Salam,Silakan dibaca penuturan Fauzi Isman, Mantan Napol dan Aktivis Kelompok 
Warsidi Talangsari Lampung. Perubahan ideologi dan sikap Fauzi Isman ini 
menunjukkan akhir ideologi kekerasan. Dan sebenarnya, bila pemerintah serius 
ingin melawan terorisme--yang tidak hanya melulu dengan kekuatan senjata--maka 
perlu meluaskan wacana dan contoh seperti Fauzi Isman ini.

-GuN-
 

http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1217
Mengapa Saya Berubah?  Oleh Fauzi Isman  Kolom | 05/03/2007 Tapi setelah 
menjalani hukuman penjara selama lebih kurang 10 tahun, fakta menunjukkan 
kepada saya bahwa doktrin agar lebih mengutamakan jamaah, Amir atau Imam 
daripada orangtua dan keluarga itu sangat perlu dikoreksi. Mencurigai dan 
menganggap mereka sebagai potensi musuh atau dalam bahasa jamaah lainnya 
sebagai orang yang belum memperoleh hidayah hanya karena mereka belum bergabung 
ke dalam jamaah, jelas tidak benar dan menyesatkan. 
    Satu dari banyak ayat suci Alquran yang sering didengung-dengungkan sebagai 
doktrin jihad kelompok Negara Islam Indonesia (NII) dulu dan Jamaah Islamiah 
(JI) kini adalah ayat 23- 24 surah At-Tawbah yang berbunyi: 
  “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan 
saudara-saudaramu sebagai pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan 
kekafiran atas keimanan. Dan barangsiapa di antara kamu menjadikan mereka 
sebagai pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. 
Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum 
keluargamu, harta kekayaan yang engkau usahakan, perniagaan yang engkau 
khawatirkan merugi, dan rumah-rumah tempat tinggal yang engkau sukai, adalah 
lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (lebih utama bagimu 
daripada) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan 
keputusan-Nya’. Dan Allah tidak memberi petunjuk orang-orang fasik.” 
  Ayat di atas selalu dijadikan dasar indoktrinasi agar aktivis jamaah NII/JI 
lebih mengutamakan jamaah, Amir atau Imamnya daripada orangtua, isteri, anak 
dan kerabatnya. Terlebih kalau kaum kerabatnya tersebut tidak bergabung di 
dalam kelompok jamaahnya, maka mereka akan dianggap sebagai laisa minna—bukan 
golongan kami. Jangankan meminta pendapat dan restu orangtua untuk pergi 
berjihad, menceritakan kegiatan jamaah kepada mereka pun dianggap sebagai dosa 
besar dan pengkhinatan. 
  Ringkasnya, orang tua, isteri, anak dan kerabat, juga dianggap sebagai 
“musuh” potensial sampai mereka bergabung ke dalam jamaah. Mereka mengambil 
pembenaran dari kisah pengkhianatan putera Nabi Nuh, dan isteri Nabi Luth untuk 
menegaskan kebebaran doktrin mereka. 
  Saat memutuskan “jihad” dengan membentuk kamp latihan militer di Talangsari 
Lampung untuk melatih para mujahid yang disiapkan melawan Pemerintahan “Darul 
Kuffar” (Negara Orang-orang Kafir) Republik Indonesia pada awal tahun 1989, 
saya tak pernah membicarakan hal ini, apalagi meminta restu kedua orangtua 
saya. Keluarga saya termasuk laisa minna dalam kategori jamaah kita waktu itu. 
Lebih-lebih, ayah saya adalah pensiunan TNI.
  Karena setia pada jamaah, waktu tertangkap lalu dipenjara, saya menolak 
tawaran pembebasan yang diajukan dr. Tarmizi Taher, Sekjen Departemen Agama 
waktu itu, yang secara implisit mengutarakannya di Markas Badan Intelijen 
Strategis. Saya lebih memilih penjara. Saya sama sekali mengabaikan perasaan 
dan pendapat orangtua dan isteri saya. Penolakan itu hanya disebabkan saya 
mencurigai motif di balik tawaran itu serta khawatir dituduh mengkhianati 
perjuangan jamaah. 
  Tapi setelah menjalani hukuman penjara selama lebih kurang 10 tahun, fakta 
menunjukkan kepada saya bahwa doktrin agar lebih mengutamakan jamaah, Amir atau 
Imam daripada orangtua dan keluarga itu sangat perlu dikoreksi. Mencurigai dan 
menganggap mereka sebagai potensi musuh atau dalam bahasa jamaah lainnya 
sebagai orang yang belum memperoleh hidayah hanya karena mereka belum bergabung 
ke dalam jamaah, jelas tidak benar dan menyesatkan. 
  Jeruji penjara membuktikan kepada saya bahwa isteri, anak dan orangtualah 
orang-orang yang paling menderita akibat perbuatan jihad saya. Mereka jugalah 
orang-orang yang paling setia dan istiqamah mengunjungi dan menunggui saya 
dalam menjalani kehidupan membosankan di balik tembok penjara. Sementara teman 
satu jamaah, pergi entah kemana, meninggalkan saya sunyi sendiri, hanya 
ditemani lembabnya sel penjara.
  Bukan hanya terhadap doktrin jihad di atas penjara mengajak saya untuk 
berpikir-ulang. Penjara juga memberikan ruang dan waktu bagi saya untuk 
merenungi dan memikirkan kembali, serta mengoreksi pandangan, pemahaman, dan 
indoktrinasi atas nama Islam yang selama ini saya yakini kebenarannya.
  Penjara juga memberi kesempatan yang luas kepada saya untuk bergaul dengan 
napol dari beragam keyakinan ideologis seperti Rewang, Sukatno, H. Ismail 
Pranoto, Soebandrio, DR Thomas Wainggai, Xanana Gusmao, Tengku Ahmad Nasirudin, 
AM Fatwa, Ir Sanusi, Nuku Sulaiman, dan Budiman Sudjatmiko. Juga pergaulan 
dengan napi white and blue collar crime seperti Pak De, Slamet Gundul, Dicky 
Iskandar Dinata, Eddy Tanzil, Arswendo Atmowiloto, Hartono (germo Prapanca) dan 
sebagainya. 
  Dari mereka saya justru belajar banyak tentang keragaman dan bagaimana cara 
beradaptasi dalam keragaman. Di samping hal tersebut, zaman pun kini telah 
berubah dan ikut mengoreksi cara pandang saya. Rezim Soeharto yang represif dan 
militeristik telah tumbang. Reformasi telah menciptakan iklim politik yang 
lebih kondusif sehingga masyarakat dapat mengekspresikan ideologi dan aspirasi 
politiknya yang berbeda-beda tanpa rasa takut diintimidasi apalagi dipenjara. 
  Memang perubahan tersebut masih jauh dari yang diharapkan. Tapi menurut saya, 
dalam kondisi politik seperti saat ini, tidak ada lagi alasan pembenar bagi 
siapa pun untuk melakukan cara-cara kekerasan apalagi teror untuk 
memperjuangkan ideologi dan aspirasi politik Islam. Bukankah wacana tentang 
negara Islam kini bebas dibicarakan dan diperjuangkan melalui cara-cara yang 
demokratis?! Itu hal yang amat mustahil dilakukan di zaman Orde Baru. 
  Seandainya Asmar Latin Sani meminta restu orangtuanya lebih dulu sebelum 
melakukan aksi bom bunuh diri di Kuningan, Jakarta, saya yakin peristiwa Bom 
Kuningan yang merenggut nyawa banyak orang tak berdosa tersebut tidak akan 
pernah terjadi. Bukankah surga terletak di bawah telapak kaki ibu? Bukankah 
rida Allah bergantung juga pada rida orangtua—bukan tergantung rida Panglima 
Komandemen Wilayah atau Amir Majelis Mujahidin?! 
  ** Mantan Napol dan Aktivis Kelompok Warsidi Talangsari Lampung
 


Mohamad Guntur Romli
Jl. Utan Kayu No. 68H Jakarta
Telp: (021) 8573388 Fax: (021) 851 6868
 
---------------------------------
Be a PS3 game guru.
Get your game face on with the latest PS3 news and previews at Yahoo! Games.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke