Hari ini saya membaca berita di sebuah harian nasional terkait dengan isu
pemindahan ibukota RI dari Jakarta ke kota lain, yang salah satunya adalah
kota Subang, Jawa Barat. Banjir beberapa hari di Jakarta sebagai akibat dari
(katanya) siklus banjir tahunan telah membuat aktivitas ibukota itu (hampir)
lumpuh total, mulai dari aktivitas ekonomi, pendidikan, hingga pemerintahan.
Para pejabat pun dibuat kalang kabut karena sebelumnya sempat ada jaminan
dari salah seorang petinggi pemerintahan bahwa Jakarta akan aman dari
banjir. Tapi kenyataannya?! Janji hanyalah komoditas politik semata.

Kembali ke isu pemindahan ibukota. Saya kira, ide pemindahan ibukota perlu
segera untuk direalisasikan. Perlu diketahui bersama bahwa kondisi kota
Jakarta hingga saat ini sudah semakin parah. Hampir semua aktivitas republik
ini tertumpuk di sana. Jakarta sedari awal sudah salah konsep, dimana pusat
pemerintahan dijadikan satu dengan pusat ekonomi, juga pusat hiburan.
Akhirnya, yang terjadi saat ini dapat kita lihat bersama, bahwa ternyata
Jakarta sudah tidak hanya identik dengan macet, panas, dan *sumpek*, tetapi
juga identik dengan banjir.
Sebenarnya, ide pemindahan ibukota RI dari Jakarta ke kota lain sudah ada
sejak pemerintahan Presiden Soekarno. Saat itu, ada beberapa daerah
alternatif yang dijadikan pilihan, mulai dari Palangkaraya, Bandung, serta
beberapa kota di Sumatera. Menurut saya, manfaat dari pemindahan ibukota
tidak hanya sekedar mampu untuk mengurangi kompleksitas permasalahan di
Jakarta, tetapi juga akan mampu untuk memacu tingkat pertumbuhan dan
pembangunan daerah lain, khususnya di daerah-daerah tertinggal (baca: luar
Jawa).
*Lantas *pertanyaannya sekarang adalah kira-kira daerah mana yang cocok
untuk dijadikan ibukota RI?
Menurut saya, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan terlebih dahulu
terkait dengan kebijakan pemindahan ibukota.
*Pertama*. Sampai saat ini, mari kita tanyakan kepada diri kita (baca:
khususnya para pejabat), sejauh mana kita konsisten dengan visi perjuangan
bangsa kita, Indonesia? Jika kita masih merasa konsisten, maka saya kira
pertimbangan tahap satu selesai.
*Kedua*. Sejauh mana kita memiliki kedaulatan mutlak atas eksistensi kita
sebagai sebuah negara? Ketika visi perjuangan masih kita miliki, maka
selanjutnya yang menjadi pertimbangan adalah masihkah kita (merasa) memiliki
wilayah yang berdaulat, penduduk yang menyatakan sebagai rakyat, serta
konstitusi yang mengatur serta melindungi segala sendi kehidupan bernegara?
Kalau kita masih memiliki, maka pertimbangan tahap kedua selesai dan kita
dinyatakan lolos serta berhak untuk memindahkan ibukota Jakarta ke kota
lain.
*Tapi kenyataannya apakah begitu?!*
Masihkah kita merasa sebagai negara yang memiliki visi perjuangan yang murni
sebagai bentuk konsistensi kita dalam berbangsa? Saya cukup ragu. Hemat
saya, realita yang terjadi saat ini adalah terlampau banyaknya
'benang-benang ' kepentingan yang *berseliweran *hampir di setiap kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah. Saya cukup ragu terhadap komitmen
pemerintah yang berusaha untuk 100% men-sejahterakan rakyatnya, yaitu mereka
yang disebut sebagai rakyat Indonesia. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah akhir-akhir ini cukup terlihat tidak memihak kepada
kepentingan rakyat, sebagai contoh penjualan VLCC Pertamina yang saat ini
kembali dipermasalahkan; divestasi Indosat yang mendudukkan negeri kita
tidak hanya kerugian secara ekonomi, tetapi juga kerugian secara politik;
'hilangnya' blok Cepu oleh Exxon; 'terjajahnya' Papua oleh Freeport; sampai
beberapa produk peraturan pemerintah yang hanya men-sejahterakan pejabat dan
golongan seperti PP. 37/2006. Jika kita melihat itu semua, maka apakah
pemerintah masih peduli terhadap nasib rakyatnya?!
Terkait dengan kedaulatan. Masih teringat di benak saya bagaimana pesawat
tempur Amerika masuk ke wilayah udara kita beberapa tahun yang lalu.
Anehnya, yang terjadi adalah bukan pesawat tempur kita yang mengejar dan
mengusir pesawat tempur milik negeri George Bush tersebut. *Malahan *yang
terjadi adalah sebaliknya, pesawat tempur kita yang dikejar dan sempat
terjadi aksi 'ancam-mengancam'. Kita ternyata tidak memiliki kekuatan yang
cukup untuk mempertahankan wilayah kedaulatan kita. Selain itu, beberapa
waktu yang lalu kita juga dikejutkan oleh adanya permintaan dari beberapa
masyarakat di sebuah wilayah di Kalimantan yang mengancam untuk bergabung
dengan Malaysia jika pemekaran daerah disana jadi direalisasikan. Saya
merasa cukup aneh dengan kejadian tersebut. Saya kira jika pemerintah masih
pro-aktif dan tanggap dengan segenap kepentingan rakyat, segala macam
permasalahan seperti ancaman pemisahan wilayah tersebut tidak akan terjadi.
Selain itu, saya juga merasa cukup prihatin dengan nasib para 'pahlawan
devisa' kita, yaitu TKI dan TKW. Saya melihat pemerintah masih kurang
optimal dalam usaha memberikan perlindungan terhadap TKI/TKW kita di luar
negeri. Bagaimana nasib orang-orang yang sebenarnya tidak bersalah tersebut
sampai harus dihadapkan pada proses hukum. Tidak hanya dipenjara, bahkan
sampai ada yang dihukum mati. Belum lagi nasib 'apes' yang mereka terima
sebagai akibat dari kekerasan fisik yang mereka terima dari para majikan
yang tidak bertanggung jawab. Apakah pemerintah masih merasa sadar dengan
kewajiban untuk melindungi kelangsungan hidup rakyatnya?
Selain itu, saya masih belum melihat sebuah produk kebijakan, mulai dari
undang-undang sampai peraturan daerah yang secara utuh mampu memberikan
manfaat kepada masyarakat. Menurut saya, ada beberapa tipe kebijakan yang
dihasilkan oleh pemerintah saat ini. *Pertama*, kebijakan yang ditujukan
untuk 'menutup mulut' rakyat. Kebijakan ini lebih dikeluarkan untuk
menyenangkan hati rakyat saja, tanpa pelaksanaan serta tidak adanya evaluasi
yang jelas. *Kedua*, kebijakan yang memuaskan golongan tertentu. Kebijakan
ini biasanya mengambil isu kesejahteraan dan optimalisasi peran-peran
pemerintahan. Namun kenyatannya, yang terjadi produk dari kebijakan ini
adalah semakin menjamurnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. *Ketiga*,
kebijakan yang memuaskan para raksasa politik /ekonomi dunia, seperti
Amerika misalnya. Kebijakan ini dibuat untuk menghindari adanya
ancaman/embargo, baik politik maupun ekonomi dari sebuah negara adidaya
kepada kita, dimana kita merasa sebagai negara yang menggantungkan nasib
kepada mereka. Hal yang dapat dijadikan contoh adalah keluarnya UU
anti-terorisme yang *malah *menjadikan pemerintah semakin bebas menangkapi
para aktivis kita.
Nah, jika kita lihat dari kasus-kasus di atas, sejauh mana pemerintah masih
memiliki andil dalam melindungi kepentigan rakyat Indonesia. Saya kira, jika
kita timbang terkait dengan peran pemerintah dalam melindungi kepentingan
rakyat dengan melindungi kepentingan golongan/asing, maka kita masih melihat
belum adanya proporsionalitas fungsi yang dimainkan oleh pemerintah, alias
pemerintah masih senantiasa berpihak pada kepentingan asing.
Maka, jika kita coba relasikan beberapa realitas di atas dengan isu
pemindahan ibukota RI, saya kembali mempertanyakan, apakah pemindahan
ibukota tersebut nantinya mampu membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia atau tidak? Jika tidak dan ternyata kebijakan pemerintah masih
saja berpihak pada kepentingan penguasa dan pihak asing, saya kira lebih
bijak jika ibukota Indonesia dipindahkan saja  ke negara-negara yang saat
ini (merasa) dibela kepentingannya. *Pindahkan saja ibukota kita ke New York
atau Washington!* Kiranya rakyat akan aman dari berbagai bentuk penjajahan
yang mengatasnamakan kesejahteraan.
*Wallahua'lam*
 source:http//www.twyunianto.co.nr

-- 
TW Yunianto
Mobile Comm Researcher
Telkom School of Technology
E Buildings Kav. 203
Telekomunikasi, Dayeuhkolot, Bandung 40257
Ph. +62-22-7564108 ext. 2324
Mob. +62-8562231510/+62-22-91293382
YahooID : tw_yunia
http://www.twyunianto.co.nr


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke