Tauhid Tanpa Evolusi

Shalat Ied di Masjid Al-Azhar (Yahoo! News/AP Photo/Achmad Ibrahim)Sebagai 
negara berpenduduk mayoritas muslim adalah wajar bila studi Islam menjadi acuan 
dalam memperdalam ilmu-ilmu keislaman. Dalam realitasnya, ada fenomena umum 
bahwa studi Islam makin didominasi para alumni perguruan tinggi Barat. "Di 
sejumlah kampus besar, alumni Timur Tengah semakin tersingkir," papar Adian 
Husaini dalam diskusi bertajuk "Peta dan Kecenderungan Studi Islam di Perguruan 
Tinggi", Sabtu lalu.

Diskusi di kantor Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization 
(INSISTS), Jalan Kalibata Utara II, Jakarta Selatan, itu, selain Adian, juga 
menghadirkan Adnin Armas. Keduanya adalah kandidat doktor bidang pemikiran 
Islam di Institut of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), International 
Islamic University Malaysia (IIUM).

Menurut Adian, selain pengiriman dosen-dosen agama untuk belajar Islam ke 
Barat, pengaruh Barat dalam studi Islam bermula pada 1973, ketika buku Islam 
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya karya Prof. Dr. Harun Nasution ditetapkan 
sebagai rujukan wajib dalam mata kuliah pengantar agama Islam di perguruan 
tinggi Islam.

Menempatkan semua agama pada posisi dan fenomena yang sama adalah persoalan 
yang tak bisa dianggap sepele. Harun menggambarkan proses perkembangan teologi 
sebagai hasil evolusi, dari dinamisme, animisme, politeisme, atau henoteisme, 
lalu ke monoteisme. "Agama tauhid berasal dari wahyu Allah, sehingga sejak Nabi 
Adam sampai Nabi Muhammad, konsep agama tauhid adalah tetap dan tidak mengalami 
evolusi," ia memaparkan. "Pemaparan Harun seperti itu, berarti Nabi Adam dulu 
tidak bertauhid."

Pada kesempatan itu, Adnin memotret sejarah studi Islam di negara-negara Barat 
yang dimotori para orientalis Yahudi-Kristen. Mereka punya asumsi-asumsi 
tentang Islam berdasarkan agama mereka sendiri. "Bagaimana bisa terjadi kaum 
muslimin Indonesia membiarkan ratusan sarjana agamanya setiap tahun belajar 
Islam kepada kaum nonmuslim?" tanya Adnin, yang juga anggota Majelis Tarjih PP 
Muhammadiyah.

Hermeneutika adalah salah satu contohnya. Menurut The New Encyclopedia 
Britanica, hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang 
interpretasi Bibel. "Karena Quran dan Bibel punya latar belakang berlainan, 
maka prinsip hermeneutika tidak bisa diterapkan dalam penafsiran Al-Quran," 
tutur Adnin. Meskipun begitu, hermeneutika masuk dalam kurikulum di berbagai 
perguruan tinggi berlabel Islam. Dan ini, menurut Adnin, adalah masalah cukup 
serius.

Itu sebabnya, baik Adnin maupun Adian mengajak kaum muslimin memikirkan masalah 
yang sangat serius ini. Caranya? "Ya, membangun pusat studi Islam yang tidak 
kalah kualitasnya dari pusat-pusat studi Islam di Barat," Adnin memaparkan.

Di pusat-pusat studi Islam itu, semua ilmu didekati lewat kacamata Islam. 
Dengan kata lain, terjadilah Islamisasi ilmu. Gagasan tersebut memang bukan hal 
baru. Di akhir 1970-an, Akbar S. Ahmad (Pakistan), Ismail Raji al-Faruqi 
(Amerika Serikat), dan Syed Muhammad Naquib al-Attas (Malaysia) dengan gigih 
menyosialisasikannya.

Bahkan Al-Attas mendirikan ISTAC dan telah melahirkan doktor-doktor di bidang 
pemikiran dan peradaban Islam yang cukup berwibawa. Bagaimana dengan Indonesia? 
Pilot project tentang pusat studi Islam adalah jawabannya. Untuk mewujudkannya 
bukanlah pekerjaan mudah. Berbagai kalangan akademisi di Yogya, Bogor, Bandung, 
dan Jakarta pernah mencobanya.

Tapi proyek mulia itu tertatih-tatih karena minimnya sumber dana dan sumber 
daya insaninya. Kepedulian, kerja keras, dan napas panjang adalah kata 
kuncinya. Prosesnya akan berjalan secara evolusi.

Herry Mohammad
[Agama, Gatra Nomor 19 Beredar Kamis, 22 Maret 2007] 

 
---------------------------------
 Get your own web address.
 Have a HUGE year through Yahoo! Small Business.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke