kalo menurut saya, wacana S1 itu bukan untuk menyarin
moral manusia, 
tapi lbh ke intelektualitas manusia, dan juga bukan
untuk menghancurkan 
manuisa yang tidak berglear...

masalahnya, jika tidak di saring menggunakan gelar,
semua akan bisa 
mencalonkan dirinya dan akan membuat rakyat semakin
bingung. bagaimana 
kita tau kalo manusia tidak bergelar mempunyai moral
yang baik? ataupun 
sebaliknya
jadi moral tidak bisa diukur begitu saja..

sekali lagi, penyaringan glear hanya untuk
intelektualitas seseorang 
saja....

IrwanK wrote:
>
> Quote:
> "..
> dibandingkan dengan orang yang sudah sekolah sampai
ssss nya
> nggak kehitung-hitung, tapi ternyata suka korupsi,
main perempuan,
> kalau ada duitnya baru mau kerja, kalau nggak ada
nggak mau,
> sukanya jalan-jalan ke luar negeri peke duit rakyat,
menghambur-
> hamburkan duit rakyat, aduh punya pemimpin kayak
gitu mending
> enggak deh,
>
> saya lebih memilih orang yang nggak sekolah secara
"formal" tetapi
> lebih punya kepekaan dan kemampuan diatas doktor,
belajar dengan
> alam dan kehidupan, memang fikirran kayak gini pasti
nggak akan
> diterima oleh orang-orang yang lagi "haus' kuasa dan
aura negative
> dan fikiran /nafsu liarnya masih jalan,
> .."
>
> Kita ikuti logika di atas deh..
>
> a. (Ada) yang sekolah sampai ssss, tapi kelakukannya
begini begitu (jelek
> deh pokoknya).
> b. Ada yang gak sekolah 'formal' tapi lebih peka dan
kemampuannya di atas
> doktor dsb
> (bagus bgt deh pokoknya).
> c. Yang gak suka/milih tokoh dengan kriteria b,
termasuk orang yang haus
> kuasa
> dan aura negative, pikiran/nafsu liarnya masih
jalan..
>
> ?????? Kaya gini pikiran yang berkembang di publik
kita? :-( (sedih)
>
> Semua yang sekolah dan mendapat gelar sarjana
(dengan benar bukan beli)
> pasti bejat/jelek kelakukannya?
> Semua yang gak sekolah formal pasti bagus
kemampuannya dan perilakunya?
> Semua yang mendukung syarat pendidikan dalam hal ini
pasti orang yang haus
> kekuasaan dan hal negatif lainnya?
> Ada yang masih mau/perlu jawab pertanyaan" di atas?
>
> Maaf rekan" FPK, FYI saya sendiri gak punya gelar
S1.. :-)
> Tapi logika berpikir dalam diskusi seperti yang kita
lihat di atas, cukup
> banyak
> (sering?) dimunculkan.. logika kaum ekstrimist..
yang dijadikan
> argumen/contoh
> yang ekstrim" saja.. :-p
>
> Mis: soal pesawat tua dan maintenance (tua yang
penting maintenance,
> dibanding
> muda tapi gak diurus).. soal moral dan pakaian
(biarpun terbuka yang 
> penting
> hatinya
> dibanding tertutup tapi pikirannya jahat).. soal
kekerasan di rumah tangga
> -poli dan
> mono- (ini keras yang itu gak mungkin keras).. dsb..
>
> Yang namanya pemimpin, harusnya yang terbaik donk di
antara yang
> dipimpinnya..
> Bukannya sekedar 'boneka pelayan' kepentingan para
pendukung dan pihak" di
> belakang
> layar saja.. Klo di Indonesia, dalangnya siapa aja?
Yang punya 'dana 
> halal'?
> Siapa lagi sih? Huh.. :-(
>
> Lagi" rumus dizhalimi yang (mau) dipake.. Norak
banget.. pantesan sinetron
> laris..
> otak (kebanyakan) orang Indonesia udah diracunin
sama sandiwara doank..
> (sedih)
> CMIIW..
>
> Wassalam,
>
> Irwan.K
>
> On 3/21/07, ade zuchri <[EMAIL PROTECTED] 
> <mailto:adezuchri%40yahoo.com>> wrote:
> >
> > dear temans
> >
> > kalau saya sih menanggap gelar atau titel itu gak
> > penting-penting banget, kenapa kita nggak mencoba
> > alamiah saja, kalau memang di Indonesia ini ada
yang
> > pinter, cerdas, berperilaku yang baik dan mampu
> > membawa Indonesia ke dunia yang lebih "beradab"
> > ternyata dia sama sekali gak sekolahan, gimana?.
> >
> > jadi perilaku yang baik, agung, bermartabat dan
> > memahami kehidupan dengan lebih arif dan tidak
> > mengambil banyak dari hidup ini jauh lebih
> > bermartabat, dibandingkan dengan orang yang sudah
> > sekolah sampai ssss nya nggak kehitung-hitung,
tapi
> > ternyata suka korupsi, main perempuan, kalau ada
> > duitnya baru mau kerja, kalau nggak ada nggak mau,
> >
>
> sukanya jalan-jalan ke luar negeri peke duit rakyat,
> > menghambur-hamburkan duit rakyat, aduh punya
pemimpin
> > kayak gitu mending enggak deh, saya lebih memilih
> > orang yang nggak sekolah secara "formal" tetapi
lebih
> > punya kepekaan dan kemampuan diatas doktor,
belajar
> > dengan alam dan kehidupan, memang fikirran kayak
gini
> > pasti nggak akan diterima oleh orang-orang yang
lagi
> > "haus' kuasa dan aura negative dan fikiran /nafsu
> > liarnya masih jalan, tapi sesungguhnya nggak ada
yang
> > bisa kita ambil sangat banyak dari dunia ini kan,
> > ternyata kita cuma bisa makan paling banyak 3 kali
> > sekali, punya baju secukupnya dan tempat yang
seadanya
> > untuk berlindung, coba difikir, kalau tuhan
> > menghendaki, dan tiba-tiba dia mencabut nyawa kita
> > dalam keadaan yang kemaruk, suka korupsi dan
> > mengumpulkan harta yang nggak bener, judi,
narkoba,
> > ngesek dimana-mana, aduh matinya gimana ya...,
jadi
> > anggota DPR yang katanya terhormat itu, nggak usah
sok
> > memperjuangkan kepentingan rakyat dengan dalih ini
> > itu, karena sebenarnya yang mereka perjuangkan
sama
> > sekali nggak bermakna, gak berarti, hakikat hidup
> > sebenarnya adalah, bagaimana dalam kekosongan,
> > kemiskinan, ketidak mampuan, ketidak berhargaan
kita
> > mampu memaknainya dalam kesenangan, ketenangan dan
> > kesempurnaan.
> >
> > ade
> > --- Edy P <[EMAIL PROTECTED]
<mailto:edypurwanto%40kawali.org> 
> <edypurwanto%40kawali.org>> wrote:
> >
> > > Saya tidak ngerti, siapa sih yang sedang
kebakaran
> > > jenggot? Kok tiba-tiba muncul lagi upaya-upaya
untuk
> > > mengeluarkan kriteria akademik yang tidak selalu
> > > sejalan dengan kualitas tampilan seseorang. Dulu
> > > ketika PDI-P meroket namanya dan kans Mbak Mega
> > > terpilih menjadi presiden besar muncul upaya
> > > mengganjalnya dengan isu "PEREMPUAN TIDAK LAYAK
JADI
> > > PEMIMPIN (PRESIDEN)".
> > > Sekarang, ketika LSI mengeluarkan hasil
survey-nya
> > > dan memperlihatkan bahwa PDI-P kembali menguat
> > > posisinya di mata masyarakat (penjawab
pertanyaan
> > > survey tentunya) dan bertengger di posisi paling
> > > atas lalu muncul wacana DPR atau Presiden
minimal
> > > harus S-1.
> > > Apa-apaan nih....kok sejak dulu model-modelnya
atau
> > > gaya-gayanya sama. Bangsaku-bangsaku....!!!!!
> > >
> > > Salam
> >
>
> -----------
> ----- Original Message -----
> From: Agus Hamonangan
> To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com 
>
<mailto:Forum-Pembaca-Kompas%40yahoogroups.com><Forum-Pembaca-Kompas%40yahoogroups.com>
> Sent: Monday, March 19, 2007 7:04 PM
> Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Wacana S-1 Bisa Jadi
Bumerang
>
> Syarat agar Presiden Punya Visi
>
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0703/20/Politikhukum/3397500.htm

>
<http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0703/20/Politikhukum/3397500.htm>
> =======================
>
> Jakarta, Kompas - Wacana syarat pendidikan calon
presiden minimal
> sarjana atau strata satu dapat menjadi bumerang bagi
arah reformasi
> dan arah demokrasi. Wacana ini justru akan membuat
Indonesia tidak
> beranjak dari sekadar memilih pemimpin yang
terzalimi karena tak
> dapat memenuhi persyaratan itu.
>
> Logika memilih pemimpin yang terzalimi ini hanya
menghasilkan
> pemimpin yang lolos seleksi, tetapi belum tentu
punya kemampuan untuk
> memimpin.
>
> Hal itu disampaikan Ketua Badan Penelitian dan
Pengembangan Partai
> Amanat Nasional Sayuti Asyathri dalam diskusi
terbatas di Jakarta,
> Senin (19/3).
>
> "Kita memang menginginkan pemimpin berkualitas,
tetapi wacana soal
> syarat pendidikan itu sungguh tidak membuat kita
bisa melakukan
> perubahan dan mendorong lahirnya pemimpin yang
diharapkan," ujarnya.
>
> Menurut dia, perlu dipikirkan solusi lain mencari
pemimpin yang
> berkualitas, tanpa terjebak pada soal gelar
kesarjanaan atau tidak.
> Misalnya, mencari pemimpin yang punya rekam jejak
pengalaman sukses
> menangani suatu persoalan.
>
> "Saat ini kesempatan bagi kita untuk membuat
undang-undang politik
> yang merujuk pada strategi kebudayaan nasional yang
menjabarkan
> dengan jelas arah reformasi yang dilakukan untuk
memperkuat capaian
> demokrasi," ujarnya.
>
> Sayuti menawarkan pertemuan intensif antarpemimpin
partai politik
> untuk membangun kontrak kebangsaan bersama. Jadi,
meskipun setiap
> parpol memiliki karakter yang berbeda, ada kesamaan
arah kebangsaan.
>
> "Undang-undang politik ingin melahirkan pemimpin
seperti apa, dengan
> sistem atau mekanisme yang disepakati, jadi idealnya
kontrak
> kebangsaan ini tertuang dalam undang-undang politik
yang sekarang
> sedang disusun," ujarnya.
>
> Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Amanat Nasional
Totok Daryanto
> menambahkan, proses seleksi kepemimpinan tak bisa
dipaksakan sekadar
> gelar kesarjanaan. Seleksi kepemimpinan merupakan
proses yang tidak
> sederhana. Ada pemimpin yang lahir dari pendidikan
formal, informal,
> dan proses tradisional yang melembaga.
>
> Dari Semarang, Minggu, Sekretaris Tim Penyusun
Rancangan Undang-
> Undang tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Agung Mulyana
> menyatakan, syarat pendidikan minimal sarjana atau
strata satu (S-1)
> bagi calon presiden, seperti diusulkan Departemen
Dalam Negeri, tidak
> untuk menjegal calon presiden tertentu. Syarat itu
adalah salah satu
> ukuran supaya presiden memiliki visi yang jelas.
(MAM/AB1)
>
> [Non-text portions of this message have been
removed]
>
>  



 
____________________________________________________________________________________
8:00? 8:25? 8:40? Find a flick in no time 
with the Yahoo! Search movie showtime shortcut.
http://tools.search.yahoo.com/shortcuts/#news

Kirim email ke