http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1182
Ifdhal Kasim:Tuhan Tak Perlu Hukum Pidana   Wawancara | 11/12/2006 Bagi saya, 
penambahan pasal-pasal itu akan membawa implikasi yang serius terhadap 
kebebasan dasar warga negara. Aturan-aturan di situ sebetulnya mengarah pada 
over criminalization atau kriminalisasi berlebih-lebihan.
    Pasal-pasal Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama dalam draf 
revisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2005, membuka 
kemungkinan kriminalisasi berlebihan terhadap kehidupan beragama di Indonesia. 
Alih-alih mengukuhkan harmoni sosial dan budaya toleransi, pasal-pasal ini 
justru potensial digunakan pihak tertentu untuk menopang pandangan sempitnya 
tentang agama. Demikian perbincangan Novriantoni dari Kajian Islam Utan Kayu 
(KIUK) dengan Ifdal Kasim, Direktur Program Hukum dan Legislasi Reform 
Institute, akhir November lalu.
  Mas Ifdal, bagaimana kisah revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 
kita sekarang ini?
  Usaha-usaha untuk merevisi KUHP kita itu merupakan aspirasi lama. Sejak 1967, 
sudah ada usaha ke arah itu. Alasannya agar kita terbebas dari produk hukum 
kolonial demi mencari identitas keindonesiaan. Karena itu, KUHP peninggalan 
masa kolonial itu ingin diganti dengan produk asli Indonesia. Dari segi 
paradigmanya, sebenarnya tidak ada alasan yang sangat mendasar untuk revisi, 
karena tidak diikuti dengan penggantian paradigma. Apa yang ingin lebih 
ditonjolkan tampaknya semangat nasionalisme. Untuk menunjukkan bahwa yang 
sekarang bukan produk kolonial, tapi produk zaman reformasi.
  Padahal, sejak 1967 sampai sekarang, paling tidak sudah ada 9 tim yang 
berusaha membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP. Timnya berganti-berganti 
sampai yang terkini di bawah Prof. Muladi. Kini draftingnya sudah selesai dan 
tinggal menunggu amanat presiden untuk diajukan ke DPR. Saya kira, awal tahun 
depan persidangannya akan diajukan ke DPR oleh presiden. 
  Konon pasal-pasal mengenai agama akan diperbanyak dalam revisi KUHP kali ini. 
Bisa Anda gambarkan penambahan-penembahan itu?
  Ada perluasan yang signifikan dalam delik mengenai agama. Tapi sebetulnya ini 
bukan kreasi tim yang ada sekarang, namun peninggalan inisiatif tahun 1976 di 
bawah tim Prof. Basyaruddin. Saat itu, mereka menghasilkan 2 draf; satu 
mengenai bagian ketentuanya, dan kedua mengenai tindak kejahatannya. Dari 
situlah kita menemukan dasar argumen perluasan delik agama. Risalah-risalah 
rapat dan seminar-seminar tahun 1970-an menunjukkan bahwa dasarnya adalah 
kenyataan bahwa Indonesia adalah negara bertuhan dan memiliki filosofi 
ketuhanan. Perasaan keagamaan pun dianggap sangat tinggi di kalangan orang 
Indonesia. Itu dianggap beda dengan orang Barat yang tidak lagi peduli terhadap 
soal agama. 
  Nah, kenyataan itu, ditambah sila Ketuhanan Yang Mahaesa, menjadi dasar 
mengapa delik agama diperluas. Sementara dasar-dasar ilmiah perluasan delik 
agama juga pernah dimotori oleh Prof. Senoaji. Dialah yang memberikan argumen 
bahwa, karena salah satu sila dalam Pancasila adalah Ketuhanan Yang Mahaesa, 
maka diperlukan delik yang mengkriminalisasi orang yang menghina agama, 
menyebarkan pandangan anti-agama, dan seterusnya. Bahkan, orang yang atheis 
akan dianggap melanggar delik agama. Jadi, itulah dasar filosofisnya.
  Pak Muladi yang kini memotori revisi, tampaknya kukuh mempertahankan filosofi 
itu. Apakah dia benar-benar berperan besar dalam mempromosikan revisi tentang 
delik agama?
  Dia meneruskan sekaligus menambahkan argumen yang pernah diungkapkan Prof. 
Senoaji yang guru besar dari Universitas Diponegoro (UNDIP) itu. Karena di 
UNDIP ada banyak guru besar hukum pidana, maka acuan hukum pidana kita biasanya 
selalu ke sana. Selain Prof. Muladi, Prof. Bardan Nawawi juga salah seorang 
konseptor yang ikut memperkuat argumen Prof. Senoaji. Karena itu tidak ada 
koreksi yang signifikan. 
  Kalau kita mau mengacu pada sejarah, pemikiran Prof. Senoaji tentang hukum 
secara nyata sudah ditungkannya dalam Penetapan Presiden Soeharto (PNPS no.1 
tahun 1965). PNPS itu berasal dari pemikiran Prof. Senoaji yang menganggap KUHP 
yang ada merupakan kelanjutan dari KUHP masa kolonial. Karena itu, ia dianggap 
tidak mewadahi delik agama. KUHP yang ada dianggap mengambil model masyarakat 
Eropa, di mana delik agama hanya dituangkan dalam ketentuan tentang blasphemy 
atau penghinaa terhadap agama. Itupun berada di bawah bab mengenai ketertiban 
umum. 
  Dalam KUHP kita, soal itu sebetulnya sudah masuk dalam pasal-pasal tentang 
hatzai artikelen atau pasal-pasal penyebar kebencian. Tapi, pasal itu dianggap 
tidak cukup memadai. Untuk itu, dibuatlah peraturan pemerintah soal delik agama 
(PNPS no.1 tahun 1965), karena alasan Pancasila. Ada juga konteks tertentu yang 
melatari lahirnya PNPS itu. Pada masa itu, banyak sekali aliran-aliran atau 
percabangan dari organisasi besar Islam yang ingin ditertibkan. Sekte-sekte 
yang ada di Kristen maupun Islam coba ditertibkan oleh PNPS. Mereka dituduh 
menghina agama yang ada karena lari dari doktrin besar atau yang dominan. 
   
          Pasal 341: Setiap orang yang di muka umum menyatakan perasaan atau 
melakukan perbuatan yang bersifat penghinaan terhadap agama yang dianut di 
Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana 
denda paling banyak Kategori III.           Pasal 342: Setiap orang yang di 
muka umum menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat‑Nya, dipidana dengan 
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak 
Kategori IV.           Pasal 343: Setiap orang yang di muka umum mengejek, 
menodai, atau meren­dahkan agama, rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, atau 
ibadah keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun 
atau pidana denda paling banyak Kategori IV.           Pasal 344: (1) Setiap 
orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar, 
sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan suatu rekaman sehingga 
ter­dengar oleh umum, yang berisi tindak pidana sebagaimana dimaksud
 dalam Pasal 341 atau Pasal 343, dengan maksud agar isi tulisan, gambar, atau 
rekaman tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, dipidana dengan 
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak 
Kategori IV. (2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu 
belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh 
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, maka dapat 
dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
91 ayat (1) huruf g.           Pasal 345: Setiap orang yang di muka umum 
menghasut dalam bentuk apapun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama 
yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) 
tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.           Pasal 346: (1) 
Setiap orang yang mengganggu, merintangi, atau dengan melawan
 hukum membubarkan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap jamaah 
yang sedang menjalankan ibadah, upacara keagamaan, atau pertemuan keagamaan, 
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda 
paling banyak Kategori IV. (2) Setiap orang yang membuat gaduh di dekat 
bangunan tempat untuk menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang ber­langsung, 
dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II.               Pasal 
347: Setiap orang yang di muka umum mengejek orang yang sedang menjalankan 
ibadah atau mengejek petugas agama yang sedang melakukan tugasnya, dipidana 
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak 
Kategori III.           Pasal 348: Setiap orang yang menodai atau secara 
melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau benda yang 
dipa­kai untuk beribadah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) 
tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.       
  Kita masuk ke pasal per pasal. Apa penilaian Anda terhadap penambahan 
pasal-pasal ini dalam RUU-KUHP baru?
  Bagi saya, penambahan pasal-pasal itu akan membawa implikasi yang serius 
terhadap kebebasan dasar warga negara. Aturan-aturan di situ sebetulnya 
mengarah pada over criminalization atau kriminalisasi berlebih-lebihan. Ukuran 
over criminalization itu adalah: pertama, karena tindak pidana yang dirumuskan 
tidak memiliki korban yang nyata. Jadi victimless/atau tidak ada korban 
kongkretnya. Itulah yang dalam rumusan hukum yang liberal disebut sebagai teori 
hak asasi manusia (HAM). Rumusnya: setiap perbuatan bisa dikriminalisasi 
apabila memang menimbulkan kerugian yang nyata dan jelas korbanya. Sebaliknya, 
kalau suatu tindak pidana tidak jelas korbannya, maka ia tidak bisa disebut 
sebagai tindak pidana. Biasanya, yang masuk kategori tindak pidana atau bukan 
adalah delik-delik seperti delik agama, delik pornografi atau pornoaksi, dan 
lain-lain. 
  Karena itu, bagi saya pasal-pasal itu cukup dirumuskan dalam satu pasal saja. 
Sebab, rumusan yang ada itu merupakan bentuk pengulangan-pengulangan yang 
nantinya justru akan membahayakan orang. Misalnya, Pasal 342 dan 343, 
sebetulnya sudah tercakup di dalam Pasal 341. Kalau terlalu dirinci, nantinya 
pasal-pasal itu akan sangat gampang digunakan untuk mengkriminalisasi semua 
bentuk penafsiran yang berbeda terhadap agama. Lihatlah Pasal 342. Di situ ada 
uraian tentang apa yang dia maksud dengan penghinaan terhadap agama, yaitu 
menghina keagungan Tuhan, firman, dan sifatnya. Semua itu tentu memerlukan 
penafsiran: apa yang dimaksud dengan firman dan sifat Tuhan itu? Seperti apa? 
Dan kegiatan seperti apa yang bisa dikatakan menghina firman Tuhan? 
  Pasal di bawahnya membuat persoalan lebih kabur lagi. Setiap orang di muka 
umum menghina, mengejek agama.... Padahal, hanya ada satu kata kunci di situ, 
yaitu penghinaan dan itu sudah bisa ditampung oleh Pasal 341. Pasal 342-343 itu 
tidak perlu dan hanya mengulang. Bayangkan soal ini: jika seseorang membuat 
puisi karena ada tsunami yang dianggap kejam, lalu dia menggugat Tuhan, apakah 
itu bisa dikategorikan penghinaan terhadap Tuhan? 
  Bagaimana menentukan korban nyata dalam delik penghinaan atas agama ini? 
Kalau saya dihina, jelas saya korban dan akan memperkarakan orang yang menghina 
saya. Tapi kalau ada yang menghina Tuhan, siapa yang nantinya merasa menjadi 
korban?
  Di situlah proses penegakan hukumnya jadi ruwet. Saya membayangkan, yang akan 
mewakili keagungan Tuhan itu nantinya adalah umat tertentu, terutama dari 
penafsiran kalangan yang mainstream. Mereka inilah yang nantinya akan lebih 
banyak bicara dalam kasus-kasus penghinaan terhadap agama. Selama ini, sebelum 
menjerat orang yang dituduh menghina agama, polisi biasanya sudah menyiapkan 
dan meminta keterangan saksi-saksi ahli. Saksi ahli yang dipanggil biasanya 
berasal dari komunitas keagamaan yang pemikirannya mainstream dan pasti akan 
memberatkan terdakwa. 
  Contohnya kasus Lia Aminudin. Yang menjadi saksi-saksi polisi adalah 
orang-orang yang secara pandangan keagamaan sudah pasti tidak setuju dengan 
interpretasi agama ala Lia Aminudin. Orang-orang yang diajukan ibu Lia sendiri, 
yang melihat agama secara lebih luas dan dari berbagai aspeknya, tidak begitu 
didengarkan. Yang terjadi di pengadilan adalah perebutan otoritas dalam 
menafsirkan agama. Dan, otoritas itu tentu saja akan berada di tangan aliran 
keagamaan yang dominan. Padahal, mereka tidak menjadi korban langsung paham 
keagamaan Ibu Lia; bahkan Ibu Lia-lah yang menjadi korban mereka.
  Selain soal ketidakjelasan korban, aspek apa lagi yang menjadi keberatan 
kalangan penentang revisi ini?
  Persoalan keagamaan itu tidak perlu semuanya masuk dalam delik hukum. Banyak 
persoalan agama yang mesti disisakan dalam wilayah komunitas. Komunitaslah yang 
menimbang-nimbang. Tidak mesti semua perkara agama harus kita masukkan ke 
butir-butir hukum. Kalau kita berkaca pada negara seperti Inggris atau 
Australia yang juga punya delik agama, maka kita akan tahu bahwa sejak 
diundangkan, hanya tiga kasus yang bisa ditindaklanjuti pengadilan dari 30 
tahun usia undang-undang itu. Soalnya, sangat sulit membuktikan kasus ini di 
pengadilan. Sebab, mau tidak mau, orang harus membuktikan dulu apakah ada unsur 
kesalahan yang diperbuat oleh orang yang dituntut itu, dan siapa korban 
nyatanya.
  Misalnya soal menghina keagungan Tuhan. Ukurannya tentu sangat subyektif: 
apakah seseorang itu memang bermaksud menghina atau tidak dan siapa korbannya? 
Jadi perlu dilihat minds-area atau alam pikirannya. Nah, unsur itulah yang 
susah dibuktikan. Ini menyangkut soal motif. Jadi, terdakwa harus dengan 
sengaja melakukan penghinaan itu. Kalau tidak ada unsur kesalahan dan 
kesengajaan, dia tidak bisa dipidanakan. Kita tahu, kini banyak orang yang 
menulis puisi, cerpen, atau apapun yang diaggap menggugat Tuhan; bagaimana 
menentukan motifnya? Biasanya itu hanya ungkapan simbolik atau sebentuk kritik. 
Semua itu susah dilihat di proses pengadilan. Kalau kita ke Eropa, kita bisa 
menemukan tulisan-tulisan pinggiran jalan yang misalnya menyebutkan ”Yesus 
sudah mati” atau ”Tuhan sudah mati”. Tapi orang kan tidak dipidana untuk kasus 
seperti itu.
  Nah, pada zaman yang sudah modern seperti ini, kita tampaknya ingin kembali 
ke situasi yang sangat tertutup dengan membuat pasal-pasal yang mungkin saja 
mempertajam konflik keagamaan. Kita tahu, maksud RUU ini mungkin untuk 
menciptakan kerukunan beragama. Tapi faktanya, justru bukan itu yang terjadi. 
Sebab, pasal-pasal ini akan ikut merangsang mudahnya orang tersinggung dan 
mengajukan orang lain ke pengadilan. Karena tersinggung secara pribadi, secara 
subyektif orang lain akan dianggap menghina. Seseorang mungkin saja menyinggung 
ajaran agama atau kitab suci dalam sebentuk kritik, tapi mengapa mesti ada 
orang tertentu yang tersinggung? Ajaran agama sendiri kan punya banyak doktrin. 
Nanti akan banyak sekali pengaduan.
  Apakah para ahli hukum yang mengajukan revisi sadar akan fakta kemajemukan 
pemahaman keagamaan yang tak mungkin diatur perundang-undangan itu? 
  Itu yang saya kurang mengerti. Mestinya para pembuat UU itu bisa menyadari 
bahwa dari segi doktrin, setiap agama memiliki banyak variasi. Karena itu, 
kalau orang melanggar doktrin agama, dia tak bisa serta-merta disebut melanggar 
tindak pidana. Paling banyak, dia disebut berdosa saja. Karena itu, bagi saya 
aturan pidana mestinya tidak masuk ke detil ajaran agamanya. Yang lebih baik 
dan perlu justru bagaimana hukum pidana memproteksi kebebasan orang dalam 
beragama dan memilih agamanya. Orang yang menyerang orang lain karena berbeda 
keyakinan agama, mereka itulah yang harus dipidana. 
  Jadi, yang diproteksi bukan keagungan Tuhan. Keagungan Tuhan tidak perlu kita 
proteksi lewat hukum pidana. Umatlah yang memproteksinya melalui ibadah. Jadi 
kita tak perlu memakai tangan negara untuk menjaga keagungan Tuhan. Karena itu, 
di negara-negara maju, kriminalisasi agama lebih banyak mengarah pada aspek 
penyerangan atau pelecehan hak orang lain untuk meyakini suatu agama. Sebab, 
soal agama merupakan hak individu setiap orang. Nah, hak itulah yang seharusnya 
dijaga. Fungsi hukum pidana di sini adalah sebagai bentuk perlindungan atas hak 
beragama, terhadap cara orang menjalankan agamanya sesuai dengan hati 
nuraninya, bukan membincangkan detil agamanya.
  RUU ini kelihatannya menjadi bagian dari menguatnya iklim intoleransi 
beragama di Tanah Air dewasa ini. Alih-alih menguatkan toleransi, ia tampaknya 
justru mengakomodasi kalau bukan mengukuhkan budaya intoleransi. Tangapan Anda?
  Saya kira arahnya memang lebih ke sana. Intinya, ada kecurigaan terhadap 
pandangan-pandangan keagamaan yang berada di luar mainstream (Ahmadiyah, Aliran 
Kepercayaan, dan lain-lain), dan itu dianggap berpotensi mengganggu ketertiban 
umum. Jadi, pasal-pasal ini akan digunakan untuk menjaga perasaan 
mayoritas—dalam konteks pemahaman keagamaan—dan menfasilitasi keinginan 
mayoritas itu untuk menertibkan pandangan-pandangan keagamaan yang berada di 
luar mainstream. Mereka yang tidak mainstream itulah yang akan dikriminalisasi.
   Menurut saya, tepat pada titik itulah tidak mengenanya rancangan ini. Mereka 
seakan menjadikan hukum pidana sebagai panacea, obat mujarab yang bisa 
mengatasi seluruh soal. Padahal rumusnya terbalik: hukum pidana harus 
difungsikan secara minimal. Dia hanya senjata pamungkas ketika sarana lain 
seperti kearifan lokal dan harmoni sosial tidak ada dan tidak bisa lagi 
diandalkan. Dalam konteks keberagamaan, sebaiknya hukum pidana jangan 
digunakan. Hukum pidana baru perlu digunakan ketika seseorang merampas hak 
kebebasan beragama orang lain. Itulah yang perlu dikirminalisasi.
  Mas Ifdal, tak semua pasal di RUU ini buruk. Ada juga pasal yang cukup baik, 
yaitu soal perusakan tempat ibadah yang sekarang marak terjadi di Indonesia. 
Apakah pasal itu masih perlu?
  Revisi KUHP ini membagi delik agama ke dalam dua kategori. Pertama, delik 
agamanya sendiri. Yang kedua delik terhadap kehidupan beragama. Nah, pasal yang 
berkenaan dengan perusakan rumah ibadah atau merintangi orang yang mau 
beribadah secara melawan hukum dsb, sudah masuk dalam kategori sub-bab delik 
terhadap kehidupan beragama. Soal itu memang mau ditampung oleh Pasal 346, 347, 
348, yang akan mempidana orang yang merusak rumah ibadah, mengganggu orang 
beribadah, membuat keriuhan dan keonaran di dekat rumah ibadah. Pasal-pasal ini 
adalah bentuk perlindungan terhadap orang yang menjalankan ibadah. Masalahnya, 
pasal-pasal itu jadi berlebihan karena spesifik ditujukan kepada rumah ibadah. 
Sebab, pasal mengenai itu sudah tercakup dalam pasal lain mengenai pengrusakan 
harta milik orang lain.
  Kalau dianggap sebagai penekanan karena maraknya kasus pengrusakan rumah 
ibadah?
  Tapi itu menunjukkan kalau kita kurang dapat berpikir secara lebih 
abstraktif, dan karena itu memerlukan sesuatu yang konkret terus. Padahal pasal 
tentang perusakan, membuat keributan, dan masuk ke rumah orang lain tanpa 
persetujuan, sudah berlaku umum di mana-mana. Semua itu masuk tindak pidana. 
Jadi tidak perlu dispesifikasi seperti ini. Dengan adanya penekan itu, 
seakan-akan ada pengrusakan khusus dan ada perusakan umum. Menurut saya, itu 
tidak perlu dalam hukum pidana. Sebab, intinya sama: pengrusakan milik orang 
lain. []
 
  Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1182
 
  

 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke