dulu pernah mendengar penjelasan yang menarik mengenai konsep "ikhtiar" ini. Intinya, dalam bahasa Indonesia, kita sering mengartikan kata "ikhtiar" menjadi "usaha". Padahal, arti sebenarnya dari kata "ikhtiar" adalah "memilih", dan bukan "berusaha". Implikasinya, karena kita terlanjur mengartikan "ikhtiar" dengan "usaha", maka ujung-ujung-nya kita sering menitikberatkan setiap tindakan kita hanya pada aspek "usaha"-nya saja, dan bukan pada aspek "tercapai atau tidaknya tujuan". Dari sisi lain, kalau kita mau mengartikan "ikhtiar" dengan arti sebenarnya, yaitu "memilih", maka sebenarnya sebelum "berikhtiar" kita diwajibkan dulu untuk mengetahui apa-apa yang menjadi konsekwensi setiap pilihan kita itu. Jadi, sebelum ber-"ikhtiar" (atau memilih) kita sebenarnya diwajibkan dulu untuk memprediksi, atau menghitung-hitung, atau memperkirakan semua hal yang akan menjadi pilihan kita, sebelum kita memilihnya. Konsep ini mungkin sesuai dengan hukum dasar dalam agama Islam, yaitu berilmu sebelum beramal. Berikutnya, setelah membahas masalah "ikhtiar" secara singkat, mungkin pembicaran kita akan masuk masuk pula pada konsep "takdir", yang mungkin sering kita artikan dengan kata "nasib". Yang menarik, pola penerjemahan "ikhtiar = usaha" dan "takdir = nasib" pada akhirnya menyebabkan kita terjatuh pada sikap "yang penting kita usaha, masalah hasil kita serahkan pada Allah". Apa benar hal seperti ini yang dianjurkan oleh Islam ? Sepengetahuan saya, sikap seperti ini boleh-boleh saja kita lakukan, asalkan memang kita benar-benar berada dalam kondisi yang "kurang mampu" atau kepepet. Artinya, pada saat kita benar-benar tidak punya pilihan lain, then just do the best, then pray. Akan tetapi, pada banyak kasus, dan mungkin ini yang seharusnya kita yakini, sikap "yang penting kita usaha, masalah hasil kita serahkan pada Allah" bukanlah sikap utama yang harus pertama kali kita pegang. Ibaratnya, kita boleh-boleh saja bersabar atas segala kekurangan kita, tapi sebagai orang islam, kita dituntut untuk bisa menjadi orang yang bisa membantu orang lain. Dan sikap yang terakhir inilah yang seharusnya kita utamakan. Kembali pada sikap "yang penting kita usaha, masalah hasil kita serahkan pada Allah", sekali lagi, menurut saya, ini bukanlah sikap positif terbaik yang seharusnya kita pegang dalam memahami konsep "ikhtiar" dan "takdir". Dan untuk mengetahui sikap positif yang terbaik itu, setelah kita tahu bahwa "ikhtiar = memilih", sekarang kita harus tahu dulu apa itu "takdir" ? Sekali lagi, kita juga terlanjur keliru dalam mengartikan "takdir" dengan makna "nasib". Padahal "nasib" dalam bahasa arab sendiri artinya adalah "payah" (kalau tidak salah). Kata "takdir" sebenarnya memiliki padanan kata yang cukup tepat dalam bahasa Indonesia, yaitu "kadar" (dan ini memang berasal dari akar kata yang sama). Artinya, "takdir" bukanlah "nasib yang telah ditetapkan oleh Allah, dan kita harus menerimanya". "Takdir" adalah kadar-kadar atau ketentuan-ketentuan, atau batas-batas yang ditentukan oleh Allah, yang harus kita ketahui batasan-batasannya, dan setelah itu barulah kita PILIH (ikhtiar). Contoh takdir atau kadar adalah: 1. Jaman Pak Harto dulu, lulusan SD mungkin saja jadi presiden. Tapi jaman sekarang, besar kemungkinan tidak bisa. 2. Kalau kita nabung tiap bulan 10 ribu yen, maka dalam satu tahun kita akan punya uang 120 ribu yen. 3. Lulusan perguruan tinggi punya kans lebih besar untuk bisa jadi kaya, dibandingkan dengan lulusan SD. 4. Jadi pegawai swasta akan memberikan penghasilan yang lebih bila dibandingkan dengan jadi pegawai negeri (untuk kasus indonesia saat ini). 5. Dokter lebih kaya dari polisi. 6. Pengacara lebih makmur dari wartawan. 7. Hanya lulusan jurusan kedokteran saja-lah yang bisa jadi dokter. 8. Orang yang kuliah di jurusan kedokteran tidak bisa jadi engineer. 9. lulusan SD tidak bakal jadi dirut Pertamina. 10. dll Sekali lagi, point-point di atas hanyalah sebagian kecil dari hal-hal yang menggambarkan keterkaitan antara pilihan dan konsekwensinya. Dan inilah makna takdir yang real. Artinya, kalau kita pingin anak kita jadi engineer, ya harus kita masukkan ke perguruan tinggi dengan jurusan teknik. Inilah takdir. Kalau kita ingin anak kita jadi dokter, ya harus kita masukkan ke perguruan tinggi di jurusan kedokteran. Inilah takdir. Kira-kita begitu desu. Karena Mas Rudi mengaitkan konsep "takwa" dengan konsep "ikhtiar", sebenarnya saya ingin membahas juga tentang "bagaimana seharusnya tawakkal itu" (tawakkal dalam arti kita = menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah). Terutama sekali tentang dari sudut mana seharusnya kita menerima suatu hal yang mungkin saja ajaib. Tapi karena takut kepanjangan, saya cukupkan sampai di sini dulu saja deh. Sampai di sini dulu, kalau ada yang benar, ya alhamdulillah .. kalau ada yang salah silakan saja dikoreksi. Anggap saja ini sekedar tukar pikiran desu. Tapi mohon maaf, reply dari saya mungkin lambat sekali, ya mungkin ini takdir saya sebagai pekerja swasta di jepang yang harus lembur tiap malam (^_^). Ijou desu, semoga bermanfaat. wassalam