Membangun Masyarakat 2

 Teologi Masyarakat
Dalam konteks ajaran Islam, indifidu tak bisa dipisahkan dari 
masyarakat. Menusia itu sendiri diciptakan Tuhan terdiri dari lelaki 
dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar mereka saling 
mengenal (dan saling memberi manfaat), lita`arafu (Q/49:13). 
Disamping adanya perlindungan terhadap individu, juga ada 
perlindungan terhadap masyarakat. Meski individu memiliki kebebasan, 
tetapi kebebasan itu dibatasi oleh kebebasan orang lain, sehingga 
Islam menghendaki adanya keseimbangan yang proporsional antara hak 
individu dan hak masyarakat, antara kewajiban individu dan kewajiban 
masyarakat, juga keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Dari  Maqasid as Syari`ah (filsafat Hukum Islam) yang menyebut al 
kulliyyat al khamsah misalnya, mengambarkan konsep masyarakat dimana 
setiap individu harus dijamin hak-haknya dimana  Pemerintah atau ulil 
amri sebagai wakil masyarakat yang tertinggi  berkewajiban melindungi 
jiwa (khifdz an nafs) , hak kepemilikan harta (khifdz al mal), hak 
akal (khifsz al `aql atau hak intelektual), hak beragama (khifdz ad 
din atau hak berkeyakinan) dan hak memelihara kesucian keturunan 
(khifdz an nasl).

Menurut al Qur'an, meski masyarakat itu merupakan kerjasama 
horizontal antar manusia, tetapi ia merupakan bagian dari hubungan 
vertikal dengan Tuhan. Oleh karena itu di dalam ber musyarakah 
(bermasyarakat) juga ada dimensi teologis, misalnya; salat menjadi 
tidak relevan jika melupakan komitmen sosial. Neraka wail disediakan 
bagi orang yang salat tetapi acuh terhadap komitmen sosial, dan orang 
seperti itu oleh al Qur'an dipandang sebagai orang yang mendustakan 
agama , araitalladzi yukazzibu biddin (Q/107).

  Demikian juga dalam hal tertib sosial, ketaatan kepada otoritas 
pemerintah disejajarkan dengan ketaatan kepada kepada Tuhan dan 
Rasul, athi`ullah wa athi`ur rasul wa uli al amri minkum (Q/4:59) . 
Dari hadis Nabi juga dapat diketahui bahwa rahmat Allah itu harus 
dipancing dengan komitmen sosial; irhamu man fi al ardhi yarhamukum 
man fi as sama'. Kontrak sosial dalam pernikahan juga bersifat 
vertikal dan horizontal, istahlaltum furujahunna bi kalimatillah wa 
akhaztumuhunna bi amanatillah.artinya; kalian dihalalkan menyetubuhi 
istrimu dengan nama Alloh, dan kalian mengambil tanggung jawab atas 
isteri dengan amanat dari Alloh. Manusia tidak dibiarkan begitu saja 
oleh Tuhan, tetapi Menurut al Qur'an, Allah selalu hadir dalam 
kehidupan masyarakat (mengawasi); inna rabbaka labi al mirshad 
(Q/89:14)

Wassalam,
agussyafii
http://mubarok-institute.blogspot.com





Kirim email ke