eh, masih ada tulisan lagi soal poligami.
moga-moga mbak listy nggak bosan.


>From: "MADIA" <[EMAIL PROTECTED]>
>
>Menggugat Poligami
>
>Prof. Dr. Siti Musdah Mulia
>
>
>Fenomena poligami semakin marak akhir-akhir ini, 
>terutama karena dipertontonkan secara vulgar 
>oleh para tokoh panutan di kalangan birokrasi, 
>politisi, seniman, dan bahkan agamawan. Poligami 
>sesungguhnya merupakan akumulasi dari sedikitnya 
>tiga faktor: Pertama, lumpuhnya sistem hukum 
>kita, khususnya Undang-undang Perkawinan. Kedua, 
>masih kentalnya budaya patriarki di masyarakat 
>yang memandang isteri hanyalah konco wingking, 
>harus ikut apa mau suami dan tidak boleh 
>menolak; dan ketiga, kuatnya interpretasi agama 
>yang bias jender dan tidak akomodatif terhadap 
>nilai-nilai kemanusiaan. Interpretasi agama yang 
>memposisikan isteri hanya sebagai obyek seksual, 
>tidak memiliki kemandirian sebagai manusia utuh.
>
>Realitas sosiologis di masyarakat menjelaskan 
>bahwa poligami selalu dikaitkan dengan ajaran 
>Islam. Sejumlah pertanyaan muncul: Apakah betul 
>Islam mengajarkan poligami? Apakah benar Rasul 
>mempraktekkan poligami? Dan bagaimana seharusnya 
>kita membaca teks-teks agama yang secara tekstual bicara tentang poligami?
>
>Data-data historis secara jelas menginformasikan 
>bahwa ribuan tahun sebelum Islam turun di 
>Jazirah Arab, masyarakat di berbagai belahan 
>dunia telah mengenal dan bahkan secara luas 
>mempraktekkan poligami sehingga ketika itu sulit 
>sekali menemukan bentuk perkawinan monogami, 
>termasuk pada  masyarakat Arab yang terkenal 
>jahiliyah. Poligami yang berlangsung saat itu 
>tidak mengenal batas, baik dalam hal jumlah 
>isteri maupun syarat moralitas keadilan. Lalu 
>Islam datang melakukan koreksi total secara 
>radikal terhadap perilaku poligami yang tidak 
>manusiawi itu. Koreksi Islam menyangkut dua hal: 
>Pertama, membatasi jumlah isteri hanya empat, 
>dan kedua, ini yang paling radikal bahwa 
>poligami hanya dibolehkan bagi suami yang 
>menjamin keadilan untuk para isteri. Perubahan 
>drastis inilah yang diapresiasi Robert Bellah, 
>sosiolog terkenal asal Amerika sehingga menyebut 
>Islam sebagai agama yang sangat modern untuk 
>ukuran masa itu, "it was too modern to succed" komentarnya.
>
>Pembatasan poligami yang sangat ketat dalam 
>ajaran Islam seharusnya dibaca sebagai suatu 
>cita-cita luhur dan ideal Islam untuk 
>menghapuskan  poligami secara gradual dalam 
>kehidupan masyarakat. Layaknya kasus khamer 
>(minuman memabukkan), larangan khamer tidak 
>diturunkan sekaligus, demikian pula larangan 
>terhadap perbudakan, melainkan dilarang secara 
>bertahap sehingga terbangun kesiapan masyarakat 
>untuk menerimanya secara mental dan sosial. 
>Sebab, tradisi minum khamer begitu juga 
>perbudakan sudah demikian berakar dalam tradisi 
>masyarakat sehingga mustahil rasanya melarang 
>mereka minum atau membasmi perbudakan secara 
>total. Semua ayat Al-Qur`an menggunakan ungkapan 
>sesuai dengan keadaan masa turunnya, tetapi 
>pesan moral Al-Qur`an tidaklah dibatasi oleh 
>waktu yang bersifat historis itu. Pesan moral 
>keagamaan dibalik ayat-ayat poligami, 
>perbudakan, dan larangan minuman keras adalah 
>menyadarkan manusia akan martabat 
>kemanusiaannya, bahwa manusia adalah makhluk 
>Tuhan yang paling bermartabat. Manusis  harus 
>menghormati sesamanya tanpa perbedaan apa 
>pun,  jangan menganiaya diri sendiri, apalagi menganiaya orang lain.
>
>Muhammad Rasulullah pembawa risalah Islam hidup 
>dan tumbuh di lingkungan tradisi poligami, 
>tetapi justru memilih monogami. Rasul menikahi 
>Siti Khadijah ketika berusia 25 tahun dan umat 
>Islam perlu menyadari bahwa perkawinan Rasul 
>yang monogami dan penuh kebahagiaan itu 
>berlangsung selama 28 tahun: 17 tahun dijalani 
>sebelum kerasulan (qabla bi`tsah) dan 11 tahun 
>sesudahnya (ba`da bi`tsah). Kebahagiaan pasangan 
>ini menjadi inspirasi dalam banyak doa pengantin 
>yang dilantunkan pada jutaan prosesi perkawinan umat Islam.
>
>Kalau poligami adalah mulia, mengapa Rasul tidak 
>melakukannya sejak awal? Di mata masyarakat Arab 
>ketika itu, Rasul sangat pantas berpoligami. 
>Semua persyaratan poligami dimilikinya: mampu 
>berbuat adil; keturunan tokoh Quraisy terkemuka; 
>simpatik dan berwajah rupawan; tokoh masyarakat 
>yang disegani; pemimpin agama yang kharismatik; 
>dan terlebih lagi karena Khadijah tidak 
>memberikan anak laki-laki yang hidup sampai 
>dewasa. Namun, Rasul tidak bergeming, tetap pada 
>pilihannya untuk monogami. Bagi Rasul, Khadijah 
>bukan semata isteri teman tidur, melainkan lebih 
>sebagai mitra kerja, teman dialog, tempat 
>curhat, sahabat sejati dan yang pasti adalah belahan jiwa.
>
>Khadijah wafat, Rasul mengalami guncangan hebat, 
>dan begitu dalamnya kepedihan Rasul sehingga 
>tahun kematian Khadijah diabadikan dalam sejarah 
>Islam sebagai “amul azmi” (tahun kepedihan). 
>Sepanjang hayatnya Rasul selalu membicarakan 
>kebaikan dan keluhuran budi perempuan yang amat 
>dicintainya itu. Tiga tahun berlalu dari 
>wafatnya Khadijah,  Rasul dihadapkan pada 
>tanggung jawab besar mengembangkan syiar Islam 
>ke Yastrib dan juga ke luar Jazirah Arab. 
>Kondisi masyarakat yang bersuku-suku  di kala 
>itu memaksa Rasul harus menjalin komunikasi yang 
>luas dengan berbagai suku agar dapat mendukung 
>perjuangannya, dan perkawinan menjadi alat 
>komunikasi yang strategis. Demikianlah Rasul 
>kemudian menikahi beberapa perempuan demi terlaksananya syiar Islam.
>
>Patut direnungkan bahwa perempuan pertama yang 
>dinikahi Rasul setelah Khadijah bernama Saudah 
>bint Zam`ah berumur 65 tahun, sebagian riwayat 
>menyebutkan 72 tahun, dan yang pasti sudah 
>menopause, sedangkan Rasul berusia 54 tahun. 
>Rasul mengawini Saudah demi melindungi perempuan 
>tua itu dari keterlantaran dan tekanan 
>keluarganya yang masih musyrik. Atau mungkin 
>juga sebagai balas budi atas jasa suaminya, 
>Sakran ibn Amar, sahabat yang menyertai Rasul 
>dalam perjalanan hijrah ke Abessinia.  Setelah 
>Saudah, Rasul menikahi Aisyah bint Abu Bakar, 
>satu-satunya istri yang perawan dan masih muda, 
>bahkan terlalu muda. Pada masa itu mengawini 
>anak-anak belum dikategorikan sebagai tindakan 
>yang melanggar hak anak (child abuse). 
>Selanjutnya, Rasul berturut-turut mengawini 
>Hafsah bint Umar ibn al-Khattab, Ummu Salamah, 
>Ummu Habibah, Zainab bint Jahsy, Zainab bint 
>Khuzaimah, Juwayriyah bint Haris, Safiyyah bint 
>Huyay, Rayhanah bint Zaid, dan yang terakhir 
>dengan Maimunah bint Harits terjadi pada tahun 
>ke-7 Hijriyah. Semua perkawinan Rasul ini 
>berlangsung di Madinah dan terjadi  dalam 
>rentang waktu yang relatif pendek, yakni dalam 5 
>tahun. Jarak antara satu perkawinan dan 
>perkawinan lainnya sangat pendek. Rasul wafat 
>pada 632 M. atau tiga tahun setelah 
>perkawinannya yang terakhir. Menarik bahwa tidak 
>satupun dari para isteri itu yang pernah 
>diceraikan. Memang pernah ada gosip Rasul 
>menceraikan Hafsah, tetapi setelah diklarifikasi 
>oleh Umar ibn Khattab ternyata gosip itu tidak benar.
>
>Rasul memperlakukan para isterinya secara adil 
>dan bijaksana. Jika Rasul akan mengikutkan salah 
>seorang di antara mereka dalam perjalanan maka 
>mereka diundi dengan maksud menghindari 
>kecemburuan dan iri hati di antara mereka. 
>Kendati Rasul telah berupaya melakukan yang 
>terbaik bagi para isterinya, namun kecemburuan, 
>konflik, dan ketidakakuran di antara mereka 
>tetap saja terjadi dan ini diabadikan dalam 
>kitab-kitab sirah Rasul. Sebagian isteri Rasul 
>telah berumur, punya banyak anak, dan janda para 
>sahabat yang gugur dalam membela Islam. Dari 
>kesebelas istrinya itu Rasul tidak dikaruniai 
>anak. Data-data ini cukup menjelaskan bahwa 
>alasan Rasul menikahi perempuan lebih dari satu 
>sangat jauh dari tuntutan memenuhi kepuasan biologis sebagaimana dituduhkan.
>
>Kesalehan dan kemuliaan akhlak Rasul dalam 
>memilih isteri digambarkan dalam banyak hadis, 
>di antaranya hadis Amrah bint Abdurrahman: 
>"Rasulullah ditanyai, Ya Rasul mengapa engkau 
>tidak menikahi perempuan dari kalangan Anshar 
>yang sangat terkenal kecantikannya? Rasul 
>menjawab: "Mereka adalah para perempuan yang 
>sangat pencemburu  dan tidak akan bersabar 
>dimadu", sementara Aku mempunyai beberapa istri, 
>dan aku tidak suka menyakiti kaum perempuan 
>berkenaan dengan hal itu."  Jawaban Rasul 
>mempertegas kebenaran bahwa poligami dapat 
>menyakiti hati perempuan. Rasul terlalu mulia 
>untuk menyakiti hati perempuan, bahkan beliau 
>diutus demi mengangkat harkat dan martabat kaum 
>perempuan yang sudah sangat terpuruk. Terbukti 
>Rasul tidak memilih perempuan muda dan cantik 
>sebagaimana lazim dilakukan laki-laki. Tujuan 
>perkawinan Rasul bukan untuk memenuhi hasrat 
>biologisnya, melainkan untuk kepentingan yang 
>lebih mulia, yaitu menjaga keselamatan umat 
>menuju tegaknya masyarakat Madinah yang didambakan.
>
>Sekarang, jika umat Islam ingin mengikuti sunah 
>Rasul dalam perkawinan, pilihan bijak tentulah 
>mengikuti perkawinan monogami Rasul yang penuh 
>kebahagiaan dan berlangsung sekitar 28 tahun, 
>bukan perkawinan dengan banyak isteri yang hanya 
>berlangsung kurang-lebih 6 tahun.
>
>Perlu pula dicatat, meskipun Rasul menikahi 
>lebih dari satu perempuan, namun tetap saja 
>beliau tidak setuju anak perempuannya, Fatimah 
>az-Zahra dimadu. Rasul marah dan mengecam 
>menantunya, Ali ibn Abi Thalib yang berniat 
>poligami. Sejumlah hadis sahih, diantaranya dari 
>al-Miswar ibn Makhramah meriwayatkan bahwa 
>ia  mendengar Rasul berpidato di atas mimbar: 
>"Sesungguhnya keluarga Hisyam ibn Mughirah 
>meminta izin kepadaku untuk menikahkan putrinya 
>dengan Ali. Dengarlah bahwa aku tidak 
>mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, aku 
>tidak mengizinkannya, kecuali jika Ali bersedia 
>menceraikan putriku baru menikahi anak mereka. 
>Ketahuilah, Fatimah adalah belaian jiwaku. 
>Barangsiapa membahagiakan Fatimah berarti 
>membahagiakanku. Sebaliknya, barangsiapa menyakitinya berarti ia menyakitiku."
>
>Sejumlah kitab hadis terkenal. seperti Sahih 
>Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan 
>Tirmizi, Musnad Ahmad, dan Sunan Ibnu Majah 
>meriwayatkan hadis tersebut dengan redaksi yang 
>persis sama. Dari perspektif ilmu hadis 
>mengindikasikan hadis itu diriwayatkan secara 
>lafzi. Artinya, sangat terjamin kesahihannya. 
>Hadis itu membuktikan betapa Rasul tidak setuju 
>poligami. Beliau bahkan mengulangi sampai tiga 
>kali pernyataan ketidaksetujuannya terhadap niat 
>Ali  berpoligami. Sejarah pun mencatat, Ali baru 
>menikah lagi setelah Fatimah wafat. Sebagai 
>Rasul, tentu saja beliau sadar bahwa pembelaan 
>terhadap anak perempuan  dan penolakannya yang 
>keras terhadap poligami akan diteladani para 
>ayah dari umatnya. Keberatan Rasul sangat logis 
>dan bahkan sangat manusiawi. Ayah siapa yang 
>rela melihat anak perempuannya dimadu? Sebab, 
>hanya perkawinan monogami yang menjanjikan 
>terwujudnya mawaddah wa rahmah (cinta kasih yang 
>tak bertepi), mu'asyarah bi al-ma'ruf 
>(kesantunan dan kesopanan), sa'adah 
>(kebahagiaan) dan sakinah (ketenteraman dan kedamaian).
>
>Hadis tersebut bisa juga mengandung makna betapa 
>beratnya tanggung jawab suami dalam poligami 
>sehingga hanya manusia setingkat Rasul yang 
>mampu melakukannya secara adil sesuai ketentuan 
>syari`ah. Pandangan seperti inilah yang 
>melatarbelakangi lahirnya ketentuan hukum 
>mengenai  keharaman poligami dalam Undang-Undang 
>Keluarga di Tunisia. Tunisia merupakan negara 
>kedua di Dunia Islam yang mengharamkan poligami 
>setelah Turki. Tunisia adalah negara Islam yang 
>konstitusinya berbasiskan Syari'at Islam, tetapi 
>mengharamkan poligami dengan alasan poligami 
>yang dipraktekkan umat Islam sekarang 
>bertentangan dengan perilaku Rasul. Poligami 
>umat Islam sudah mencapai tahap crime against 
>humanity (pelanggaran terhadap kemanusiaan). 
>Undang-undang Keluarga negara Islam lainnya, 
>seperti Mesir, Syria, dan Marokko meskipun tidak 
>seketat Tunisia juga sangat membatasi poligami 
>sebagai bentuk proteksi negara terhadap warganya 
>yang rentan, yakni para anak dan 
>isteri.  Sebagian ulama, seperti Mahmud Muhammad 
>Thaha, Abdullahi an-Na'im berpendapat poligami 
>hanya dibolehkan pada masa-masa awal Islam dan 
>dilarang ketika umat Islam sudah menjadi 
>masyarakat yang beradab. Ayat-ayat Al-Qur'an 
>yang berbicara tentang poligami lebih bernuansa 
>pelarangan ketimbang pembolehan.
>
>Sesungguhnya, Indonesia sebagai negara yang 
>berpenduduk mayoritas Muslim sudah menerapkan 
>aturan yang ketat dalam poligami, hanya saja 
>dalam implementasinya sangat lemah. Inilah 
>masalahnya!!!. Menurut Undang-undang Perkawinan, 
>suami boleh poligami kalau mampu berlaku adil 
>dan ada izin dari isteri, dan izin itu bisa 
>diperoleh dengan tiga syarat: kalau isteri 
>mandul, isteri sakit berkepanjangan, isteri 
>tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagai 
>isteri. Sayangnya, peraturan ini tidak berjalan 
>efektif, mungkin karena tidak ada polisi yang 
>mengawasi suami poligami. Kebanyakan suami 
>poligami tidak mampu berlaku adil. Kebanyakan 
>mereka melakukannya tanpa izin isteri sehingga 
>poligaminya dilakukan secara sirri, tanpa 
>pencatatan resmi. Kebanyakan suami berpoligami 
>bukan karena isterinya tidak punya anak, atau 
>sakit atau tidak melakukan kewajiban, melainkan 
>semata karena tidak mampu mengekang keinginan 
>syahwatnya. Lagi-lagi soal biologis!!! Karena 
>itu, menejemen qalbu saja ternyata tidak cukup, 
>harus diiringi dengan menejemen syahwat.
>
>Mengapa semua alasan yang membolehkan suami 
>berpoligami hanya dilihat dari perspektif 
>kepentingan suami, tidak sedikit pun 
>mempertimbangkan perasaan dan kepentingan 
>perempuan? Bagaimana jika suami tidak mampu 
>menjalankan kewajibannya? Bagaimana jika suami 
>cacat atau ditimpa penyakit? Bagaimana 
>jika  suami mandul? Apakah Pengadilan Agama juga 
>akan memberi izin kepada istri  menikah lagi? 
>Ketentuan tentang poligami dalam UUP jelas 
>menunjukkan posisi inferior dan subordinat 
>perempuan di hadapan laki-laki. Dan ini sungguh 
>bertentangan dengan esensi Islam yang 
>mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kesetaraan dan kemaslahatan.
>
>Alasan pembolehan poligami itu pun menyalahi 
>tuntunan Allah dalam Q.S. an-Nisa, 4:19: "...Dan 
>perlakukanlah isterimu dengan cara-cara sopan 
>lagi santun. Kemudian, bila kamu tidak menyukai 
>mereka (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu 
>tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan 
>padanya kebaikan yang banyak."  Pesan moral ayat 
>ini justru meminta suami bersabar atau tabah 
>menghadapi kekurangan isteri karena mungkin itu 
>ada hikmahnya, bukan lalu mencari isteri lain. 
>Sebaliknya, kalau suami punya kekurangan, maka 
>isteri pun harus bisa menerima itu sebagai 
>kenyataan. Dja'far al-Shadiq, ulama besar pada 
>periode awal Islam menjelaskan bahwa dalam 
>perkawinan Islam hanya ada dua pilihan bagi 
>suami: hidup bersama isteri dengan penuh 
>kedamaian dan kebahagiaan atau berpisah dengan 
>cara yang santun (Q.S. an-Nisa, 4: 21). Tidak 
>ada pilihan ketiga. Bukankah inti dari 
>perkawinan Islam adalah komitmen untuk hidup 
>bersama dalam suka dan duka menuju keridhaan Tuhan. Indah sekali !
>
>Agama sejatinya membuat hidup manusia lebih 
>bermakna: bermakna bagi dirinya sendiri, bagi 
>pasangannya, bagi sesama manusia, dan bagi alam 
>semesta. Islam adalah agama yang ramah terhadap 
>perempuan, sekaligus  rahmatan lil 'alamin 
>(rahmat bagi alam semesta).  In urîdu illa 
>al-ishlâh mastatha’tu. Wa mâ tawfîqiy illâ 
>billâh. Wa Allah a'lam bi al-shawab.
>
>




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke