emil paris nulis esai tentang prosesi "jalan menuju ke tuhan". salam, heri latief amsterdam, 18/02/2007 ------------------------------------------------ ABU
Enambelas Februari 2007. Dingin Paris hingga sungsum di jam 10:00 winter. Aku bergegas mengenakan mantel tebal pembungkus tubuh, meninggalkan apartemenku yang terletak di Montmartre, tempat tertinggi bagian utara ibukota Perancis, menunju ke Pemakaman Umum Père Lachaise di mana jenazah Sobron Aidit akan diperabukan. Ketika memasuki ruangan upacara, kebaktian secara Kristen -- sesuai dengan permintaan terakhir Bung Sobron -- sudah dimulai. Pandangan kulayangkan ke seluruh ruangan yang dipenuhi oleh teman-teman berdatangan dari Negeri Belanda, Swedia dan Jerman untuk memberikan penghormatan terakhir kepada almarhum. Pandanganku kemudian berhenti di sebuah patung Yesus disalib yang diletakkan dibagian kepala peti jenazah terbuat dari kayu mengkilat. Mungkin sejenis jati. Di antara taburan rangkaian bunga antara lain dari Radio Nederland berbahasa Indonesia, dari Yayasan Wertheim, dari Koperasi Restoran Indonesia, dari milis Aksarasastra, di bagian kaki, terpampang foto besar Bung Sobron. Pandanganku lama melekat di patung Yesus disalib yang senantiasa memberi makna besar bagiku. Patung dan kisah kehidupan yang menyetiai cinta sebagai suatu konsep hidup-mati dengan segala resiko hingga akhir. Konsep ini lalu kutautkan dengan pesan terakhir Bung Sobron. Pikiranku yang liar menghamburkan sekian banyak pertanyaan tanpa jawab seperti sekawanan burung mengepakkan sayap-sayapnya ke segala penjuru. Penulis adalah pohon di mana bersarang kawanan ribuan tanya yang mencari dan mencari sesuatu di cakrawala kehidupan . Cakrawala itu masih saja menyimpan misteri. "Adakah misteri di patung Yesus di salib Golgota itu?", tanyaku pada Dini, seorang ibu muda, sobat lama yang berdiri di sampingku. Dini menatap lurus ke mataku: "Kematian agaknya tidak merupakan jawaban terakhir bagi segala tanya. Barangkali hidup merupakan kalimat yang berhenti pada koma semata. Hal ini jugalah yang mengusik benakku detik ini", ujar Dini yang kemudian melanjutkan keterangannya dengan rangkaian cerita demi cerita penguat hipotesanya. "Lalu?". "Karena itu aku sesungguhnya sangat mencintai hidup betapa pun hidup sangat tak ramah-tamah". Sementara masmur dan litani terus berkumandang mengisi ruang menambah khusuk upacara . Lagu-lagu yang pernah pada suatu saat sering kunyanyikan juga di gereja-gereja berbagai negeri dan kota. Isi dan melodinya padu, ujud dari keselarasan antara isi berupa pujian serta komitmen dalam bentuk yang artistik hingga menimbulkan riak ke lubuk nurani yang mendengar. Pidato duka dan selamat jalan disampaikan oleh anak-cucu disusul oleh Soejoso, wakil dari Koperasi Restoran Indonesia Paris dan Pascal LUTZ , mantan direktur Koperasi yang bekerja sukarela tanpa sepeser bayaran selama puluhan tahun. Kemudian hadirin dipersilahkan melihat wajah Bung Sobron untuk terakhir kali sebelum ia diabukan. Setengah jam aku menatap wajahnya dari sebuah jendela kaca kecil peti jenazah. Bersih dan putih. Mengenakan baju batik dengan warna dasar putih. Perasaan sedih tiba-tiba menyembur tanpa kusadari dalam bentuk genangan air di kedua bola mataku. Membuatku terdiam. Malas bicara dengan siapa pun. Anak bangsa yang terbuang dari negeri kelahiran dan mati di negeri orang sementara cintanya pada negeri kelahiran itu tak juga surut dan suram hingga akhir hayat. Apakah kematian begini merupakan gugatan pada keadaan negeri dan perlakuan yang mereka hadapi? Apakah ini salah satu resiko menyetiai cinta? Kepada diri sendiri kujawab: "Ya! Ya!". Lalu pandang, kembali kuarahkan ke patung Yesus yang disalib. Hidup kurasakan seperti suatu perjalanan mengemban sejenis salib ke Golgota ajal tanpa bergeming dari pendirian yang mencintai. Peti jenazah kemudian diangkat oleh petugas ke atas sebuah panggung. Suasana hening memuncak ketika peti jenazah itu secara pasti diturunkan oleh sebuah lift ke bawah ke tempat perabuan. Aku menggunakan bayanganku sendiri, menduga-duga apa-bagaimana jenazah Bung Sobron dibakar hingga tinggal abu. Wajah yang baru saja beberapa menit lalu kutatap. Kurang lebih dua setengah jam kemudian, yang dibawa ke hadapan keluarga dan teman-temannya hanyalah berupa abu. Butiran-butiran abu yang ditaruh di dua buah guci. Aku mendekati dua buah guci abu itu. Benar. Hanya abu yang kulihat dan bukan berbentuk wajah yang beberapa menit lalu kusaksikan. Ada keanehan tiba-tiba muncul di hatiku melihat Bung Sobron akhirnya berujud dalam bentuk abu. Aku merasa sedang hadap-hadapan dengan suatu keganasan tak berhati. Ada keniscayaan tak terbantah. Ada keterbatasan mimpi. Ada keterbatasan daya. Tiba-tiba kenakalan masa bocahku di Katingan dahulu menyeruak ke hati. Aku ingin mengepal tinju kecilku di hadapan ajal bertaring penuh darah. Aku mau melawannya seperti dahulu aku mengepal tinju sebelum menerjunkan diri ke gelombang dan melihat langit menurunkan topan di sungai kelahiran. Aku mau bertarung habis-habisan dahulu sebelum tiba di kediaman abadi, untuk memperlihatkan bahwa manusia tak gampang-gampang angkat tangan. Dengan semangat begini jugalah aku melihat Indonesia dan hidupku sebagai pengembara. Inikah hidup? Apakah arti hidup jika mati akhirnya mencengkram menyergap tanpa permisi di tiap tapak diayun? Dengan pikiran-pikiran begini, aku berkata pada diri: "Kalau aku tak sampai kepadamu, Manis, Manis, mimpi akan kutinggalkan padamu sebagai kalung tanda mata kasih sayang untukmu. Kata-kataku akan bersama angin mengetok tingkap jendela dan pintumu". Di hadapan dua guci abu jenazah Bung Sobron ini, aku merasa diri berada di tengah-tengah lembah sunyi yang dalam. Pertanyaan serupa angin menderu di sekitarku di dalam lembah itu. Di antara deru angin itu yang tertinggal akhirnya adalah kata yang kita tulis dan kita ucapkan. Ajal tak meremukkannya jadi abu. Kata inilah yang terus menggaung sekali pun barangkali merupakan kalimat tak usai, belum mencapai titik. Pada upacara pelepasan Bung Sobron secara Kristen, kata-kata Bung Sobron digaungulangkan oleh dua penyair Indonesia yang tinggal di Negeri Belanda: Mawi dan Heri Latief. Sementara itu, pada hari yang sama Tossi, sohibku dari Radio Nederland yang khusus datang ke upacara penghormatan terakhir pada Bung Sobron, di Harian The Jakarta Post menyiarkan tulisannya berjudul: "Sobron's Fate Highlights Nation Tragedy". Kukira Tossi menyentuh salah satu masalah hakiki yang sedang menimpa bangsa dan negeri ini. Patutkah tragedi dan dampak-dampaknya kita pelihara seperti memelihara macan yang lapar? *** Paris, 16 Februari 2007. -------------------------------- JJ. Kusni http://www.geocities.com/herilatief/ [EMAIL PROTECTED] http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ Informasi tentang KUDETA 65/Coup d'etat '65 Klik: http://www.progind.net/ --------------------------------- Need Mail bonding? Go to the Yahoo! Mail Q&A for great tips from Yahoo! Answers users. [Non-text portions of this message have been removed]