Surat Sutera Putih:
   
   
  INTEGRITAS KATA
   
   
  Kata sebagai bagian dari bahasa selain merupakan sarana pengungkap pikiran 
dan perasaan, ia juga pengungkap nilai yang dianut oleh pemakai atau 
pengucapnya. Melalui bahasa dan kata-kata, kukira kita pun bisa menelusur watak 
suatu masyarakat pada suatu kurun ketika. Jika hipotesa ini mempunyai 
kebenaran, maka bahasa, termasuk kata-kata yang digunakan maka bahasa dan kata 
merupakan salah satu produk keadaan dan perkembangan sosial. Pada suatu kurun 
zaman, misalnya kita tidak mengenal kata listrik, sendok, atau komputer, soyus, 
sputnik, dan lain-lain, sejalan dengan perkembangan zaman, kata-kata itu masuk 
ke dalam kosakata suatu bahasa.  Hal ini memperlihatkan betapa bahasa dan 
negeri-negeri satu dan yang lain saling pengaruh-mempengaruhi sehingga 
sektarisme, etnostentrisme, fanatisme, oleh keadaan disanggah kuat dan tanpa 
ayal. Sekaligus memperlihatkan bahwa dari bahasa dan kata, kita bisa menelusuri 
perkembangan sejarah suatu bangsa. Adanya kosakata bernada  kekerasan
 seperti "gerombolan pengacau keamanan", eks tapol, tapol, diamankan, "PKI", 
"tidak bersih lingkungan",  dan lain-lain... serta segala ungkapan pelembut 
untuk menyelubung kenyataan, seperti "kelaparan" dikatakan "rawan pangan", 
ditangkap disebut "diamankan",  gelandangan disebut "tuna wisma", pelacur  
disebut "tuna susila", dan lain-lain kosakata sejenis..., kukira, tidak lepas 
dari anutan nilai dominan pada suatu kurun zaman. Nilai, sejarah dan 
perkembangan masyarakat dengan  bahasa serta kosakata, agaknya punya sambungan 
erat.   Demikian juga perbandingan-perbandingan. Masing-masing lapisan 
masyarakat sesuai dengan perkembangan dan keadaan sosial masing-masing kalangan 
mempunyai perbandingan-perbandingan khas. Misalnya untuk melukiskan hal yang 
berbelat-belit, kaum tani Jawa Tengah pada tahun melukiskannya sebagai "kacang 
panjang melilit tiang panjatan"nya. Sedangkan kaum buruh cenderung kepada 
pengungkapan-pengungkapan langsung.  Para akademisi mempunyai bahasa mereka
 sendiri. 
   
   
  Agaknya, dalam bahasa,  yang menempati kedudukan penting adalah  kata 
kerja.Kata kerja, mencerminkan kegiatan dan mimpi manusia dalam hidup 
bermasyarakat. Dari kata kerja dibentuk kata benda dan berbagai kalimat 
terutama kalimat perintah disertai dengan tanda baca seperti tanda seru [!]. 
Atau kalimat tanya yang pada hakekatnya menghimbau secara tersirat suatu kerja 
yang niscaya dilakukan. Bertolak dari keadaan ini maka muncul pandangan atau 
istilah  "pengkhianatan kata kerja" [verb, verbe].  Jika kita berbicara tentang 
ada tidaknya pengkhianatan "kata kerja"  maka kita sampai pada soal inegritas. 
Satunya kata dan perbuatan. Soal, bahwa kata adalah terjemahan langsung dalam 
bentuk kata dan bahasa dari tindakan serta mimpi yang ingin diujudkan. 
Terjemahan dari suatu nilai anutan dan bahkan dominan, terjemahan dari pola 
pikir dan mentalitas pada suatu kurun zaman. Kosakata kekerasan, 
ungkapan-ungkapan pelembut, dari segi ini, bisa dilihat sebagai pandangan 
eskapisme
 [pelarian diri dari kenyataan]. Tidak menghadapi kenyataan sebagaimana adanya 
kenyataan hingga tidak heran jika akhirnya lari ke "jampi-jampi" atau 
"diktaturialisme", sebagai ujud jalan pintas atau pola pikir dan mentalitas mie 
instan.  Sikap Kejagung  terhadap buku-buku sejarah Indonesia kekinian yang 
tidak mencantumkan kata PKI pada G30S, selain ingin memonopoli sejarah sesuai 
dengan kepentingan politik lapisan-lapisan dominan penyelenggara kekuasaan, ia 
pun merupakan sikap yang sangat tidak nalar dilihat dari segi ilmu pengetahuan. 
Bisa dipahami dari segi politik, jika politik dan Negara tidak dipahami untuk 
mengelola kehidupan yang bhinneka dan selamanya penuh ragam.  Sikap Kejagung 
mengenai soal istilah ini, memperlihatkan betapa bahasa, sebenarnya merupakan 
gelanggang pertarungan kepentingan dan politik. Pertarungan begini akan lebih 
terasa dan menonjol ketika menyusun suatu resolusi atau kesimpulan dalam 
forum-forum penting berbagai tingkat atau saat merumuskan
 suatu undang-undang atau peraturan. Sebuah kata atau deretan kata, bisa 
berdampak banyak dan jauh. Sama halnya dengan proklamasi "kemerdekaan".  
Merdeka, selain sebagai kata kerja, kata benda dan kata keadaan, mengandung 
suatu program menyeluruh. Lukisan dari keadaaan yang ingin diujudkan. Tapi 
sering, kita saksikan bahwa pengucap kata ini tidak berhasil mewujudkan nilai 
yang terkandung pada kata tersebut sehingga kata jadi kehilangan integritas. 
Kata kerja jadi berkhianat. Kata jadi kehilangan makna serupa sehelai daun 
jatuh dari dahan. Dusta adalah ujud dari ketiadaan integritas dan kesetiaan 
pada nilai manusiawi. Apabila dalam pemilu di Indonesia, yang dipertandingkan 
bukan program atau konsep pemberdayaan diri, tapi bagaimana berkuasa, bahasa 
memang kurang berperan dalam kampanye, aku memahami keadaan ini sebagai 
ketidakmampuan berpikir dan ketidakmampuan berbahasa sebagai pengejawantahan 
dari manusia berbudaya dan tingkat kebudayaan. Ketidakmampuan berbahasa
 menggiring orang pada jalan pintas. Menggunakan kekerasan. Kekerasan adalah 
nilai utama dalam hukum rimba. Dalam artian inilah kukira bagi seorang 
penyelenggara kekuasaan, atau siapa pun, apalagi bagi seorang yang menyebut 
diri penulis, perlu memahami makna kata, menjaga integritas kata menjadi kunci, 
seperti yang dikatakan oleh Confucius dan Maurice Druon dari l'Académie 
francaise.  Terjaga tidaknya integritas kata, memperlihatkan sekaligus 
integritas pemakai bahasa , pengguna kata. Dan hal ini tercermin dari kesadaran 
berbahasa. Akhirnya: bahasa adalah diri kita sendiri. Apakah merosotnya 
integritas kata dewasa ini turut membuktikan apa yang disebut oleh almarhum 
Jean Baudrillard sebagai "kemunafikan kekinian yang makin meluas"? ***
   
   
  Paris, Maret 2007.
  ------------------------
  JJ. Kusni

                
---------------------------------
 
 Real people. Real questions. Real answers. Share what you know.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke