PERS di Aceh atau di Jakarta bisa dibeli dan dipesan menurut siapa 
yang mau membayar sesui keinginan penulis agar fakta-fakta yang ada 
dapat ditutup-tutupi demi keselamatan koruptor atau PERS sudah KKN 
dengan Koruptor dan korbannya adalah rakyat jelata.

--- In ppiindia@yahoogroups.com, Batara Hutagalung <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
>http://groups.yahoo.com/group/KorbangempadiKLATEN/join
> http://www.acehinstitute.org/opini_husni_arifin_pers_aceh_dankasus-
korupsi.htm
>    
>   PERS ACEH DAN PENGUNGKAPAN KASUS KORUPSI 
>     
>   Oleh:  HUSNI ARIFIN
> Program Officer pada Media Center Aceh – AJI Indonesia
> 
> 
> http://www.acehinstitute.org/opini_husni_arifin_pers_aceh_dankasus-
korupsi.htm
> 
> PERS ACEH DAN PENGUNGKAPAN KASUS KORUPSI 
>     
>   Oleh:  HUSNI ARIFIN
> Program Officer pada Media Center Aceh – AJI Indonesia
> 
> Belum lama ini di mailing list (milis) [EMAIL PROTECTED] 
muncul pesan dari staf FIG Indonesia yang bernada komplain kepada 
GeRAK Aceh. Dari komplain itu, kemudian terungkap tentang adanya 
pemberitaan yang terkesan menuding LSM internasional tersebut  
melakukan penyelewengan dana proyek pembangunan rumah di Pulau 
Sabang. Yang menarik, dalam pesan itu juga dikatakan oleh penulisnya 
yang mempertanyakan mengapa GeRAK tidak memakai standar jurnalistik 
dalam menulis pemberitaannya.
>    
>   Bagi saya, pesan komplain dari FIG itu cukup menarik, dilihat 
dari sisi jurnalistik. Pertama, memang ada kemungkinan penulis pesan 
salah alamat jika mempermasalahkan penggunaan standar jurnalistik 
kepada GeRAK. Lembaga antikorupsi ini bukan media pers yang sudah 
seharusnya menggunakan standar jurnalistik. GeRAK adalah lembaga 
antikorupsi, bukan pers, yang jelas tidak punya kewajiban secara 
langsung untuk menggunakan standar jurnalistik ataupun kode etik 
jurnalistik dalam pemberitaannya.
>    
>   Kedua, ada pula kemungkinan penyampai pesan jengah dengan berita 
miring tentang lembaganya di suratkabar atau media pers lain. Di 
dalam berita-berita itu, GeRAK hanyalah sebagai sumber berita. 
Artinya, wartawan dari media pers mungkin mengutip pernyataan aktivis 
GeRAK, atau menggunakan data-data yang diperoleh GeRAK. Mencermati 
berita yang lazimnya ada di koran-koran terbitan Aceh, rata-rata 
cenderung berupa talking news. Bisa jadi pernyataan dari aktivis 
GeRAK memenuhi berita tentang FIG itu, dan wartawannya tidak 
melengkapi dengan penelusuran sendiri. 
>    
>   Ketiga, penulis pesan menyatakan tidak ada konfirmasi kepada 
pihak FIG atas kabar miring yang dimaksud. Alasan seperti ini memang 
acap kali dinyatakan pihak yang tersudut oleh berita di media. Namun, 
bisa juga hal ini memang benar. Wartawan banyak juga yang "nakal" dan 
lalai melakukan konfirmasi atau proses check and recheck yang menjadi 
keharusan atas berita yang akan ditulisnya. Mungkin soal konfirmasi 
dan recheck ini pula yang dimaksudkan oleh penulis pesan dari FIG 
sebagai standar jurnalistik.
>    
>   Mengingat kebiasaan buruk jurnalis pada umumnya, saya merasa 
curiga, bahwa keluhan dari FIG memang ada benarnya. Saya tidak 
bermaksud menghakimi para jurnalis dan media yang pernah menulis 
kasus ini. Saya pun tidak akan membahas kasus ini lebih lanjut. 
Komitmen pers kepada publiklah yang hendak kita tagih melalui tulisan 
ini. Kasus FIG itu hanyalah sekadar pintu masuk bagi kita ke bahasan 
selanjutnya. 
>    
>   Mari kembali kita menyambangi GeRAK. Saya mengenal sebagian 
aktivisnya sejak sebelum Darurat Militer berlaku di Aceh pada tahun 
2003. Saat itu, belum ada GeRAK, yang ada adalah Samak dan Sorak yang 
sama-sama menjadi lembaga antikorupsi Aceh. Saya mengenal mereka 
karena memang sedang berburu bahan untuk menulis tentang korupsi 
Abdullah Puteh dan korupsi lainnya di Aceh. Waktu itu, menggali data 
di daerah konflik sungguh sulit. Lebih-lebih bagi jurnalis dari luar 
Aceh seperti saya. Bahkan, hanya sekadar mencari tahu nama kepala 
dinas suatu kantor saja tidak gampang. Rasa curiga kepada orang asing 
lebih pekat saat itu.
>   Hebatnya, para aktivis antikorupsi itu punya bertumpuk-tumpuk 
data korupsi. Saya masih ingat, ketika datang ke kantor Samak untuk 
bertanya tentang data-data indikasi korupsi Puteh. Koordinatornya 
saat itu, J Kamal Farza, balik bertanya, data korupsi yang mana yang 
saya butuhkan. Ternyata ada banyak data indikasi korupsi yang 
dilakukan oleh mantan Gubernur Aceh  yang kini mendekam di penjara 
itu. Yang saya ketahui, kini sebagian besar dari data itu sudah ada 
di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tidak lama setelah kedatangan 
saya itu, kantor Samak diserang OTK.
>    
>   Para aktivis antikorupsi di mana pun berada, biasanya punya 
hubungan dekat dengan wartawan. Mereka butuh publikasi atas temuan-
temuan yang didapatkan. Publikasi penting buat mereka sebagai salah 
satu sarana menyatakan kepada public bahwa mereka memang telah 
mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan, serta tentu saja 
mengangkat ke hadapan public jika ada temuan korupsi. Apabila memang 
temuannya selayaknya diketahui public pasti dengan murah hati mereka 
akan membaginya kepada wartawan. Aktivis yang bekerja secara benar 
bahkan hanya akan memberikan data jika memang sudah benar-benar yakin 
sahih. Artinya, mereka tidak akan hanya asal tuding.
>    
>   Namun, kebaikan hati itu hendaknya tidak membuat jurnalis menjadi 
asal terima jadi. Data dan informasi atau pernyataan para aktivis 
hendaknya tidak dimakan mentah-mentah, namun setidaknya menjadi 
informasi awal untuk melakukan penelusuran sendiri. Secara moral 
jurnalistik, wartawan punya kewajiban untuk memastikan sendiri 
informasi yang ditulis adalah fakta yang benar. Secara moral pribadi, 
akan sangat membanggakan jika kita bisa mengungkapkan sesuatu melalui 
jerih payah sendiri. Bagaimana pun juga menuliskan kembali sebuah 
rilis sama sekali tidak membanggakan dan tak perlu menjadi wartawan 
untuk bisa melakukannya.  
>    
>   Jika aktivis antikorupsi bisa menemukan data dan mengungkap kasus 
indikasi korupsi, mengapa wartawan tidak? Sama halnya jika GeRAK bisa 
menemukan kasus FIG, mengapa wartawannya tidak? Bagaimana pula dengan 
temuan-temuan indikasi korupsi lainnya oleh GeRAK? Adakah perbedaan 
pekerjaan wartawan dengan aktivis antikorupsi? Ini adalah pertanyaan 
yang selayaknya kita sodorkan kepada komunitas pers Aceh. Selain 
kewajiban menulis berita, sebenarnya hampir tidak ada beda antara 
tugas seorang reporter dengan investigator antikorupsi.
>    
>   Memang, untuk bisa menelusuri suatu informasi dan menemukan data 
tersembunyi, butuh keahlian layaknya detektif. Keahlian itu bukan 
barang haram buat jurnalis. Gerak pun setahu saya membuka kesempatan 
bagi wartawan untuk mengikuti pelatihan regular bagi para relawannya. 
Salah satunya adalah pelatihan membaca anggaran. Bahan berupa 
anggaran akan selalu ada setiap kita hendak mengungkap indikasi 
korupsi, sebab kejahatan ini selalu bermain dalam angka-angka. Apakah 
ada wartawan yang ikut dalam pelatihan di GeRAK itu? Wallahualam, 
semoga ada.
>    
>   Berbicara tentang anggaran, saat ini di Aceh bergulir uang dalam 
jumlah yang sangat besar. Sudah selayaknya pers mencermati ke mana 
saja arah uang itu mengalir. Lagi-lagi para wartawan tertinggal oleh 
aktivis antikorupsi. Setiap kali ada berita tetang indikasi 
penyelewengan dana rekonstruksi, bisa dipastikan berdasarkan sumber 
lembaga lain. Tidak terkecuali ketika beberapa waktu yang lalu muncul 
berita subkontrak pembangunan rumah pesanan NGO dari Turki, berita 
tentang tudingan kebohongan public oleh BRR, juga tentang indikasi 
korupsi dalam pembangunan barak pengungsi. Tanpa penguasaan membaca 
anggaran, sulit bagi seorang wartawan bisa mengungkap korupsi secara 
detail.
>    
>   Media dan jurnalis sudah jelas bukan hanya sekadar tukang saji 
berita tanpa benar-benar mengetahui apa yang ada di balik berita yang 
ditulisnya itu. Pers dituntut untuk berperan di dalamnya. Diakui oleh 
dunia, pers adalah salah satu pilar tegaknya demokrasi. Artinya, 
melalui pers public terwakili untuk mendapatkan informasi sekaligus 
memproduksi informasi. Hak public atas informasi tidak hanya dipenuhi 
dengan cara merekam sesuatu dari kata-kata atau bahan yang diproduksi 
orang lain, lalu menuliskan atau menyajikan dalam bentuk berita. Jika 
hanya seperti itu, maka pers ada di bagian yang lebih rendah dari 
narasumber. Pers hanya akan sebagai tukang jahit. 
>    
>   Dalam kajian komunikasi dan jurnalistik dikenal adanya agenda 
media. Mengapa harus ada agenda media? Sebab media bisa menjadi 
pengarah suatu isu. Media tidak hanya akan mengikuti agenda public 
yang ada. Ini menunjukkan bahwa media juga punya sikap sendiri. 
Soeharto tidak akan tumbang jika pers tidak berperan, meskipun 
ratusan ribu mahasiswa berdarah-darah di Jakarta, sebagaimana pula 
niscaya bantuan untuk Aceh tidak akan datang tanpa peran media 
memberitakannya paska tsunami. Kekuatan media inilah yang juga acap 
kali dimanfaatkan politikus dan pengambil kebijakan untuk 
membengkokkan isu yang tidak menguntungkannya. Ketika DM (Darurat 
Militer) bergulir, pemerintah RI berusaha keras membendung 
pemberitaan media untuk mengalihkan perhatian public atas kebijakan 
yang berbau darah itu. Media bergeming, penerapan DM telah mereka 
sebagai agenda pemberitaan. DM berjalan tertatih-tatih dan akhirnya 
turun statusnya. 
>    
>   Hanya pada kondisi negara yang tertutup dan pemerintah yang 
represif saja media tidak akan mampu membuat agendanya sendiri, 
misalnya ketika jaman Orde Baru. Agenda niscaya akan berjalan secara 
leluasa jika tidak ada kebebasan pers. Tanpa kebebasan pers dan tanpa 
agenda media, maka proses demokrasi akan berjalan semu. Agenda media 
yang efektif adalah yang berpihak kepada public. Tanpa berpihak 
kepada public maka agenda itu tidak akan mampu mencuri perhatian 
public. Bisa dibayangkan media tanpa konsumen? Public pun hanya akan 
memilih media yang membela kepentingannya. Media partisan atau yang 
bisa `dibeli' pihak tertentu tidak akan bisa menjalankan agendanya. 
>    
>   Akan sangat aneh, jika di masa keterbukaan seperti sekarang ini 
masih ada media yang tidak punya agenda alias pasrah sebagai "tukang 
jahit" data dan informasi pasokan dari pihak lain. Sedekat apapun 
wartawan narasumber bukan berarti harus menelan bulat-bulat apa yang 
disampaikan. Mereka pun tentu tidak akan keberatan jika datanya diuji 
lagi. Juga tidaklah bijaksana selalu mengutip panjang-panjang 
pernyataan narasumber jika sekedar ingin berita tersebut aman bila 
sewaktu-waktu dipermasalahkan.  
>    
>   Aceh bukan lagi daerah darurat, tidak ada konflik. Bahkan dalam 
draft RUU PA kebebasan pers mendapatkan jaminan. Saat ini pula 
masyarakat internasional masih menaruh perhatian penuh pada Aceh. 
Mereka berharap mendapatkan informasi tentang donasi yang dikirim ke 
Aceh. Bukan berarti pers kemudian sekedar memenuhi kebutuhan para 
pendonor itu, namun sebaliknya, justru memastikan hak-hak korban 
tsunami terpenuhi. Ingat, dana besar itu datang karena ada korban di 
sini.
>    
>   Akhirnya, saya benar-benar sangat merindukan tulisan yang 
mendalam tentang suatu kasus indikasi korupsi di media Aceh. Rumor 
atau informasi adanya korupsi berseliweran setiap hari. Anehnya, 
jarang sekali ada tulisannya yang mendalam dan komprehensif tentang 
itu. Saya kira, straight news yang penuh talking news, tidak akan 
cukup untuk mengungkap suatu korupsi. Bagaimana jika kita mulai lagi 
dengan menelusuri kembali kasus FIG sehingga benar-benar terbukti 
tudingan yang sudah ada di berita-berita itu?   
>            
> 
>  
> ---------------------------------
> Have a burning question? Go to Yahoo! Answers and get answers from 
real people who know.
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>


Kirim email ke