Belum Haji Sudah Mabrur
Oleh : Ahmad Tohari

Ini kisah tentang Yu Timah. Siapakah dia? Yu Timah adalah tetangga 
kami. Dia salah seorang penerima program Subsidi Langsung Tunai 
(SLT) yang kini sudah berakhir. Empat kali menerima SLT selama satu 
tahun jumlah uang yang diterima Yu Timah dari pemerintah sebesar Rp 
1,2 juta. Yu Timah adalah penerima SLT yang sebenarnya. Maka 
rumahnya berlantai tanah, berdinding anyaman bambu, tak punya sumur 
sendiri. Bahkan status tanah yang ditempati gubuk Yu Timah adalah 
bukan milik sendiri. Usia Yu Timah sekitar lima puluhan, berbadan 
kurus dan tidak menikah. Barangkali karena kondisi tubuhnya yang 
kurus, sangat miskin, ditambah yatim sejak kecil, maka Yu Timah 
tidak menarik lelaki manapun. Jadilah Yu Timah perawan tua hingga 
kini. Dia sebatang kara. Dulu setelah remaja YuTimah bekerja sebagai 
pembantu rumah tangga di Jakarta. Namun, seiring usianya yang terus 
meningkat, tenaga Yu Timah tidak laku di pasaran pembantu rumah 
tangga. Dia kembali ke kampung kami. Para tetangga bergotong royong 
membuatkan gubuk buat Yu Timah bersama emaknya yang sudah sangat 
renta. Gubuk itu didirikan di atas tanah tetangga yang bersedia 
menampung anak dan emak yang sangat miskin itu. Meski hidupnya 
sangat miskin, Yu Timah ingin mandiri. Maka ia berjualan nasi 
bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri yang sedang mondok di 
pesantren kampung kami. Tentu hasilnya tak seberapa. Tapi Yu Timah 
bertahan. Dan nyatanya dia bisa hidup bertahun-tahun bersama 
emaknya. 

Setelah emaknya meninggal Yu Timah mengasuh seorang kemenakan. Dia 
biayai anak itu hingga tamat SD. Tapi ini zaman apa. Anak itu harus 
cari makan. Maka dia tersedot arus perdagangan pembantu rumah tangga 
dan lagi-lagi terdampar diJakarta. Sudah empat tahun terakhir ini Yu 
Timah kembali hidup sebatang kara dan mencukupi kebutuhan hidupnya 
dengan berjualan nasi bungkus. Untung dikampung kami ada pesantren 
kecil. Para santrinya adalah anak-anak petani yang biasa makan nasi 
seperti yang dijual Yu Timah. Kemarin Yu Timah datang ke rumah saya. 
Saya sudah mengira pasti dia mau bicara soal tabungan. Inilah 
hebatnya. Semiskin itu Yu Timah masih bisa menabung di bank 
perkreditan rakyat syariah di mana saya ikut jadi pengurus. Tapi Yu 
Timah tidak pernah mau datang ke kantor. Katanya, malu sebab dia 
orang miskin dan buta huruf. Dia menabung Rp 5.000 atau Rp 10 ribu 
setiap bulan. Namun setelah menjadi penerima SLT Yu Timah bisa setor 
tabungan hingga Rp 250 ribu. Dan sejak itu saya melihat Yu Timah 
memakai cincin emas. Yah, emas. Untuk orang seperti Yu Timah, 
setitik emas di jari adalah persoalan mengangkat harga diri. Saldo 
terakhir Yu Timah adalah Rp 650 ribu. Yu Timah biasa duduk menjauh 
bila berhadapan dengan saya. Malah maunya bersimpuh di lantai, namun 
selalu saya cegah. 
''Pak, saya mau mengambil tabungan,'' kata Yu Timah dengan suaranya 
yang kecil. 
''O, tentu bisa. Tapi ini hari Sabtu dan sudah sore. Bank kita sudah 
tutup.  Bagaimana bila Senin?'' 
''Senin juga tidak apa-apa. Saya tidak tergesa.'' 
''Mau ambil berapa?'' tanya saya. 
''Enam ratus ribu, Pak.'' 
''Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?'' 
Yu Timah tidak segera menjawab. Menunduk, sambil tersenyum malu-
malu. ''Saya mau beli kambing kurban, Pak. Kalau enam ratus ribu 
saya tambahi dengan uang saya yang di tangan, cukup untuk beli satu 
kambing.'' 
Saya tahu Yu Timah amat menunggu tanggapan saya. Bahkan dia 
mengulangi kata-katanya karena saya masih diam. Karena lama tidak 
memberikan tanggapan, mungkin Yu Timah mengira saya tidak akan 
memberikan uang tabungannya. Padahal saya lama terdiam karena sangat 
terkesan oleh keinginan Yu Timah membeli kambing kurban. 
''Iya, Yu. Senin besok uang Yu Timah akan diberikan sebesar enam 
ratus ribu. Tapi Yu, sebenarnya kamu tidak wajib berkurban. Yu Timah 
bahkan wajib menerima kurban dari saudara-saudara kita yang lebih 
berada. Jadi, apakah niat Yu Timah benar-benar sudah bulat hendak 
membeli kambing kurban?'' 
''Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berkurban. 
Selama ini memang saya hanya jadi penerima. Namun sekarang saya 
ingin jadi pemberi daging kurban.'' ''Baik, Yu. Besok uang kamu akan 
saya ambilkan di bank kita.'' 
Wajah Yu Timah benderang. Senyumnya ceria. Matanya berbinar. Lalu 
minta diri, dan dengan langkah-langkah panjang Yu Timah pulang. 
Setelah Yu Timah pergi, saya termangu sendiri. Kapankah Yu Timah 
mendengar, mengerti, menghayati, lalu menginternalisasi ajaran 
kurban yang ditinggalkan oleh Kanjeng Nabi Ibrahim? 

Mengapa orang yang sangat awam itu bisa punya keikhlasan demikian 
tinggi sehingga rela mengurbankan hampir seluruh hartanya? 
Pertanyaan ini muncul karena umumnya ibadah haji yang biayanya mahal 
itu tidak mengubah watak orangnya. Mungkin saya juga begitu. Ah, Yu 
Timah, saya jadi malu. Kamu yang belum naik haji, atau tidak akan 
pernah naik haji, namun kamu sudah jadi orang yang suka berkurban. 
Kamu sangat miskin, tapi uangmu tidak kaubelikan makanan, televisi, 
atau pakaian yang bagus. Uangmu malah kamu belikan kambing kurban. 
Ya, Yu Timah. Meski saya dilarang dokter makan daging kambing, tapi 
kali ini akan saya langgar. Saya ingin menikmati daging kambingmu 
yang sepertinya sudah berbau surga. Mudah-mudahan kamu mabrur 
sebelum kamu naik haji.


Kirim email ke